News, Opini  

Merawat Kelekak untuk Kedaulatan dan Lumbung Pangan Masyarakat yang Berkelanjutan

Menghadapi Ancaman Kelangkaan Pangan dari Dampak Pemanasan Global

Oleh: Primadhika Al Manar

Divisi Bioprospeksi dan Pemanfaatan Lestari Hidupan Liar

Fakultas Kehutanan dan Lingkungan – Institut Pertanian Bogor

 

Dewasa ini kebutuhan akan sumberdaya lahan semakin meningkat dengan bertambahnya kebutuhan akan lahan tanaman pangan. Beberapa lahan hutan telah banyak dikonversi untuk pengembangan kawasan pangan yang dilakukan secara terintegrasi (food estate). Namun, beberapa proyek food estate yang telah dikembangkan oleh pemerintah hingga saat ini belum memperlihatkan hasil yang baik, bahkan beberapa proyek dapat dikatakan tidak berhasil. Pengembangan food estate ke depan harus memerhatikan sumberdaya alam lokal dan kebiasaan (kearifan lokal) masyarakat dalam budidaya pertanian.

Seperti halnya masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung, mereka telah lama mengembangkan konsep kelekak sebagai upaya penyediaan sumber pangan bagi keluarga. Kelekak (kelak kek ikak) yang artinya “nanti untuk kamu (kalian)” merupakan suatu kebun campuran yang terdiri atas tanaman kayu dan buah-buahan yang dimiliki oleh masyarakat dan biasanya diwariskan secara turun-temurun. Berdasarkan dokumen Belanda yang ditulis oleh Cornelis de Groot berjudul Herinneringen Aan Blitong, Historisch, Lithologisch, Mineralogisch, Geographisch, Geologisch en Mijnbouwkundig (1887), istilah kleka atau keleka disebut sebagai tempat di Belitung yang masih terdapat sisa-sisa bekas pemukiman; dimana dulunya terdapat sebuah kampung dan kini hanya pohon buah-buahan yang terabaikan yang menandai tempat tersebut.

Berdasarkan tulisan L. Scheperns yang berjudul Aanteekeningen Omtrent de Bevolking van Billiton di dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (1860) dijelaskan bahwa masyarakat di wilayah Kepulauan Bangka Belitung telah melakukan budaya ladang persawahan, dimana pada beberapa kasus masyarakat menanami sekeliling rumahnya dengan beberapa jenis pohon buah-buahan, tempat mereka biasa menghabiskan waktu jika lokasi persawahannya tidak terlalu jauh. Tempat tinggal permanen tersebut disebut sebagai kleka atau kelekak oleh penduduk asli. Sawah dan kleka diwariskan dari orang tua kepada anak setelah meninggal dunia. Kelekak juga dapat dikatakan sebagai salah satu upaya konservasi lahan dan keanekaragaman hayati.

Berdasarkan tulisan lain yang berjudul De Orang Lom of Belom op Het Eiland Banka di dalam Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde (1862) menceritakan bahwa pada bulan Oktober 1860, ditemukan tiga buah lila (meriam kecil) tembaga buatan Palembang di kawasan Koba, yaitu di lokasi berdirinya kampung Kleka Trentang. Menurut tradisi, Orang Lom dulunya tinggal di sebuah kampung bernama Kleka Trentang. Hal tersebut menunjukkan bahwa istilah kleka atau kelekak telah dikenal oleh masyarakat sejak zaman dahulu.

Kelekak dan Kelapa Sawit
Saat ini banyak lahan kelekak yang telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan skala besar, seperti karet dan kelapa sawit. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan ekonomi dan peluang pasar yang ada, sehingga masyarakat lebih memilih untuk mengkonversi lahan kelekak yang dimilikinya untuk dijadikan sebagai perkebunan, terutama perkebunan kelapa sawit. Padahal jika potensi kelekak dapat dimanfaatkan secara optimal maka juga dapat memberikan manfaat bagi masyarakat. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan oleh Tim Peneliti MF Kedaireka di lapangan, spesies tumbuhan berguna yang biasanya hidup dan tumbuh pada habitat kelekak, antara lain durian (Durio zibethinus), manggis (Garcinia mangostana), kabung (Arenga pinnata), nangka (Artocarpus heterophyllus), cempedak (Artocarpus integer), petai (Parkia speciosa), jengkol (Archidendron pauciflorum), duku (Lansium domesticum), dan beberapa spesies tumbuhan berguna lainnya.

