PANGKALPINANG, LASPELA — Ketua Bidang Fatwa dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bangka Belitung, Rusydi Sulaiman mengajak para penghulu untuk tidak hanya memenuhi aspek administratif formal, tapi lebih menyikapi persoalan serius di tengah masyarakat.
Rusydi menilai jika pernikahan tidak hanya dilihat secara normatif dan historis, namun pernikahan perlu disikapi secara spiritual bahkan transendental.
“Karena pernikahan bukan hanya menyangkut hubungan suami istri dan anaknya, tapi lebih kepada penguatan hubungan dengan tuhan, Allah Swt.
Artinya, orang yang sudah menikah memiliki tanggungjawab besar untuk kelangsungan kehidupan keluarganya,” kata Rusydi saat menjadi narasumber Bimbingan Teknis (Bimtek) Peningkatan Kapasitas Penghulu yang diselenggarakan oleh Kanwil Kementerian Agama, Jumat (13/10/2023).
Rusydi yang juga sebagai Direktur Madania Center Babel dan Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi Islam IAIN Syaikh Abdurrahman Siddiq mengatakan, pernikahan dini dan hal-hal lain yang melekat menjadi persoalan yang sangat nyata di tengah masyarakat.
Dimana masyarakat kurang menyadari bahwa pernikahan merupakan syarat menuju keluarga yang sakinah, mawadah dan warahmah.
Padahal, kata Rusydi, pemerintah dengan tegas mengeluarkan aturan mengenai batas usia perkawinan di Indonesia.
Undang-undang Perkawinan Nomor 16 tahun 2019, (Usia 19 tahun baik bagi perempuan maupun laki-laki) diberlakukan sejak 15 Oktober 2019, sebagai pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (laki-laki 19 tahun, perempuan 16 tahun).
Sementara, merujuk dari Undang-undang tersebut, BKKBN merekomendasikan usia minimal usia laki-laki 25 tahun dan perempuan 21 tahun, dengan alasan kesiapan pendewasaan usia, fisik, mental, finansial, moral, sosial, interpersonal, keterampilan hidup, dan kesiapan intelektual.
“Perkawinan di usia muda jelas akan berdampak pada nilai-nilai sosial kemasyarakatan. Pernikahan dini menjadi isu nasional yang harus mendapatkan perhatian khusus baik dalam hal pencegahan, dan larangan,” bebernya.
Dikatakannya, banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pernikahan dini, diantaranya faktor sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, agama, sulit mendapatkan pekerjaan, media masa, serta cara pandang/pola pikir anak atau orang tua.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pernikahan dini di Bangka Belitung tercatat pada tahun 2018 sebanyak 14,28 persen, tahun 2019 sebanyak 15,5 persen.
Sedangkan pada Tahun 2020 pernikahan dini di Bangka Belitung cukup tinggi yakni mencapai 18,78 persen (urutan 1 dari 34 provinsi) di masa pandemi. Tahun 2021 menurun menjadi 14,5 persen, dan tahun 2022 diangka 7,91 persen (menurun, di posisi ke-20 dari 34 provinsi). (*/mah)