LUBUK BESAR, LASPELA- Selain panoramanya yang menawan serta hasil laut yang melimpah, Desa Batu Beriga ternyata memiliki keistimewaan lainnya yaitu kearifan lokal atau adat istiadat yang telah dijalani oleh segenap masyarakatnya sejak puluhan tahun silam.
Adat istiadat itu adalah perjanjian tak tertulis yang mengikat aturan kerja sama antara nelayan dan bos sebagai pemilik modal, yang mana praktik tersebut sangatlah istimewa karena ternyata sang pemilik modal memberikan pinjaman berupa uang dan barang-barang untuk nelayan bekerja tanpa ada tenggat waktu pembayaran ataupun bunga pinjaman, dan nelayan pun setia menjaga kepercayaan pemodal sehingga terciptalah kerukunan selama berpuluh-puluh tahun hanya didasari rasa kekeluargaan dan kepercayaan tanpa perlu perjanjian hitam di atas putih.
BPD Desa Batu Beriga, Andro mengatakan bahwa sudah menjadi adat istiadat di Desa Batu Beriga yang telah berlangsung puluhan tahun bahwa pengepul sebagai bos atau pemodal memberikan modal kepada nelayan berupa modal usaha, kapal/ perahu, mesin, dan kebutuhan lainnya untuk kegiatan melaut dan bahkan kebutuhan rumah tangga seperti beras serta biaya hidup lainnya.
Sekembalinya dari melaut, nelayan akan menyetorkan hasil tangkapannya kepada pengepul, dan dari situ apabila hasil tangkapnya banyak di atas Rp300 ribu barulah akan dipotong mulai dari Rp20 ribu hingga Rp100 ribu sebagai cicilan biaya yang telah dikeluarkan sebelumnya oleh pengepul, bahkan pada praktiknya sering kali tidak ada pemotongan apabila nelayan memiliki kebutuhan yang harus didahulukan seperti biaya sekolah anak dan sebagainya.
“Potongannya juga tidak besar kok, misalnya nilai hasil laut nelayannya Rp300 ribu, paling yang dipotong untuk cicilan itu cuma Rp20 sampai Rp100 ribu, sisanya untuk nelayan, itu pun tak jarang tidak dipotong sama sekali karena ada kebutuhan lain seperti anak sekolah,” kata Andro, Minggu (15/12/2024).
“Adat istiadat di desa ini memang seperti itu dan sudah berlangsung turun-temurun sejak dahulu kala,” sambungnya.
Ia menceritakan bahwa pinjaman atau modal yang diberikan oleh bos ke nelayan tidak dikenakan bunga pinjaman serta tidak ada jangka waktu pembayaran, hanya didasari oleh rasa kekeluargaan dan saling percaya.
“Pinjaman yang diberikan itu kadang bertahun-tahun baru bisa dilunasi, kadang juga tidak bisa dilunasi karena yang namanya kerja kadang baru beberapa bulan atau tahun saja mesin sudah rusak lalu nelayan minta lagi mesin ke bos, kan jadi nambah lagi utangnya. Tapi bos juga sangat memaklumi, makanya tidak pernah ada masalah utang piutang selama puluhan tahun praktek tersebut dijalankan,” jelasnya.
Tokoh masyarakat Tanjung Berikat, Rojali mengatakan bahwa sejak lebih dari 58 tahun pola kerjasama antara bos ikan dan nelayan berjalan harmonis tanpa ada masalah.
“Sepanjang yang saya tahu hingga usia saya 58 tahun ini, tak pernah ada masalah apalagi sampai tuduhan mencuri mesin dan perahu sendiri, itu perahunya, yang namanya pinjaman kalau belum lunas kan masih ada hak bos,” kata Jali.
“Hidup kami damai tentram dan sejahtera. Lihatlah sekeliling kampung ini, kami memang tidak kaya raya tetapi berkecukupan karena laut,” imbuhnya.
Salah seorang nelayan Tanjung Berikat, Sahrial didampingi puluhan nelayan yang hadir berkumpul saat kunjungan awak media di kampung mereka, membenarkan jika sistem pinjaman modal usaha antara bos dengan nelayan dari dahulu hingga sekarang memang seperti itu adanya.