Seperti halnya dengan lahan kelekak Nek Hanambal di Desa Belilik, Kecamatan Namang, Kabupaten Bangka Tengah, dimana lahan sekitarnya telah dikonversi menjadi lahan kelapa sawit. Jika kondisi tersebut diabaikan begitu saja maka bisa jadi kelekak Nek Hanambal akan menjadi kelekak terakhir di wilayah tersebut. Bisa jadi dalam kurun waktu lima atau sepuluh tahun ke depan kelekak tersebut telah beralih fungsi menjadi lahan perkebunan kelapa sawit.

Beberapa kelekak di wilayah Kepulauan Bangka Belitung secara perlahan telah diintroduksi dengan tanaman kelapa sawit. Tanaman kelekak seperti nangka, cempedak, dan manggis ditebang untuk diganti dengan tanaman kelapa sawit. Hal tersebut tentunya akan menurunkan keanekaragaman hayati yang ada di kelekak. Masyarakat juga tidak lagi dapat menikmati hasil kebun berupa buah-buahan sebagai sumber pangan dan ekonomi keluarga.

Diperlukan perhitungan proporsi yang tepat terkait luas kawasan perkebunan kelapa sawit di wilayah Kepulauan Bangka Belitung, sehingga tidak semua lahan kelekak dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Kelekak juga dapat memberikan nilai ekonomi kepada masyarakat untuk dapat meningkatkan kesejahteraannya. Pemanfaatan kelekak sebagai lahan agroforestri dapat memberikan nilai tambah bagi masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya lahan dengan low external input, berbeda dengan perkebunan kelapa sawit yang memerlukan high external input dalam pengembangannya, seperti biaya untuk pemupukan dan perawatan tanaman.

Konsep kelekak dapat memberikan keanekaragaman hayati yang tinggi, biaya karbon yang rendah, dan kedaulatan pangan bagi masyarakat. Hal tersebut dikarenakan pada ekosistem kelekak terdapat banyak spesies tumbuhan yang ditanam, sehingga menghasilkan keragaman stratifikasi tajuk sebagai habitat bagi tumbuhan lain maupun satwa liar. Pada konsep kelekak, coorporate control cenderung sangat rendah karena masyarakat memiliki kedaulatan penuh atas lahan dan hasil panen yang mereka miliki. Berbeda dengan perkebunan kelapa sawit, dimana keanekaragaman hayati lebih rendah, biaya karbon lebih tinggi, kedaulatan pangan masyarakat rendah, serta coorporate control yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan kelekak. Hal tersebut sesuai dengan teori Mulvany (2010), seorang pakar agro-ekologi dan kedaulatan pangan dari Inggris bahwa masyarakat tradisional sesungguhnya sudah sejak lama berdaulat di bidang pangan, dalam hal ini yaitu adanya konsep kelekak di masyarakat yang telah menyediakan sumber pangan sejak berabad-abad silam.

