banner 728x90

Jasa Raharja, Korlantas POLRI, dan Akademisi UGM Bahas Penguatan Jaminan Perlindungan Korban Lakalantas Jalan dan Angkutan Jalan

banner 468x60
FacebookTwitterWhatsAppLine

YOGYAKARTA, LASPELA – PT Jasa Raharja bersama Korlantas POLRI, dan Akademisi UGM mengadakan diskusi dengan topik “Implementasi Program Jaminan Perlindungan Dasar Korban Kecelakaan Penumpang Umum dan Lalu Lintas Jalan dalam Ruang Lingkup Undang-Undang Lalu Lintas Jalan dan Angkutan Jalan”.

Acara ini dihadiri oleh akademisi Universitas Gadjah Mada (UGM), perwakilan Korps Lalu Lintas (Korlantas) POLRI, serta perwakilan Kementerian Keuangan. Diskusi dipimpin langsung oleh Direktur Utama PT Jasa Raharja Rivan A. Purwantono dan dihadiri pula oleh Direktur Kepatuhan dan Manajemen Risiko Jasa Raharja, Harwan Muldidarmawan.

banner 325x300

Diskusi ini membahas tentang penguatan peran jaminan perlindungan terhadap
korban kecelakaan lalu lintas jalan, termasuk peningkatan cakupan perlindungan bagi
korban kecelakaan dan harmonisasi regulasi terkait.

Rivan menegaskan pentingnya sistem perlindungan yang komprehensif dan berkeadilan untuk melindungi masyarakat Indonesia.
“Kecelakaan lalu lintas bukan hanya persoalan individu, tetapi juga berdampak pada perekonomian nasional. Berdasarkan Perpres 1/2022 tentang Rencana Umum
Nasional Keselamatan (RUNK), kecelakaan lalu lintas berkontribusi terhadap
penurunan 2,9—3,1% Produk Domestik Bruto (PDB). Oleh karena itu, sistem perlindungan harus terus diperkuat agar dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat,” ujar Rivan.

Data Jasa Raharja mencatat bahwa sepanjang tahun 2023 terjadi 27.000 kecelakaan
dengan korban meninggal dunia, sementara pada tahun 2024 jumlah kecelakaan lalu
lintas mencapai 150.906 kasus dengan 24.000 korban meninggal dunia. Rivan juga
menyoroti pentingnya asuransi sosial dalam sistem perlindungan ini, mengingat 9%
dari total kecelakaan melibatkan penumpang angkutan umum.

“Sebagai bagian dari holding perasuransian BPUI, peran PT Jasa Raharja sebagai
asuransi sosial perlu ditegaskan. PP 20/2020 tidak menyebut aspek ini, sehingga OJK
menetapkan Jasa Raharja sebagai asuransi umum. Padahal, dalam UU 22/2009,
perlindungan dasar terhadap korban kecelakaan, termasuk tanggung jawab pihak
ketiga (TPL), sangat penting. Ke depan, sambubgny perlindungan tidak hanya mencakup cedera tubuh (bodily injury), tetapi juga kerugian material (property damage),” tambah Rivan.

Sementara itu dalam sambutannya, Ronald Jusuf, Analis Kebijakan Ahli Madya dari
Pusat Kebijakan Sektor Keuangan (PKSK) Badan Kebijakan Fiskal (BKF)
Kementerian Keuangan menekankan perlunya harmonisasi antara Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ), UU Pengembangan dan Penguatan
Sektor Keuangan (UU P2SK), serta regulasi lainnya.

“Jasa Raharja merupakan model asuransi sosial di Indonesia dengan prinsip risk
pooling, di mana masyarakat bergotong royong dalam menanggung risiko kecelakaan. Pendekatan ini berbeda dengan asuransi umum yang berbasis risk transfer. Oleh karena itu, pemerintah harus memastikan bahwa regulasi yang ada dapat
mengakomodasi perlindungan yang optimal bagi masyarakat,” jelas Ronald.

Dalam diskusi ini, Direktur Keamanan dan Keselamatan (Dirkamsel) Korlantas Polri,
Brigjen Pol. Dr. Bakharuddin Muhammad Syah, S.I.K., M.Si., lebih menyoroti
urgensi revisi UU LLAJ yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Prioritas 2025.

“Setiap tahun, UU LLAJ selalu menjadi topik revisi, baik oleh DPR maupun Kementerian Perhubungan. Salah satu aspek penting yang perlu dibahas adalah asuransi bagi mitra pengemudi transportasi online. Mereka memiliki pendapatan tinggi tetapi belum memberikan kontribusi perlindungan kepada negara dan masyarakat,”
ujar Bakharuddin.

Selain pemaparan dari Jasa Raharja, BKF, dan Korlantas Polri, akademisi UGM juga
memberikan pandangan kritis terkait aspek hukum dan regulasi jaminan perlindungan
kecelakaan.

Prof. Dr. Nurhasan Ismail, menekankan perlunya memperjelas perbedaan
antara asuransi wajib dan asuransi sosial dalam regulasi yang akan datang. “Asuransi
sosial merupakan program negara yang bersifat wajib untuk menjamin kesejahteraan
masyarakat. Jika program asuransi wajib memang menjadi kebutuhan nasional, maka
harus ditegaskan dalam UU LLAJ agar tidak menimbulkan interpretasi yang
membingungkan di kemudian hari,” tutur Prof. Nurhasan.

Sementara itu, Prof.  Marcus Priyo Gunarto, menyoroti bahwa dalam sistem hukum Indonesia, tanggung jawab terhadap kecelakaan lalu lintas harus diperluas, tidak hanya kepada pengemudi tetapi juga kepada pihak yang memiliki keterkaitan langsung, termasuk perusahaan angkutan umum dan operator transportasi daring.

Melalui diskusi ini, diharapkan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan praktisi
dapat menghasilkan rekomendasi yang konstruktif bagi penguatan sistem jaminan
perlindungan bagi korban kecelakaan lalu lintas di Indonesia. (ril/chu)

banner 325x300
banner 728x90
Exit mobile version