Mutasi jabatan sentiasa menjadi isu panas pada banyak transisi rezim pemerintahan daerah. Hari-hari ini, terutama pasca Kepulauan Bangka Belitung lega mendapatkan Gubernur dan Wakil Gubernur definitif, isu mutasi ikut memanas. Banyak wacana dan gosip politik bermunculan. Sang Kepala Daerah sendiri secara eksplisit mengindikasikan rencana pembentukan kabinet baru di Pemprov Babel, tak kalah panas, kasak kusuk di media dan ruang publik lainnya menjadi obrolan terutama di kalangan para elit Babel.
Sebagai kelumrahan pasca kontestasi elektoral, polemik semacam ini setidaknya dapat kita ulas dari 2 perspektif, secara politis dan administratif. Secara politis, sering muncul dugaan keterlibatan pejabat karir (eselon) yang berpihak pada paslon tertentu atau tidak netral saat pilkada diatribusi sebagai afiliasi politik pemenangan kandidat tertentu. Terlepas dari berbagai motifnya, baik idealisme maupun pragmatisme, jika ada aksi atau operasi klandestin yang mereka jalankan untuk memback-up kemenangan paslon tertentu, maka wajar di-list dalam daftar catatan politik kubu lawan.
Secara yuridis formal, selama Pilkada serentak kemarin, hampir tidak ditemukan adanya sanksi dari lembaga berwenang atas parsialitas (ketidaknetralan) menimpa para pejabat Pemrov Babel. Artinya secara administratif, mutasi jabatan atas perilaku tidak netral tidak dapat dijadikan alasan demosi atau pen-konsonjob-an pejabat terduga. Namun jika sebagai dugaan, maka ranahnya adalah politik birokrasi, tentu tidak dapat dikemukakan secara gamblang pula dalam urusan tata usaha negara. Sah-sah saja jika dipertimbangkan posisi dan kelayakan karir profesionalnya oleh kubu pemenang pemilu dalam gelombang restrukturisasi birokrasi pemprov di rezim baru.
Namun, politik pasca pemilu selalu akan berhubungan dengan politik tinggi. Setelah kontestasi, orientasi pemerintahan baru hendaknya diarahkan pada upaya menjamin keselamatan dan kesejahteraan rakyat. Kocok ulang pemangku kekuasaan adalah keniscayaan, pemimpin baru tentu memerlukan konfigurasi kabinet kerja yang dapat menopang dan mendukung visi dan misinya. Langkah itu diakomodir juga oleh regulasi, baik terkait cara maupun ketentuan yang mengikatnya. Birokrasi diikat oleh banyak norma dalam rangka menjamin kelaikan fungsinya sebagai institusi utama pelayanan publik.
Ketidaknetralan birokrat adalah patologi utama yang menyandera birokrasi yang profesional, netral, dan imparsial. Namun tata kelola birokrasi juga tidak bisa diobrak-abrik secara serampangan sesuka hati. Jika kita sepakat keberpihakan birokrat menjadi borok dan beban, maka kita sangat berharap ini menjadi momentum klimaks penguatan reformasi birokrasi oleh gubernur dan wakil gubernur baru. Dengan otoritas yang beliau berdua miliki diharapkan mampu mengamputasi borok ini secara proporsional, patut, dan berimbang, baik terhadap yang diduga berpihak pada lawan, maupun di koalisi sendiri, selama tahapan Pilgub yang lalu.
Secara konseptual kemudian, wacana ini dapat dilingkup sebagai dua persoalan utama. Kekurang-sregan pemimpin baru secara obyektif bisa jadi disebabkan oleh indikasi adanya perbedaan atau gejala ketidakselarasan visi pembangunan antara rezim baru dengan jalinan birokrasi eksisting (incumbent). Secara subyektif, isu netralitas birokrat ketika Pilkada, perlu ditelaah lebih jauh apakah memang ranah tugas dan fungsi sebenarnya, atau memang ranah politis jabatan. Jika terkait administrasi, perlu dalil formal mengapa seorang atau sekelompok birokrat dicap berpihak dan terlibat dalam upaya pemenangan. Namun jika politis, maka penyelesaian dapat dilakukan secara politis juga. Ilmu politik misalnya mengenal mekanisme political settlement, yang muatan utamanya adalah penyelesaian pasca konflik dengan mengatur ulang penguasaan otoritas yang berdasar pada distribusi benefit akses dan kontrol politik.
Karenanya, saya menarik kesimpulan utama, bahwa legitimasi perombakan struktur birokrasi pada berbagai level melekat sebagai prerogatif kepala daerah terpilih. Sebagai pemenang pemilu, beban berat permasalahan Kepulauan Bangka Belitung sekarang dipikul oleh sang Gubernur terpilih. Banyak masalah terwaris yang dihadapi oleh daerah ini, degradasi lingkungan baik sosial, ekonomi, dan ekologi, utamanya menjadi idealisme visi yang menuntut untuk segera dieksekusi oleh pemerintahan baru. Konsekuensinya, birokrasi sebagai penyangga utama harus seiring sejalan dengan Gubernur sebagai pemegang tongkat komando. Ini adalah saluran baku yang mengakomodir kehendak politik dan administrasi.
Pemilu telah selesai, Gubernur dan Wakil Gubernur yang baru telah dilantik secara sah dan ‘legitimate’. Susun ulang kabinet kerja adalah sirkulasi biasa, kebutuhannya bisa diendorse oleh berbagai motivasi. Dinamika saat kontestasi pilkada, keresahan panjang saat kepemimpinan rezim-rezim sebelumnya, maupun keyakinan pada solusi masa depan Babel yang lebih baik, semuanya akan lebih elegan dan bermartabat jika dimanifestasikan melalui cara-cara yang etis sesuai norma. Norma politik adalah keberadaban dan kesejahteraan umum, norma birokrasi adalah profesionalisme, loyalisme, dan taat pada azas sistem. Banyak pertimbangan politik yang perlu dihitung matang dalam susun ulang kabinet, ada kekokohan birokrasi yang mendukung visi kepala daerah pula yang perlu dijaga.
Saya percaya dengan berragamnya input masukan dari banyak personal maupun tim yang berhimpun setelah Bapak Gubernur dan Ibu Wagub menang kontestasi, beliau berdua akan jauh lebih bijaksana dalam mengambil langkah awal ujian berbagai kebijakannya. Berlimpahnya informasi, data, dan pandangan umumnya juga dapat memudahkan pemimpin mengambil langkah taktis-strategis ketimbang emosional-pragmatis. Leadership yang mampu mengelola prinsip-prinsip dasar seperti ini lah yang kita impikan dan idamkan akan mampu menularkan optimisme warga menuju Babel yang lebih gemilang dan berdaya.(*)