Pemanfaatan sumberdaya tumbuhan di kelekak relatif lebih murah dibandingkan dengan perkebunan kelapa sawit. Ekosistem kelekak dibiarkan tumbuh dan berkembang secara alami seperti halnya ekosistem hutan, sehingga serasah dan sisa-sisa tumbuhan menjadi pupuk alami bagi tanaman. Keberadaan kelekak merupakan salah satu cara yang digunakan oleh masyarakat di Kepulauan Bangka Belitung sebagai pertahanan terhadap berbagai aktivitas ekonomi yang merusak lingkungan, seperti penambangan timah dan perkebunan skala besar. Keberadaan kelekak juga telah menjadi barier untuk hama pertanian, hal tersebut dikarenakan ekosistem kelekak dapat menjadi habitat bagi hama pertanian seperti monyet, babi hutan, dan lain sebagainya. Saat tanaman di kelekak berbuah maka serangan hama akan berkumpul pada ekosistem kelekak, sehingga peluang untuk merusak lahan pertanian dan perkebunan, seperti padi maupun lada menjadi lebih rendah. Jika ekosistem kelekak dialih fungsikan menjadi peruntukkan lainnya maka serangan hama pertanian tidak dapat lagi dicegah dan akan merusak lahan-lahan pertanian maupun perkebunan milik masyarakat.

Pemanfaatan Kelekak
Saat ini kelekak masih dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Pemanfaatan tersebut meliputi kegiatan pemanfaatan buah-buahan, sayuran, bahan bangunan, hingga kayu bakar. Kelekak yang masih dirawat dan diperkaya dengan berbagai spesies tanaman dapat memberikan jaminan sebagai sumber pangan dan ekonomi yang berkelanjutan.

Sebagai contoh, pemanfaatan kabung dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat karena dapat dipanen air niranya dua kali dalam sehari. Jika di kelekak terdapat tiga pohon kabung yang bisa dipanen maka bisa mencukupi kebutuhan masyarakat sehari-hari, bahkan bisa juga untuk ditabung. Satu tandan kabung bisa menghasilkan 10 hingga 20 liter air nira dalam sehari, dimana sebagian masyarakat di Pulau Bangka menjual air nira dengan harga antara Rp10.000,00 hingga Rp20.000,00 per liter. Selain itu, air nira juga dapat diolah menjadi gula dengan harga jual yang berkisar antara Rp5.000,00 hingga Rp15.000,00 per keping.

Selain itu, durian yang banyak tumbuh dan ditanam di kelekak juga menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat. Beranekaragam durian lokal juga menjadi salah satu daya tarik pariwisata di Pulau Bangka, khususnya pada saat adanya festival durian yang digelar setiap tahunnya. Hal tersebut tidak terlepas dari peran kelekak yang masih menyimpan keanekaragaman sumberdaya durian. Berdasarkan penuturan masyarakat, durian merupakan salah satu tumbuhan yang harus ada di kelekak selain manggis. Durian merupakan simbol panas dan manggis merupakan simbol dingin, sehingga kedua tumbuhan tersebut mencerminkan sebuah keseimbangan alam.

Pemanfaatan kelekak tidak hanya dilakukan oleh kaum laki-laki saja, kaum perempuan biasanya merawat pohon buah-buahan dan juga menanam sayur dan rempah di kelekak, seperti nanas, singkong, kunyit, sahe, lengkuas, sereh, dan beberapa spesies tumbuhan lainnya. Hasil panen buah dan sayur biasanya dimanfaatkan untuk kebutuhan pribadi maupun dijual ke pasar secara langsung.

Revitalisasi Kelekak
Pada masa sekarang, perlu dibangkitkan kembali budaya kelekak di tengah masyarakat untuk mencegah alih fungsi lahan maupun menurunnya pengetahuan masyarakat terkait kelekak. Seperti halnya yang dilakukan di Desa Kerantai, Kecamatan Sungaiselan, Kabupaten Bangka Tengah, pemerintah desa dan masyarakat bersama-sama membangun kembali (revitalisasi) kelekak desa yang diberi nama kelekak ujang (kelak untuk ikak la jang) yang artinya “nanti untuk kamu generasi muda”. Revitalisasi kelekak sangat diperlukan untuk menghidupkan kembali kearifan lokal masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya lahan (etnoekologi) secara lestari dan berkelanjutan.

