MUNTOK, LASPELA– Kejaksaan Negeri (Kejari) Bangka Barat (Babar) resmi menahan empat orang tersangka kasus dugaan korupsi sertifikat tanah transmigran di Desa Jebus, Kecamatan Jebus, Kabupaten Babar, Jumat (24/3/2023).
Keempat tersangka yang ditahan berinisial ST, Kepala Bidang Transmigran, Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (DPM Nakertrans) Babar. EP Kasi Pengembangan Pengawasan Transmigran, DPM Nakertrans Babar, HN mantan Kepala Desa Jebus dan AN Exs Honorer BPN Bangka Barat.
“Kami telah melakukan penahanan terhadap empat tersangka, yang pertama ST kemudian EV, kemudian HN dan AN. Adapun keempat tersangka ini akan kami titipkan di Rutan Muntok hingga 20 hari ke depan,” ungkap Kasi Pidsus Kejari Babar, Anton Sujarwo, Jumat (24/3/2023) malam.
Kemudian untuk dua orang lainnya yang telah ditetapkan sebagi tersangka, Anton mengatakan untuk AP alias BB mangkir atau tidak memenuhi panggilan kejaksaan, sementara RF meminta penangguhan pemeriksaan sebagai tersangka.
“Kedua tersangka RF sudah hadir akan tetapi minta tempo hingga Rabu depan, karena penasihat hukum belum bisa hadir. Untuk tersangka AP akan kami panggil satu kali lagi, kalau tidak hadir juga akan panggil secara paksa,” katanya.
Sebelumnya Kejari Babar telah menetapkan enam orang tersangka, yang diketahui tiga orang Aparatur Sipil Negara (ASN) yang berdinas di Dinas Penanaman Modal, Pelayanan Perizinan Terpadu Satu Pintu, Tenaga Kerja dan Transmigrasi (DPM Nakertrans) Kabupaten Bangka Barat.
Tiga orang itu berinisial ST sebagai Kepala Bidang, Transmigran (DPM Nakertrans), RF sebagai Kasi Penyiapan dan Pembangunan Permukiman Transmigran, serta EP merupakan Kasi pengembangan pengawasan Transmigran.
Sedangkan, tiga orang tersangka lainnya, yakni mantan Kepala Desa Jebus berinisial, HN dan AP alias BB merupakan pegawai honorer (DPM Nakertrans) serta AN mantan pegawai honorer Badan Pertanahan Nasional (BPN) Bangka Barat.
Keenam tersangka itu, memanipulasi sebanyak 105 sertifikat dengan ukuran variatif atas nama warga di desa setempat, tanpa diserahkan kepada nama yang bersangkutan. Sehingga negara mengalami kerugian sebesar Rp 5,6 miliar. (Oka)