Opini  

Urgensi Pencairan Royalti Timah 10 Persen Untuk Percepatan Ekonomi Bangka Belitung

Oleh : Dr. Reniati, SE.,M.Si (Ketua ISEI Cabang Pangkalpinang-Koordinator Bangka Belitung)  

Avatar photo
Dr. Reniati, SE.,M.Si

SEJAK  lama, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) dikenal sebagai lumbung timah nasional. Berdasarkan data PT Timah Tbk, produksi timah Indonesia pada 2024 hanya mencapai sekitar 45.000 ton turun sekitar 31 persen dibandingkan 2023 yang mencapai 65 ribu ton sehingga hanya berkontribusi sekitar 12 persen pasokan global. Sekitar 90 persen produksi nasional tersebut berasal dari Babel. Kontribusi industri timah terhadap penerimaan negara cukup signifikan antara lain didapatkan dari royalti dan Pajak Pertambangan Bukan Logam dan Batuan  menyumbang triliunan rupiah per tahun. Namun hingga pembahasan APBN Perubahan 2024‐2025, alokasi dana royalti timah untuk Pemprov dan kabupaten/kota di Babel belum dimasukkan, padahal dana ini sangat dibutuhkan untuk percepatan pertumbuhan ekonomi daerah.

Royalti timah telah mengalami kenaikan progresif sebesar 3% hingga 10%, yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 2025. Tarif royalti timah yang sebelumnya flat (3%) kini disesuaikan menjadi progresif, berkisar antara 3% hingga 10%. Besaran kenaikan ini akan dipengaruhi oleh harga pasar. Akan tetapi sampai April 2025, pemerintah Provinsi Bangka Belitung belum menerima dana bagi hasil dari kenaikan royalty timah tersebut.  Pemerintah daerah baru menerima Royalti timah dengan besaran 3 persen atau sekitar Rp 61.758.337.000. Tapi baru masuk ke KAS daerah sekitar Rp13.227.493.250.

Menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Minerba, setiap perusahaan pertambangan wajib membayar royalti atas hasil eksploitasi sumber daya mineral. Royalti disetorkan ke kas negara dan kemudian dialokasikan kembali kepada daerah penghasil melalui skema Dana Bagi Hasil (DBH) Minerba. Pasal 35 UU Minerba menyebutkan bahwa DBH mineral bagi provinsi penghasil adalah 25 persen, dan bagi kabupaten/kota adalah 20 persen. Dengan demikian, Pemda Babel secara memiliki hak atas dana royalti timah yang hingga kini masih belum cair.

Baca Juga  Tingkatkan Kualitas SDM di Lingkar Tambang, PT Timah Serahkan Bantuan di Beltim

Berdasarkan laporan Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kemenkeu, nilai royalti timah yang seharusnya disalurkan ke Bangka Belitung pada Kuartal I–III 2024 diperkirakan mencapai sekitar Rp 1,2 triliun . Namun hingga APBN Perubahan 2024–2025 ditetapkan, pos DBH Minerba untuk Babel belum muncul. Padahal di saat yang sama, beban operasional pemerintah daerah semakin meningkat seperti tuntutan pembangunan infrastruktur dasar, peningkatan layanan kesehatan, serta penanganan limpasan tambang. Ketidakhadiran aliran dana ini menunjukkan adanya celah koordinasi antara pusat dan daerah yang harus lebih diintensifkan.

Urgensi  pencairan Dana Royalti adalah  untuk mendongkrak Ekonomi Lokal, yang saat ini sedang melemah dan menurut data tahun 2024 kemarin menjadi pertumbuhan ekonomi terendah se-Sumatera. Padahal sebagai daerah yang kaya dengan sumberdaya alam, seharusnya Bangka Belitung perekonomiannya bisa leading diantara daerah lainnya.

Tertundanya pencairan DBH Minerba khusus timah dikuatirkan akan  implikasi negatif, terhadap

(1) Kepentingan Pembangunan Infrastruktur. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota di Babel memiliki agenda strategis pembangunan jalan desa, pembenahan pelabuhan kecil, serta penanganan limpasan tambang agar wilayah pesisir tidak rusak. Menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) 2024–2028, kebutuhan anggaran infrastruktur untuk penguatan sektor pariwisata dan pertanian memerlukan minimal Rp 800 miliar per tahun . Tanpa dana royalti timah, sebagian besar program ini terancam tertunda.

(2) Kesejahteraan Masyarakat Desa Penambang Rakyat Sekitar 60 persen tenaga kerja di sektor pertambangan timah di Babel adalah penambang rakyat (small-scale miners). Dengan tersedianya dana royalti, Pemda dapat mengalokasikan sebagian untuk program diversifikasi ekonomi: pelatihan budidaya perikanan, pertanian organik, atau energi terbarukan. Tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Babel pada Februari 2025 tercatat 4,17 persen, meski menurun dibanding 2024, angka ini masih perlu ditekan. Program pemberdayaan ekonomi lokal berbasis royalti dapat mereduksi angka pengangguran tersebut.

Baca Juga  Peringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2025, PT Timah Ajak Karyawan Ambil Peran Hentikan Polusi Plastik

(3) Penanganan Dampak Lingkungan dan Reklamasi. Aktivitas tambang timah di Babel menyisakan kerusakan lahan yang sangat luas. Laporan WALHI mencatat pada 2023 sekitar 240.000 hektar mangrove dan lebih dari 5.000 hektar terumbu karang rusak akibat aktivitas tambang timah. Selain itu, terdapat lebih dari 12.000 kolong (lubang tambang) yang belum direklamasi, menempati sekitar 15.000 hektar lahan. Dana royalti seharusnya sebagian digunakan untuk reklamasi lahan kritis—tanpa itu, lahan tersisa terus memburuk dan masyarakat menanggung kerugian berkelanjutan, seperti menurunnya kualitas air dan rusaknya mata pencaharian.

Secara agregat, penundaan pencairan dana royalti dapat berdampak pada melambatnya laju pertumbuhan ekonomi Babel. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Babel pada 2024 hanya sebesar 0,77 persen, melambat drastis dibanding 2023 yang tumbuh 4,38 persen Sementara itu, ekonomi Indonesia secara nasional pada 2024 tumbuh 5,03 persen, sedikit melambat dari 2023 yang sebesar 5,05 persen. Perbedaan yang jauh ini menunjukkan bahwa potensi Babel belum tergali optimal salah satunya bisa karena dana royalti tertunda. Kita berharap bahwa optimalisasi DBH Minerba dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Babel hingga 1–1,5 poin persentase. Data Kemenkeu menyebutkan bahwa setiap tambahan Rp 100 miliar DBH Minerba, jika dikelola tepat sasaran, mampu menciptakan hingga 5.000 lapangan kerja baru dan meningkatkan konsumsi rumah tangga di Bangka Belitung. (*)

Leave a Reply