Revitalisasi kelekak dapat dilakukan dengan menggunakan spesies tumbuhan lokal yang bermanfaat sebagai sumber pangan dan memiliki nilai ekonomi, seperti durian (D. zibethinus), manggis (G. mangostana), kabung (A. pinnata), nangka (A. heterophyllus), cempedak (A. integer), sukun (A. altilis), petai (P. speciosa), jengkol (A. pauciflorum), duku (L. domesticum), dan beberapa spesies tumbuhan berguna lainnya. Spesies tumbuhan berhabitus pohon sangat penting untuk ditanam sebagai sumber pangan masa depan yang adaptif terhadap perubahan dan pemanasan iklim global dibandingkan dengan tumbuhan semusim seperti padi, jagung, maupun singkong.

Dalam upaya revitalisasi kelekak tentunya diperlukan sebuah stimulus agar masyarakat memiliki kemauan untuk melakukan aksi “konservasi” kelekak. Teori yang dikembangkan oleh Prof. Ervizal Amzu (IPB) terkait “Tri-Stimulus Amar Pro Konservasi” sepertinya sangat relevan sebagai pendekatan untuk memacu semangat masyarakat dalam upaya revitalisasi kelekak. Stimulus pertama yaitu Alamiah, stimulus ini berkaitan dengan sifat dari spesies tumbuhan yang hidup dan tumbuh di kelekak, seperti karakteristik habitat, periode pemanenan, dan lain sebagainya. Stimulus ini juga berkaitan dengan masyarakat sebagai subyek (pelaku) konservasi, yaitu yang berkaitan dengan penguasaan terhadap teknik budidaya, perawatan, serta pemanenan.

Stimulus kedua yaitu manfaat, dimana masyarakat memperoleh nilai manfaat dari keberadaan kelekak. Stimulus ini berkaitan secara langsung dengan nilai ekonomi dan manfaat. Jika masyarakat telah memperoleh nilai manfaat dari kelekak, maka mereka akan mau untuk melakukan aksi revitalisasi kelekak. Seperti halnya mengapa hingga hari ini durian tetap lestari, hal tersebut dikarenakan masyarakat memperoleh nilai manfaat dari keberadaan durian, sehingga masyarakat mau melakukan aksi konservasi durian (seperti kegiatan budidaya). Hal tersebut juga dapat berlaku untuk kelekak, nilai manfaat dari keberadaan ekosistem kelekak sebetulnya sudah dirasakan oleh masyarakat, akan tetapi perlu diungkapkan agar nilai manfaat tersebut tidak kalah dengan nilai manfaat ekosistem lainnya (seperti perkebunan skala besar).

Stimulus ketiga yaitu Rela/Religius, dimana masyarakat memiliki kerelaan untuk melakukan aksi konservasi (revitalisasi) kelekak. Hal tersebut juga perlu mendapatkan jaminan bahwa jika masyarakat melakukan upaya revitalisasi kelekak, maka mereka berhak melakukan pemanenan hasil dari apa yang mereka tanam. Juga perlu jaminan bahwa lahan yang ditanam tersebut tidak dialih fungsikan menjadi areal penggunaan lainnya. Kerelaan untuk menanam akan timbul jika masyarakat memiliki akses terhadap lahan dan hasil panen, jika ada masyarakat yang memiliki keinginan untuk menanam tetapi tidak memiliki lahan maka pemerintah harus hadir untuk memberikan akses pemanfaatan lahan, seperti lahan bekas tambang.

Oleh karena itu sebagai upaya revitalisasi kelekak di wilayah Kepulauan Bangka Belitung maka diperlukan kebijakan pemerintah untuk mempertahankan kelekak milik masyarakat yang tersisa. Diperlukan juga kegiatan penyuluhan dan pendampingan dari berbagai pihak (utamanya perguruan tinggi dan pemerintah daerah) bahwa kelekak merupakan aset masyarakat yang harus dijaga dan dipertahankan untuk generasi yang akan datang. Jika hal tersebut tidak dilakukan maka generasi yang akan datang sudah tidak akan lagi mengenal kelekak, bahkan kelekak hanya akan menjadi cerita yang sudah tidak ada lagi wujudnya. (*)