“Kibarkan panji MABMI ke seluruh Kepulauan Bangka Belitung!”
Ijab sekaligus titah dari Sultan Deli, Sultan Mahmud Lamanjiji Perkasa Alam, kepada saya selaku Ketua Pengurus Wilayah (PW) Majelis Adat Budaya Melayu Indonesia (MABMI) KBB yang baru dilantik. Dengan sigap, saya sambut tongkat pataka MABMI yang disorongkan Sultan Deli, lalu berucap qobul, “Siap! Akan kami kibarkan pataka MABMI ini ke seluruh Indonesia!”
Kontan, terdengar riuh tawa kecil dari para pengurus MABMI yang juga baru dilantik, di belakang saya. Sementara Sultan Deli hanya tersenyum. Begitu pula Ketua Umum PB MABMI dan pengurus dari PB lainnya yang menjadi saksi.
Tentu saja senyum! Apa yang saya ucapkan itu saya sadari memang lucu. Ibarat mempelai pria yang sedang qobul dengan calon mertua, saya melebihkan “mas kawin” yang disebutkan dalam ijab. “Aku nikahkan kamu bla bla bla, dengan mas kawin seperangkat alat solat,” kata calon mertua. Saya jawab, saya terima nikahnya dengan mas kawin tersebut ditambah lagi dengan lima gram emas 24 karat!7
Karena hanya ditimpali senyum para saksi dan tak ada yang mengatakan tidak sah, maka ijab qobul itupun resmi menjadi garis demarkasi hukum di masa lalu dan masa kini. Yang terpenting kemudian, saya harus mewujudkan apa yang sudah dikatakan. Beratkah itu?
Ketimbang kalimat yang bersifat denotatif, “ijab qobul” dalam serah terima pataka itu sebetulnya kalimat yang bersifat konotatif (kiasan). Dengan menganggapnya kiasan, tugas kami tentu menjadi lebih kompleks dan berat daripada sekadar menancapkan panji-panji MABMI di pinggir jalanan protokol di seluruh KBB. Tapi itu tentu suatu tantangan.
Secara kiasan, apa yang menjadi titah Sultan Deli itu maknanya adalah tumbuh kembangkan MABMI di seluruh KBB dengan membentuk kepengurusan di tingkat kabupaten/kota. Bahkan sampai ke tingkat ke kecamatan.
Karena ijab dari Sultan Deli itu suatu kiasan, tentu bukan masalah jika qobulnya pun suatu kiasan.
Mengibarkan pataka MABMI ke seluruh Indonesia, karena itu harus dipahami tidak dengan makna apa adanya. Melainkan dengan makna bahwa kami akan menggaungkan nama MABMI ke seluruh Indonesia dengan program-program dan kegiatan MABMI di KBB. Agar apa? Agar semakin banyak orang di Indonesia yang tahu dengan MABMI ini. Terus terang, saya pribadi kalau tidak dikenalkan oleh Datuk Seri Ramli Sutanegara dengan MABMI ini, mungkin hari ini pun saya belum mengenal MABMI.
Advertising atau pengiklanan MABMI ke depan perlu kita perhebat. Tidak harus dengan baleho di pinggir jalan atau iklan di televisi. Tapi dengan tulisan-tulisan semacam ini yang dikirimkan ke berbagai relasi kita di manapun mereka berada. Tak hanya di rentang tanah Melayu tapi sampai ke kawasan timur Indonesia, bahkan ke kutub selatan, jika perlu. Tentu, hal ini mensyaratkan pula bahwa kita perlu membangun jaringan dengan berbagai pihak di seluruh nusantara.
Satu hal yang mungkin luput dari perhatian kita adalah mengapa bukan Ketua Umum PB MABMI langsung yang menyerahkan pataka kepada saya? Mengapa Sultan Deli?
Di sini saya merasakan satu kehormatan, karena kedudukan Sultan Deli ini menurut saya lebih tinggi daripada Ketua Umum PB MABMI.
Sultan Deli mengintruksikan dengan ijab agar mengibarkan MABMI keseluruh pelosok KBB, lalu saya jawab dengan kalimat qobul siap akan saya kibarkan keluruh Indonesia( Nusantara).
Dikarenakan saya tau bahwa kehadiran Sultan Deli ini bukan hanya mewakili kesultanan yang ada di Sumatra Utara, tapi mewakili Kesultanan yang ada di seluruh Nusantara.
Akhirnya saya ucapkan, selamat atas pelantikan Pengurus Wilayah MABMI KBB,
Mari Bersama Bangkitkan Adat Budaya Melayu keseluruh Indonesia (MABMI).(**)