Opini  

Sastra, Novel Laut Bercerita Menjadi Suara dari Dasar Laut yang Abadi          

Oleh : Hana Ramadhani, Mahasiswi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Avatar photo
Hana Ramadhani

NOVEL  Laut Bercerita mengangkat kisah tokoh Biru Laut pada tahun 1998 yang hingga kini tidak ditemukan.  Melalui sastra, isu di tahun 1998 seolah dekat dan dapat dirasakan oleh seluruh insan di negara tercinta, Indonesia. Menghadirkan kembali luka sejarah dalam narasi yang emosional, sastra menjadi suara yang abadi dan tak hilang. Atas keberanian dan keyakinan Leila S. Chudori, sebuah kisah kelam diangkat kembali untuk dijadikan pengingat akan sejarah negara sendiri. Menjadikan sastra sebagai wadah bagi suara-suara yang nyaris tak terdengar.

 

Karya sastra merupakan gabungan dari kenyataan dan khayalan. Semua yang diungkapkan oleh pengarang dalam karya sastranya adalah hasil pengalaman dan pengetahuannya juga, yang diolah dengan imajinasinya (Siswanto, 2008). Jadi, membaca karya sastra berarti membaca pantulan problem kehidupan dalam wujud gubahan seni berbahasa (Santosa, 1993:40 dalam Al-Ma’ruf et al., n.d.). Sehingga, dalam hal ini karya sastra merupakan hasil dari riset yang kemudian diwujudkan dalam bentuk tulisan. Tulisan dalam sastra menggunakan bahasa yang diolah kembali sehingga menghasilkan polisemantis (banyak makna). Dari segi pengarang ada usaha deotomatisasi dan defamiliarisasi bahasa. Bahasa yang sudah biasa (otomatis) dan dikenal (familiar) pembaca, oleh sastrawan diasingkan, disulap, digali, dan diberi makna baru atau diberi tambahan muatan makna yang mengakibatkan adanya lapis makna. Bahasa karya sastra lebih bersifat konotatif (Siswanto, 2008).

 

Karya sastra yang diangkat oleh Leila S. Chudori merupakan novel garapannya yang terbit pada tahun 2017 dengan judul Laut Bercerita. Dalam beberapa wawancara, Leila selaku penulis menyampaikan bahwa novel ini memiliki genre historical fiction dengan berbagai riset wawancara terlebih dahulu dengan korban. Novel ini mengangkat tema persahabatan, kekeluargaan, kehilangan, dan keikhlasan. Dengan mengangkat latar tahun 1998 hingga tahun 2000-an, mengisahkan tentang gejolak politik yang terjadi pada era-era reformasi di tahun 1998. Bagaimana seorang tokoh bernama Biru Laut dan teman-temannya dalam memperjuangkan hak mereka untuk meraih kemerdekaan bersuara. Laut Bercerita mengisahkan tentang perjuangan 13 aktivis mahasiswa era Orde Baru yang “sempat” diculik. Beberapa aktivis dikembalikan ke keluarga, namun aktivis lainnya tidak diketahui keberadaannya hingga kini.

 

Dalam novel sebanyak 394 halaman ini, terbagi menjadi 2 sudut pandang dengan latar waktu yang cukup jauh. Sudut pandang pertama berasal dari sang tokoh utama yakni Biru Laut. Pada sudut pandang pertama ini, alur cerita yang dihadirkan adalah alur maju mundur. Menceritakan setiap perjuangan untuk mendapatkan kebebasan yang dilakukan oleh Biru Laut dan teman-teman hingga akhirnya Ia dan beberapa teman lainnya, tidak pernah kembali dan tidak diketahui keberadaannya. Sedangkan, pada sudut pandang kedua berasal dari adik Biru Laut yang bernama Asmara Jati. Pada sudut pandang kedua ini, diceritakan dengan latar waktu tahun 2000 yang mengungkapkan bagaimana keadaan keluarga, sahabat, dan pasangan setelah ditinggalkan tanpa sedikitpun jejak dari Biru Laut dan beberapa teman yang tak kembali. Mengisahkan sudut pandang dari seseorang yang ditinggalkan, mencari berbagai cara untuk mencoba Ikhlas dan berusaha untuk tetap menjalankan hidup.

“Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali….

 

Sebait puisi ini merupakan salah satu kutipan yang tercantum pada novel Laut Bercerita. Bait puisi ini seolah menyampaikan bahwa sastra akan tetap hidup bahkan jika suatu saat keberadaannya di renggut paksa. Melalui Laut Bercerita, sastra sebagai media “arsip rasa” digunakan untuk mencatat, mengarsipkan peristiwa yang tidak dicatat secara resmi oleh negara. Melalui sastra, pembaca mampu mendapatkan gambaran peristiwa dalam tiap cerita dengan detail karena ditulis dengan perasaan yang luar biasa. Leila S. Chudori menggunakan sastra untuk menyampaikan realita yang pernah terjadi di Indonesia. Realita yang kemudian menjadi trauma bagi banyak orang. Sastra selain sebagai sarana hiburan, sastra juga bisa dijadikan sebagai sarana ilmu, seni, dan budaya. Laut Bercerita tidak hanya menghidupkan kembali kisah kehilangan secara fisik, tetapi juga menghidupkan suara-suara yang pernah tak terdengar. Terbukti, novel Laut Bercerita telah dicetak puluhan kali dan diterjemahkan ke berbagai bahasa. Biru Laut adalah suara dari dasar laut yang abadi.  Melalui sastra, kebenaran tidak akan mudah dilupakan dengan setiap halamannya adalah suara yang nyata dan hidup.  (*)

 

 

 

 

 

Leave a Reply