“Alasan mengapa kami lebih memilih pinjam modal ke bos ketimbang pinjam modal usaha ke bank, karena pinjaman ke Bos disini tanpa bunga, tanpa ketentuan batas waktu pelunasan, hanya cukup dengan sistem kekeluargaan dan kepercayaan, tanpa perjanjian bermaterai hitam di atas putih. Sementara pinjaman ke bank, apakah bisa seperti itu? Maka dari itu, kami punya tanggung jawab moral menjaga kepercayaan dari pemodal untuk saling memikirkan dengan hati nurani kedua belah pihak, tanpa niat saling khianati atau saling akal-mengakali,” urai Sahrial.
Untuk berapa nilai angsuran dari pinjaman modal yang wajib dibayarkan setiap kali pulang melaut? Sahrial mengungkapkan jika itu tergantung dari hasil tangkapan, kalau hasil tangkapan laut lagi banyak bisa diangsuri Rp100ribu, tapi kalau lagi sedikit bos pun mengerti dan tidak memaksakan nelayan untuk mengangsuri modal pinjaman.
“Tentunya ini lebih manusiawi, hanya saja kepercayaan bos ke kita itu harus betul-betul dijaga,” katanya.
Sementara itu, Sahandi yang merupakan salah satu pemodal atau pengepul yang telah menjalani bisnis ikan sejak usia kelas 5 SD karena melanjutkan usaha ayahnya yang tutup usia mengatakan bahwa ia sejak dahulu hingga sekarang masih setia menerapkan pola kerja sama yang telah diwariskan mendiang ayahnya.
“Ayah saya melakoni bisnis ikan sejak lama, saat saya kelas 5 SD ayah saya meninggal dunia, dan sejak saat itu saya meneruskan usaha ini dengan tetap berpedoman sistem kekeluargaan dan kepercayaan dengan nelayan yang butuh modal melaut,” sebutnya.
Ia mengatakan di Dusun Tanjung Berikat yang 80% warganya bekerja sebagai nelayan setidaknya dimodali oleh lima bos ikan yang bekerjasama dengan nelayan dan tetap menerapkan sistem yang sama turun temurun.
“Kekeluargaan dan kepercayaan itu sudah adatnya. Jadi sejak berpuluh-puluh tahun lalu antara bos selaku pemodal dengan nelayan tidak ada sama sekali perjanjian tertulis hitam di atas putih bermaterai ataupun memakai jaminan. Jika ada kendala selama ini, semua diselesaikan dengan kekeluargaan,” tukasnya.
“Apabila ada nelayan ingin pindah bos, maka sisa sangkutan pinjaman atau hutang modal sebelumnya akan diselesaikan oleh calon bos baru,” tambah Sandi.
Ia mengatakan keuntungan yang ia peroleh bukanlah dari cicilan hutang nelayan yang bisa tahunan, belasan tahun, puluhan tahun atau bisa juga sampai meninggal dunia baru lunas, melainkan dari selisih harga jual ke pasar atau pelelangan ikan.
“Ya cicilan tidak ditentukan, kalau nelayan lagi dapat hasil melautnya banyak paling mencicil pinjaman Rp100ribu, kadang ada juga yang mencicil Rp20ribu, kadang juga kalau hasil tangkapan sedikit, kami tak tega juga. Maka dari itu, logikanya wajar kalau pinjaman modal awal baru sebesar Rp70an juta bisa lunas hingga bertahun-tahun lamanya. Namun bagi kami di sini, semua itu sudah jadi adat turun temurun, tetap akur, karena sekali lagi pada mulanya warga di dusun ini adalah serumpun,” jelasnya.
“Dari hasil tangkapan nelayan yang dihargai pantas itulah nelayan dapat mencicil hutang. Kami pun menjual hasil nelayan ke pasar atau tempat pelelangan dengan mengikuti harga pasar, sehingga ada selisih harga jual kembali itulah keuntungan yang kami dapat selaku pemodal,” katanya.
Ia mengatakan bahwa hasil laut yang diperoleh nelayan saat ini relatif berkurang dibanding pada periode-periode sebelumnya, hal itu menurutnya disebabkan oleh adanya nelayan dari wilayah luar datang untuk melaut di perairan Tanjung Berikat.
“Dulu lebaran kita bisa panggil artis ke pantai kampung kita, sekarang hasil tidak sebanyak dulu karena berbagi rejeki juga dengan nelayan dari luar Tanjung Berikat, jadi laut kita juga menjadi sumber rejeki nelayan dari tempat lain,” katanya.
“Laut Tanjung Berikat juga surganya ikan-ikan berkualitas tinggi, dimana lagi bisa menikmati ikan seenak ikan Tanjung Berikat?” kata Sahandi. (jon)