Kajian Yuridis tentang Perizinan Pedagang Kaki Lima di Bahu Jalan Kota Pangkalpinang Melalui MBKM Riset Mahasiswa

Oleh: Adilla Riski, Dhea Preyanita Oktari, Ernest Violita

Ketiga penulis merupakan Mahasiswi Universitas Bangka Belitung

 

 

Tim Riset Mahasiswa Universitas Bangka Belitung (UBB) melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) dari Fakultas Hukum berupaya meneliti mengenai perizinan Pedagang Kaki Lima (PKL) yang dilakukan antara bulan Juli sampai bulan Oktober di Pangkalpinang. Hal ini bukan tanpa alasan karena masih banyak sekali pedagang kaki lima yang berdagang di tempat yang bukan peruntukannya.

Tim riset mahasiswa UBB ini terdiri atas Dhea Preyanita Oktari, Adilla Riski, Ernest Violita dengan Fasilitator atas nama Dr. Sigit Nugroho, S.H., M.H. Kegiatan riset mahasiswa ini berlangsung selama 14 minggu dengan konversi 20 sks.

Sebagai Fasilitator, Sigit mengungkapkan bahwa penelitian ini berkaitan dengan perizinan pedagang kaki lima yang menempati bahu jalan atau trotoar. Berjualan di bahu jalan dapat menimbulkan masalah seperti terjadi kemacetan, terganggunya aktivitas pejalan kaki. Tak hanya itu, jalan menjadi kotor yang diakibatkan sampah bekas berjualan dan masalah lainnya.

Sementara itu, sebagai Ketua Tim Riset, Dhea Preyanita Oktari menyebutkan bahwa penelitian ini menarik untuk dilaksanakan, dikarenakan berdasarkan fenomena di lapangan masih banyak pedagang kaki lima yang tidak paham akan larangan berdagang di bahu jalan atau trotoar.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2019 tentang penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat untuk dijadikan dasar hukum. Berdasarkan pada Perda tersebut telah di jelaskan pada Pasal 20 Ayat (1) yang berbunyi “Setiap orang atau badan dilarang: a. melakukan usaha di jalan, trotoar, taman, jalur hijau, di atas saluran air, bantaran sungai, waduk dan sarana umum lainnya dengan menggunakan sarana bergerak maupun tidak bergerak; b. menempatkan, menyimpan benda-benda/barang-barang dengan maksud untuk melakukan sesuatu usaha di jalan, trotoar, jalur hijau, taman dan tempat-tempat umum atau tempat lain yang tidak sesuai dengan peruntukkannya.”

Berdasarkan aturan tersebut, pedagang kaki lima tentu tidak diperbolehkan untuk berdagang di jalan, trotoar, jalur hijau, dan taman, karena pedagang kaki atau yang sering disebut PKL merupakan sebuah komunitas pedagang, yang kebanyakan berjualan dengan memanfaatkan area pinggir jalan raya. Mereka menggelar dagangannya, atau gerobaknya di pinggir perlintasan jalan raya. Kawasan tersebut termasuk dalam kategori kawasan yang dilarang dalam peraturan tersebut. Disamping mengenai pelanggaran yang dilakukan ini, pedagang kaki lima juga tidak memiliki izin berusaha dalam menjalankan usahanya.

Hasil wawancara tim terhadap beberapa pedagang kaki lima, mereka mengatakan bahwa tidak memiliki surat izin melainkan hanya izin secara lisan kepada pihak-pihak tertentu. Sesuai dengan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 46/2009 tentang Perubahan atas Permendag No. 36/2007, seseorang yang mendirikan usaha wajib memiliki SIUP (Surat izin usaha perdagangan). Jika pelaku usah belum memiliki SIUP, pelaku usaha dapat medatangi Kantor Dinas Industri dan Perdagangan atau PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu/One Stop Service) di Pangkalpinang. Bahkan, permohonan pengajuan SIUP dapat dilakuka secara online.

Dari hasil wawancara peneliti dengan Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu dengan narasumber Bidang Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan, Melinda mengatakan bahwa untuk perizinan berdagang sekarang lebih dipermudah cukup dengan melakukan pelengkapan data di laman oss.go.id. Terkait PKL di Pangkalpinang yang telah mendaftarkan izin melalui website ini masih minim/rendah. Oleh karena itu Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu melakukan sosialisasi terkait dengan perizinan melalui sistem ini dengan cara mengundang camat/lurah untuk datang ikut hadir dalam sosialisasi yang diselenggarakan oleh Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu terkait perizinan dalam sistem ini. Karena pihak Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu tidak dapat mengadakan sosialisasi yang dapat dihadiri oleh para pedagang/pelaku usaha, dan juga mengingat diperlukannya dana yang cukup besar.

