PANGKALPINANG, LASPELA – Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan (Kanwil DJPb) Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Edih Mulyadi menyoroti isu strategis rencana pelarangan ekspor timah murni batangan.
Dikatakan Edih, timah merupakan salah satu komoditas utama ekspor Indonesia. Kebutuhan dalam negeri hanya 5 persen dari total produksi timah murni batangan.
“Jadi untuk rencana pelarangan ekspor timah murni batangan ini dapat mengakibatkan penumpukan komoditas tersebut,” ujarnya.
Ia menyebutkan, berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), kontribusi ekspor timah sebesar 87,01 persen terhadap total ekspor keseluruhan.
“Itu artinya komoditi unggulan Babel ini memberi peran besar dalam pertumbuhan ekonomi daerah,” tuturnya.
Dipaparkan Edih, timah menyumbang 33,60 persen PDRB Babel dan lebih dari 70 persen PDRB apabila memperhitungkan multiplier effect komoditas tersebut, sedangkan untuk triwulan III 2022 ini timah menyumbang 29,61 persen PDRB Babel. Harga timah dunia di tahun ini sudah turun hampir 50 persen.
“Jadi, apabila penghentian ekspor belum didahului dengan pembangunan industri dalam negeri untuk menyerap timah, dapat menimbulkan guncangan bagi perekonomian Babel. Dan Indonesia berpeluang untuk melakukan ekspor produk turunan timah,” jelasnya.
Diharapkan Edih, pemda agar berupaya untuk menciptakan lapangan pekerjaan lain dari sektor yang potensial.
“Kita berharap pemda dapat menciptakan lapangan pekerjaan lain, seperti sektor pertanian, perdagangan, perkebunan, transportasi, pergudangan, dan kontruksi,” ucapnya.
Selain itu, Pemda juga harus mengembangkan sektor pertanian dan perkebunan, dan harus menggali potensi yang ada seperti pariwisata.
“Kita (Babel) terkenal akan lada putih dan kelapa sawit, bahkan cabe dan bawang merah menjadi peluang yang sangat besar,” ungkapnya.
Lanjut Edih, dampak lain dari pelarangan ekspor timah murni batangan, yaitu penurunan penerimaan dari berbagai jenis pajak.
“Maka diperlukan penanggulangan lebih lanjut dari pemerintah untuk mencari solusi alternatif penerimaan pajak, dan diperlukan juga pengawasan lebih ketat dari DJBC untuk menghindari ekspor ilegal,” terangnya.
Ia menambahkan, kajian terkait dampak hilirisasi timah baik jangka pendek maupun jangka panjang masih terus berlanjut.
“Walaupun ada potensi penurunan penerimaan pajak dari ekspor, akan ada juga value added (nilai tambah, red) dari produk turunan timal. Misalnya penyerapan tenaga kerja yang akan menambah penerimaan PPh Pasal 21,” tutupnya.(chu)