Cerita WNI Asal Basel Jadi Korban TPPO di Myanmar, Disekap hingga Diminta Uang Tebusan Ratusan Juta

* AS: Pulang ke Tanah Air Tak Pegang Uang

AS Salah satu korban TPPO di Myanmar, Jumat (21/3/2025)

PANGKALPINANG, LASPELA – Kepulangan 74 Warga Negara Indonesia (WNI) asal Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) yang menjadi korban perdagangan orang akibat sindikat online scamming dari Myanmar diwarnai dengan isak tangis haru.

Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Babel Didit Srigusjaya, Pj Sekda Babel Fery Afriyanto, Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) Ditjen Imigrasi Babel Qriz Pratama, Forkopimda Bangka Belitung, Dinsos PMD, Disnaker Babel, Disnaker Pangkalpinang dan keluarga korban menyambut langsung kedatangan mereka di di Bandara Depati Amir, Kota Pangkalpinang, Jumat (21/3/2025) sore.

Tangisan pecah saat para WNI asal Bangka Belitung turun dari pesawat. Mereka bergantian memeluk para pejabat tinggi, mengucapkan rasa terima kasih atas upaya penyelamatan yang telah dilakukan. Dengan suara bergetar, mereka mengungkapkan kebahagiaan karena bisa pulang ke Indonesia.

Seperti halnya diungkapkan AS warga Kabupaten Bangka Selatan yang mengaku menyesal selama lima bulan bekerja di Myanmar.

“Awalnya saya buka facebook dapat link telegram pekerjaan legal, lalu chatingan dengan agen pekerjaan tersebut, namun setelah chatingan saya tidak dikasih tau nama perusahaan apa, tapi kalau untuk pekerjaan dijanjikan dengan gaji sekitar Rp11 juta per bulan, dan untuk pembiayaan keberangkatan dan bikin paspor dan lain-lain ditanggung perusahaan, lalu diminta data hingga video mengetik keyboard dan perkenalan diri,” ujar AS kepada media.

Dengan dijanjikan gaji Rp11 juta, dan bermodalkan kepercayaan dari pihak agen yang menyebutkan bahwa perusahaan tersebut legal, hingga visa langsung diurus perusahaan, AS berangkat ke Myanmar atas restu orang tua dengan tujuan untuk membantu perekonomian keluarga.
Meskipun sudah lima bulan bekerja di Myanmar, AS mengatakan awalnya dijanjikan untuk bekerja di perusahaan yang berada di Thailand.

“Awalnya belum tahu kerja scammer online, keberangkatan dibiayai mereka semuanya. Awalnya memang di Thailand, tapi besoknya langsung diseberangkan ke Myanmar lewat sungai, selama diperjalanan kita dikawal tentara, dan setiap agen yang membawa kita harus bayar ke tentara di sana,” katanya.

“Kita disiapkan mess satu mess untuk 10 orang dan kita dijanjikan dalam satu minggu kerja kita dapat libur satu hari, namun ketika kita sampai di Myanmar sama sekali tidak ada libur kerja. Dan kerja pun tidak sesuai dengan yang dijanjikan awal, kita harus bekerja 15-18 jam. Dan untuk gaji pun diawal Rp11 juta tapi ada potongan 20%, denda dan lainnya, sehingga gaji yang kita dapat Rp3.500.000 per bulan,” ungkap AS.

Diketahui para sindikat scammer online ini memberikan target yakni sebanyak lima nomor yang harus dipenuhi, agar mendapatkan gaji ataupun kehidupan yang layak selama di Myanmar.

“Kalau tidak sampai target kita disekap, tidur di lantai, tidak dikasih makan dan dikasih minum saja. Bahkan kita didenda 200 juta apabila ingin pulang ke tanah air kita,” kata AS saat menceritakan dengan penuh penyesalan.

“Namun untuk kekerasan fisik alhamdulillah tidak ada, karena di sana kita kompak jika dari sindikat scammer bermain fisik kita semua memberontak, hanya untuk punishment kita di suruh push up dan keliling gedung. Dan untuk makan kita disiapkan kantin yang tidak layak, karena makanan dicampur dengan non muslim,” sambung AS.

AS mengungkapkan selama empat bulan di Myanmar sama sekali tidak ada penghasilan. “Bahkan saya pulang hari ini pun tidak ada pegang uang sama sekali,” ucapnya dengan mata berkaca-kaca.

AS menceritakan, selama di sana dirinya kesulitan berkomunikasi karena telepon genggamnya ditahan, namun beberapa diantaranya sempat menyampaikan posisinya setelah berhasil berkomunikasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Yangon, Myanmar.

“Selama disana kita disekap di bangunan yang belum jadi dan jika memberontak kita akan mengalami kekerasan fisik, dipaksa bekerja sebagai online scammer,” terangnya.
As mengimbau kepada pemuda-pemudi di Bangka Belitung jika ada tawaran kerja baik itu di luar negeri maupun di dalam negeri sendiri, paling tidak memiliki wawasan lebih. Dan jangan mudah tergiur untuk mendapatkan gaji besar.

“Dan untuk pemerintah saya ucapkan terima kasih karena telah bekerja keras untuk kepulangan kami ke tanah air. Kami sangat membutuhkan lapangan pekerjaan di sini, karena setelah ini kami tidak tahu harus bekerja apa kedepannya, jadi kami berharap kepada pemerintah untuk dapat membuka lapangan pekerjaan,” tutupnya.

Sementara itu, salah satu orang tua korban, Hela menyebutkan anaknya baru saja lulus sekolah menengah kejuruan, bahkan ijazahnya pun belum diambil, anaknya memilih berangkat ke luar negeri untuk bekerja.

“Begitu dengar ada kejadian ini, saya langsung drop, sakit. Terima kasih kepada Ketua DPRD Babel dan semua pihak yang membantu kepulangan anak saya,” ujar Hela, ketika menunggu kepulangan anaknya.

Ia menyebutkan, anaknya pernah mengirimkan uang hasil kerja di luar negeri, tetapi uang tersebut disimpannya, untuk kebutuhan sang anak. Rupanya benar, ketika anaknya mengabari belum terima gaji, uang tersebutlah yang dikirim kembali untuk kebutuhan anaknya.

“Kalau cerita buruk enggak ada, cuma pernah bilang kalau tidak terima gaji, nggak nyangka bakal seperti ini, dari awal saya sebetulnya tidak sepenuhnya mengizinkan ia pergi,” tuturnya.

Setelah kejadian ini, Hela mengaku tidak akan mengizinkan lagi anaknya untuk ikut-ikutan mencari pekerjaan yang ilegal.
Senada dengan Bayo, adiknya juga termasuk dalam 74 korban TPPO di Myanmar tersebut. Bayo menceritakan bahwa adiknya pernah disekap selama tiga hari tanpa diberikan makanan.

Keluarga korban TPPO ini pun menyambut gembira kepulangan sanak keluarganya yang menjadi korban TPPO.

Ketua DPRD Babel, Didit Srigusjaya berpesan, agar orang tua atau keluarga tidak memarahi anak atau sanak keluarga yang menjadi korban migran non-prosedural ini. Ia menegaskan, bahwa para korban hanya ingin mencari nafkah dengan harapan bergaji besar.

“Saya mohon bapak ibu jangan marahi anaknya, mereka ini saya yakin niatnya baik ingin mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang layak. Semoga ini menjadi pelajaran, termasuk bagi pemerintah daerah untuk menyiapkan lapangan pekerjaan karena warga kita ini butuh pekerjaan,” pesannya. (chu)