PPh atas Natura/Kenikmatan, Prinsip Keadilan Pajak dalam Berusaha bagi Pemberi Kerja

Oleh : Dedy Gusmar, SE., M.M.

Penyuluh Pajak Ahli Muda
Pada KPP Pratama Bangka

 

Pemberian suatu fasilitas penunjang atau fasilitas tambahan bagi para karyawan di suatu perusahaan adalah sesuatu hal yang lumrah dan wajar di dalam dunia usaha. Hal ini umumnya dimaksudkan untuk memberikan kenyamanan dalam bekerja dan dalam rangka menunjang peningkatan kinerja serta pemberian apresiasi kepada para karyawan berprestasi. Adapun fasilitas yang diberikan ini tentu saja tidak hanya dalam bentuk uang saja yang lazim disebut sebagai pemberian dalam bentuk natura atau kenikmatan.

Di dalam ketentuan perpajakan, pemberian fasilitas berupa natura atau kenikmatan ini pada peraturan perundang-undangan perpajakan yang diatur dalam UU Nomor 36Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan adalah bukan merupakan objek pajak penghasilan bagi penerimanya, dan di sisi lain atas pemberian natura atau kenikmatan tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai biaya bagi pemberi kerjanya.

Namun, sejak diundangkan UU nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan maka saat ini pemberian natura/kenikmatan yang dilakukan oleh pemberi kerja dapat dicatat sebagai biaya dan dikurangkan dari penghasilan pemberi kerja sepanjang natura/kenikmatan tersebut dilakukan dalam rangka kegiatan 3M, yaitu mendapatkan, managih, dan memelihara penghasilan pemberi kerja. Dan di sisi lain, atas natura/kenikmatan tersebut merupakan objek pajak penghasilan bagi penerimanya.

Dengan berlakunya Pajak Natura ini yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 66/PMK.03/2022, Penulis melihat bahwa ada suatu penerapan prinsip keadilan dalam kebijakan pengenaan pajak atas natura/kenikmatan ini. Hal ini dapat dilihat melalui ketentuan atas imbalan berupa natura/kenikmatan yang dikategorikan sebagai salah satu objek pajak penghasilan (PPh) bagi penerimanya.

Kenapa penulis berpendapat demikian? Hal ini didasarkan pada pemikiran bahwa berdasarkan ketentuan UU PPh yang lama disebutkan bahwa atas penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura/kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah bukan merupakan objek pajak penghasilan bagi penerimanya, dan biaya yang dikeluarkan oleh pemberi kerja berupa imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan tidak dapat dikurangkan atau dibebankan sebagai biaya usaha untuk menentukan penghasilan kena pajak (keuntungan).

Lalu dengan terbitnya regulasi tentang pengenaan pajak atas imbalan yang diberikan dalam bentuk natura/kenikmatan ini, maka atas semua biaya yang dibebankan berupa pemberian imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan kepada para pegawai dapat dikurangkan secara fiskal untuk menentukan laba atas seluruh kegiatan usaha pemberi kerja, sepanjang biaya pemberian natura/kenikmatan tersebut berkaitan dengan pengeluaran dalam rangka 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan perusahaan/pemberi kerja, dengan ketentuan bahwa imbalan yang diterima oleh pegawai tersebut merupakan objek pengenaan pajak penghasilan.

Walaupun pemberian imbalan berbentuk natura/kenikmatan ini merupakan objek pajak penghasilan bagi pegawai yang menerimanya, namun pemerintah juga telah menetapkan regulasi mengenai batasan-batasan natura/kemikmatan yang bukan merupakan objek pajak penghasilan bagi penerima imbalannya, terdiri dari:
1. Penyediaan makanan/minuman/bahan makanan/minuman bagi seluruh pegawai;
Natura dan/atau kenikmatan di daerah tertentu;
2. Natura dan/atau kenikmatan karena keharusan tertentu;
3. Natura dan/atau kenikmatan yang bersumber atau dibiayai dari APBN/APBD/APBDes;
4. Natura dan/atau kenikmatan dengan jenis dan/atau batasan tertentu.

Sehingga dengan adanya regulasi ini, bagi pemberi kerja tetap dapat mencatat pemberian imbalan berupa natura/kenikmatan ini sebagai pengeluaran secara fiskal atas biaya yang dikeluarkan dalam rangka menghitung laba keuangan perusahaan secara fiskal, sehingga diharapkan dapat mengurangi beban PPh Badan yang akan ditanggung oleh perusahaan dari laba bersih fiskalnya, yang pada akhirnya akan memberikan dampak bagi keberlangsungan bisnis perusahaan pemberi kerja.(**)

 

(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja)