BANGKA BARAT, LASPELA – Kasus dugaan tindak pidana penyerobotan lahan dan mafia tanah di Desa Buyankelumbi, Kecamatan Tempilang, Kabupaten Bangka Barat (Babar) kini bergulir ke meja hijau. Padahal, kasus itu sempat ditangani Kejaksaan Agung (Kejagung), melalui Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) telah memutuskan di tahun 2022 lalu, bahwa Sertifikat Hak Milik (SHM) lahan di Buyankelumbi dan diterbitkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Babar cacat secara hukum dan administratif.
Kejati Babel, kala itu telah merekomendasikan agar SHM yang telah terbit atas kepemilikan seorang perempuan berinisial RT, asal Airruay, Pemali, Bangka diminta untuk dibatalkan. Rekomendasi itu kemudian ditindaklanjuti Pemdes Buyankelumbi.
Bersama mantan Kades Buyankelumbi dan BPN Babar, pengajuan pembatalan SHM atas inisial RT tadi kemudian disampaikan ke Kanwil BPN Babel. Hal ini, kala itu, membuat keluarga Dodi Rianto, pemilik lahan yang diduga telah diserobot tersebut merasa lega.
“Kami tadi berpikir mereka (Kubu RT) ini tadi tidak bakal berani menggugat karena sudah ada hasil penyelidikan dari Kejati dan temuan menyatakan sertifikat itu cacat hukum. Tahu-tahu tahun 2023, RT gugat Deni,” kata Dodi Rianto, Selasa (30/1/2024).
Dodi mengatakan, Deni sendiri adalah kakak kandungnya, pemegang Surat Kepemilikan Tanah (SKT) atas lahan yang diduga telah diserobot RT ini di mana SKT itu terbit tahun 2005. Tidak hanya kakaknya saja, RT ikut layangkan gugatan kepada BPN Babar dan kades.
“Saat ini kasus itu masih bergulir di PN Mentok, belum ada keputusan dengan perkara sidang gugatan perdata. Kemarin, kita baru sidang pemeriksaan saksi-saksi, Jumat nanti, tim hakim akan kroscek ke lapangan untuk lihat detail lokasi lahan kami ini,” ucapnya.
Dodi mengatakan, awalnya lahan yang dimiliki keluarganya ini selama puluhan tahun tak pernah ada masalah. Namun, pada tahun 2018, ia merasa kaget saat hendak mengajukan penerbitan Surat Pernyataan Pengakuan Penguasaan Atas Tanah (SP3AT) ke pihak desa.
Kata pihak Pemdes Buyankelumbi kala itu, lahan yang hendak mereka urus tidak bisa diterbitkan SP3AT lantaran adanya pihak lain yang mengklaim atas kepemilikan. Oleh Dodi, ia sempat mempertanyakan siapa pihak yang telah melayangkan klaim kepemilikan.
“Sebelum ke tahap pengajuan SP3AT di desa, ceritanya kami saat itu hendak mengikuti program KRS Ubi Kasesa di Pudingbesar, Bangka. Syarat untuk mengikuti dan menjadi kelompok tani anggota KSR harus mempunyai SP3AT, minimal sampai kecamatan,” katanya.
“Maka kami ke desa serta mengajukan penerbitan SP3AT. Kaget kami ketika pihak desa bilang tidak bisa karena ada pihak lain yang klaim punya sebagian tanah kami. Saya tanya siapa yang klaim, pihak desa menjawab keluarga dari inisial RT,” ungkap Dodi Rianto.
Lebih lanjut, klaim kepemilikan lahan yang dilayangkan keluarga RT dengan dasar Surat Izin Usaha Perkarangan Pertanian tahun 1974 dari orang tua RT inisial SR. Sehingga lahan ini telah diterbitkan sertifikat terlebih dahulu sebagian oleh desa atas nama RT. (oka)