Terkait tempat berdagang/posisi berjualan m dalam website tidak dicantumkan tempat berjualan. Hanya saja, terdapat alamat yang akan dijadikan tempat untuk berusaha. Oleh karena itu, setelah terbit nomor/surat perizinan, maka Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu akan melakukan pengawasan beberapa kali dalam setahun terhadap objek dan tempat dimana pelaku usaha berusaha. Jika terdapat pelanggaran ketidaksesuaian, maka Dinas Pelayanan Terpadu Satu Pintu hanya memberikan pembinaan terkait pelanggaran tersebut.

Kemudian, peneliti juga melakukan wawancara dengan Kepala Seksi Ketertiban dan Ketetapan Umum Satpol-PP Kota Pangkalpinang, Fajri. Ia menyatakan bahwa faktor penghambat dilakukannya penegakan hukum Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ketertiban Umum dan Ketentraman Masyarakat, yaitu:

1. Faktor Masyarakat, karena masyarakat tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor keuangan, psikis, sosial atau politik. Selain itu juga faktor masyarakat yang menjadi penghambat yaitu:

a. PKL tidak terima dengan dilakukannya pembongkaran
b. Kurangnya pengetahuan para PKL mengenai aturan yang dibuat oleh Pemerintah sehingga kurang terlaksananya ketertiban dikawasan Kota Pangkalpinang;

2. Faktor Penegak Hukum.

Satpol-PP mengalami kesulitan dalam melakukan pembongkaran terhadap PKL yang melanggar aturan yang telah ditetapkan karena para PKL menolak dan memberontak dilakukannya pembongkaran dengan alasan bahwa berjualan di tempat tersebut merupakan satu-satunya mata pencahariannya; Kurangnya jumlah tenaga aparat penegak hukum Satpol PP.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas.

Tidak adanya tempat relokasi untuk para PKL yang dibongkar, sehingga tidak adanya solusi yang diberikan kepada para PKL (walaupun sebetulnya jika adapun tempat untuk relokasi menurut beliau, relokasi itu hanya untuk PKL yang telah memiliki izin untuk berjualan di tempat yang telah disediakan, sedangkan yang tidak mempunyai izin maka tidak perlu dilakukannya relokasi; terkadang pihak Satpol PP juga kekurangan sarana dalam hal ini mobil untuk melakukan tinjauan ke lapangan.

4. Faktor Hukumnya (Undang-Undang)

Masih banyak para PKL yang melanggar peraturan artinya hukum itu sendiri belum dijalankan dengan baik sesuai dengan bunyinya.

Dari hasil wawancara dengan Satpol-PP, penulis dapat menyimpulkan bahwa terdapat 3 (tiga) faktor yang menjadi kendala dalam pengaturan pedagang kaki lima (PKL) di Kota Pangkalpinang. 3 (tiga) faktor tersebut sebagai berikut:

1. Implementasi Kebijakan
Implementasi kebijakan yang diterapkan Pemerintah Kota Pangkalpinang yaitu sosialisasi kurang intens karena tidak ada anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk membuat sosialisasi kurang intens dan lebih produktif.

2. Lokasi Relokasi yang Kurang Strategis
Pemerintah menawarkan solusi kepada Pedagang Kaki Lima melalui relokasi. Namun, solusi relokasi yang kurang strategis tidak memberikan keuntungan yang seimbang atau signifikan kepada Pedagang Kaki Lima, dalam hal ini pemerintah harus dapat memberikan relokasi yang tepat dan strategis dengan biaya PAD yang cukup besar agar Pedagang Kaki Lima tidak terlalu ragu untuk dipindahkan.

3. Adanya Kelompok Penekan
Adanya kelompok penekan di Pangkalpinang, dimana kelompok penentang kebijakan pemerintah kota Pangkalpinang membuat Pedagang Kaki Lima lebih setuju dengan kelompok penekan dan bergabung dengan Pedagang Kaki Lima yang dilindungi oleh kelompok penekan dan diberi imbalan uang. Hal ini mempersulit pengelolaan Pemerintah Kota Pangkalpinang karena kelompok tersebut cukup terorganisasi dengan baik. (**)