BANK Indonesia (BI) pada 21 Mei 2025 mengumumkan penurunan suku bunga acuan 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 basis poin dari 5,74% menjadi 5,50%, banyak pihak menyambutnya sebagai sinyal terbaru bahwa otoritas moneter siap mengerem mahalnya biaya dana dan memacu akselerasi ekonomi domestik.Di balik angka persentase itu tersemat harapan besar akan peningkatan penyaluran kredit—khususnya ke sektor Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)—serta multiplier effect yang pada gilirannya dapat menyokong pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Langkah BI ini bukan sekadar respons reaktif terhadap tekanan eksternal atau fluktuasi nilai tukar. Sebaliknya, keputusan memotong BI Rate dilatarbelakangi oleh serangkaian pertimbangan makro: inflasi yang masih terkendali di kisaran 1,9%–2,5% year-on-year pada April 2025, nilai tukar rupiah yang relatif stabil di kisaran Rp15.100–16.300 per USD, dan perlambatan pertumbuhan kredit perbankan yang mulai terasa menurun hingga di bawah target tahunan.
Dengan memberikan ruang relaksasi moneter, BI berharap merangsang pinjaman baru yang selama ini tersendat di berbagai lapis masyarakat dan sektor usaha.
Secara teoritis, transmisi penurunan suku bunga ke ekonomi riil dapat dipahami melalui beberapa saluran utama. Dalam tinjauan studi yang dilakukan oleh Kozlov (2023) menyatakan bahwa penurunan suku bunga nominal dapat menjadi stimulus ekonomi, karena dapat mendorong investasi dan konsumsi yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sementara itu menurut studi yang dilakukan oleh Agostino et al., 2024, menyatakan bahwa peningkatan nilai aset akibat penurunan suku bunga dapat memperbaiki rasio keuangan UMKM sehingga dapat meningkatkan akses mereka terhadap kredit, sesuai dengan mekanisme financial accelerator.
Lebih jauh, pandangan Monetaris yang dirintis Milton Friedman menegaskan bahwa pelonggaran moneter, ditandai oleh ekspansi jumlah uang beredar (M1, M2), pada akhirnya mendukung peningkatan output apabila perekonomian belum mencapai kapasitas penuh. Di Indonesia, M2 tumbuh sekitar 9,3% year-on-year pada Q1 2025, sedikit menurun dari kuartal sebelumnya, sehingga ruang bagi ekspansi moneter masih terbuka asalkan dikelola cermat.
Peranan UMKM di Indonesia sangat strategi karena menyumbang lebih dari 60% PDB dan mempekerjakan sekitar 97% tenaga kerja sektor non-pertanian. Namun, akses mereka ke pembiayaan formal masih menghadapi kendala structural seperti agunan terbatas, dokumentasi keuangan yang belum rapi, dan suku bunga kredit yang relatif tinggi (rata-rata sekitar 10%–12% per tahun). Sejak akhir 2024, pertumbuhan kredit UMKM merosot ke 8,5% year-on-year, lebih rendah dibanding 9,2% pada kuartal sebelumnya, sementara target awal BI untuk sektor ini adalah 11%–13%.
Penurunan BI Rate diharapkan menurunkan Cost of Funds bank—melalui penurunan suku bunga interbank—sehingga dalam teori Bank Lending Channel, margin bunga bersih (net interest margin) tetap terjaga, memicu bank untuk menurunkan plafon suku bunga pinjaman UMKM. OJK pun telah menyatakan kesiapan melonggarkan rasio pencadangan dan mendorong program subsidi bunga bagi UMKM hingga 3% melalui skema penjaminan pemerintah, sehingga bunga efektif dapat turun ke kisaran 6%–7% per tahun.
Beberapa contoh internasional menunjukkan efek signifikan kebijakan serupa. Di Kanada, setelah Bank of Canada menurunkan policy rate pada 2022, kredit UMKM bertumbuh hingga 12% dalam dua kuartal pertama, diiringi peningkatan penyerapan tenaga kerja sebesar 3%, terutama di sektor jasa lokal. Di Australia, relaksasi cash rate oleh Reserve Bank of Australia pada akhir 2024 juga memicu lonjakan permintaan kredit baru meski sektor energi masih menghadapi tekanan harga tinggi.
Digitalisasi perbankan melalui open API dan fintech peer-to-peer lending, memegang peranan penting memendekkan rantai distribusi dana. Hal ini terkonfirmasi dari data Studi IMF (2019) menunjukkan bahwa penerapan digital credit scoring dapat mempercepat persetujuan kredit hingga 30%, menurunkan biaya administrasi hingga 25%, dan pada akhirnya menurunkan suku bunga kredit mikro.
Sementara itu jika dilihat data di kuartal I 2025, pertumbuhan ekonomi Indonesia tercatat 4,87%, turun dari 5,02% pada kuartal IV 2024. Pemerintah menargetkan 5,2%–5,5% untuk keseluruhan tahun, sementara BI mentargetkan pertumbuhan kredit 8%–11%. Jika sinergi kebijakan moneter, fiskal, dan struktural berjalan mulus termasuk penurunan BI Rate, subsidi bunga, digitalisasi ada peluang merekapitalisasi momentum pertumbuhan di paruh kedua 2025.
Meski potensi peningkatan permintaan kredit tinggi, BI harus tetap waspada terhadap risiko inflasi dan pelemahan nilai tukar. Pelonggaran yang terlalu agresif dapat memicu tekanan permintaan di tengah pasokan yang terbatas, meningkatkan inflasi inti, selain itu, arus modal keluar kerap terjadi ketika yield aset domestik turun, menekan rupiah.
BI siap melakukan operasi pasar terbuka atau intervensi langsung jika volatilitas rupiah melampaui batas toleransi.
Memasuki sisa 2025, BI harus terus memantau indikator inflasi, pergerakan nilai tukar, dan dinamika kredit perbankan. Bila pertumbuhan kredit UMKM dan korporasi belum mencapai target, dan inflasi tetap terkendali, BI dapat melakukan penurunan lanjutan. Sebaliknya, jika tekanan harga menguat, BI harus siap menghentikan atau menaikkan BI Rate untuk menjaga stabilitas makro.
Penurunan BI Rate 25 bps adalah sinyal bahwa otoritas moneter memprioritaskan percepatan ekonomi melalui pelonggaran biaya dana. Keberhasilan kebijakan ini bergantung pada sinergi dengan OJK, Kementerian Keuangan, serta pelaku perbankan dan fintech dalam memperlebar akses pembiayaan UMKM, memperkuat infrastruktur digital, dan menjaga disiplin inflasi.
Bila semua elemen terjalin baik, dorongan kredit UMKM dapat mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi nasional menuju target 5,2%–5,5% di akhir tahun. Semoga UMKM Indonesia tidak hanya menjadi bantalan ekonomi disaat krisis, tetapi tetap bertahan dan scale up kinerjanya menuju Indonesia Emas. (*)
Berita Terkait
Leave a Reply