Opini  

Haul Depati Amir dan Karakter Orang Bangka

Oleh: Marwan Al Ja’fari (Sekretaris DPRD Babel)

PADA 28 September malam, masyarakat pecinta sejarah Provinsi KBB, mengadakan acara Haul Depati Amir yang ke-153 . Acara dilaksanakan di Pondok Tuas milik Muhammad Wirtsa Firdaus dengan menghadirkan nara sumber Prof Bustami Rahman, Ustd Fadilah Sabri, Datuk Ahmad Elfian, Ali Usman dan dipandu oleh moderator handal, Ahmadi Sofian.

Saya sendiri diminta oleh panitia untuk menjadi Keynote Speaker, semacam pembicara kunci sebagai pemantik diskusi yang akan dibahas oleh para nara sumber. Untuk menerima tugas itu, ada dua alasan mengapa saya mau menerimanya. Pertama, Depati Amir sebagaimana kita tahu tertangkap oleh pasukan Belanda di Distrik Sungai Selan! Sementara saya sendiri adalah putra Sungai Selain! Kedua, Nama Depati Amir ini, singkat: AMIR! hanya ada satu kata saja, sama dengan nama saya: MARWAN!

Hari ini, kalau kita lihat nama-nama orang Bangka, sudah jarang terdiri hanya satu kata. Kita lihat saja nama para nara sumber kita: Ustadz Fadillah Sabri, Profesor Bustami Rachman, Dato’ Achmad Elvian, Saudara Ali Usman, Adinda Ahmadi Sofyan, bahkan tuan rumah acara ini: Wirtsa Firdaus! Semuanya dua kata.

Dua hal itu secara liar menggiring pikiran saya kemudian kepada dugaan bahwa jangan-jangan saya ini adalah “penghubung” spirit antara orang yang hidup pada masa lalu dengan sekarang, dan Sungai Selan sebagai titik pertemuan antara keduanya! Jadi, mengapa Amir tertangkap di Sungai Selan, ini menjadi semacam tanda-tanda alam dan kode, jangan-jangan tongkat estapet pejuangan Amir diserahkan kepada orang Sungai Selan- untuk melanjutkannya.

Tentu apa yang saya sampaikan di atas hanyalah suatu omong besar saja, atau istilah kitanya TAIPAU belaka. Tapi itulah yang saya sampaikan terang-terangan di hadapan hadirin dalam Haul Depati Amir malam itu. Lebih lanjut saya sampaikan pula hal-hal berikut ini, namun ada pula di tulisan ini yang baru disampaikan sekarang.

Kembali ke soal TAIPAU. Ini adalah istilah kawan-kawan kita masyarakat Tionghoa atau Ton Ngin, namun telah menjadi kosakata yang lintas etnik dalam pembicaraan harian kita. Ketika Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini sedang diperjuangkan pembentukannya, saya tahu betul Bang Dharma Sutomo, Bang Agus Adaw, Panglima Johan Murod dan kawan-kawan yang lain juga, menggunakan strategi TAIPAU ini sebagai upaya memompa percaya diri para pejuang dan meyakinkan pihak-pihak pengambilan keputusan di Jakarta.

Kita tentu masih ingat, ketika Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sedang diperjuangkan, tak sedikit yang bertanya-tanya: Mau makan dari mana orang Bangka Belitung kalau timah sudah habis? Para pejuang provinsi dengan TAIPAU-nya saat itu berkata bahwa orang Bangka dan Belitung sekarang pun bisa hidup tanpa sumbangsih timah! Lebih-lebih kalau sudah punya provinsi sendiri!

Oleh karena diskusi malam itu mencoba mengulik karakter orang Bangka, maka saya menyarankan agar TAIPAU itu menjadi salah satu yang layak dimasukkan di dalam daftar karakter orang Bangka. Tidak harus diartikan melulu negatif, TAIPAU juga dapat bermakna positif ketika posisi dan komposisi penggunaannya proporsional. Tinggal lagi, dalam kaitannya dengan diskusi tentang Depati Amir, ke-TAIPAU-an macam apakah yang ditunjukkan Depati Amir sebagai bagian dari perjuangannya melawan Belanda dahulu, itu yang perlu dijelaskan oleh para nara sumber.

Yang jelas, Depati Amir kini telah menjadi menjadi tokoh bagi Bangsa Indonesia. Mengapa demikian? Karena demikianlah hakikat dari Pahlawan Nasional!

Seorang anak manusia nusantara dari berbagai daerah di Indonesia ini, ketika ia sudah ditetapkan menjadi Pahlawan Nasional, maka ia adalah milik seluruh bangsa Indonesia! Sukarno, KH Ahmad Dahlan, KH Hasyim Asyhari, dan seterusnya, semuanya adalah Pahlawan Nasional, milik seluruh bangsa Indonesia, dan bukan lagi milik keluarga saja, bukan milik sukunya saja, bukan milik organisasinya saja. Tapi, sekali lagi, milik seluruh bangsa Indonesia!
Oleh sebab itu, jangan kita persempit eksistensi Depati Amir ini hanya sekadar sebagai milik orang Kepulauan Bangka Belitung. Apalagi secara fakta, saudara-saudara kita di Kupang NTT sana pun mengenal siapa Depati Amir, yang oleh karena itu eksistensi Depati Amir semakin jelas bukan hanya milik kita yang ada di Bangka ini saja, bukan hanya milik keluarga atau keturunannya saja.

Ini sama dengan timah yang berlimpah di bumi Kepulauan Bangka Belitung. Kekayaan ini jangan kita anggap hanya milik kita di Kepulauan Bangka Belitung ini saja. PT Timah pun jangan kita anggap hanya milik orang Bangka. Apalagi setelah Kantor Pusat dan dirutnya ngepos di Pangkalpinang, lalu PT. Timah kita anggap hanya milik orang Bangka saja. Ini sama saja kita menurunkan ‘grade’ PT. Timah yang sudah BUMN menjadi Badan Usaha sekelas BUMD. Artinya yang mau menambang timah dari manapun boleh, asal mematuhi aturan main yang berlaku.

Siapapun yang menjadi Direktur PT Timah, dari manapun asalnya bagi kita tak perlu jadi masalah. Harus kita dukung! Kita wujudkan bersama-sama ekosistem pertimahan yang kondusif sehingga terwujud pula apa yang menjadi visi Dirut PT Timah kita: Timah untuk Indonesia ! Timah yang bermanfaat bagi seluruh
bangsa Indonesia, yang membawa feed back kemanfaatan berlipat ganda bagi masyarakat Kepulauan Bangka Belitung yang telah merasakan langsung dampak ekologis penambangan di daerahnya, di darat dan di laut!.

Pada titik ini tampaknya kita bisa memahami mengapa penggunaan nama Depati Amir pada bandar udara (bandara) kita memiliki fungsi yang strategis. Dengan penamaan bandara kita Depati Amir, setiap orang yang datang ke Bangka khususnya dari dalam negeri, akan tahu, kenal, dan bangga memiliki Pahlawan Nasional bernama Depati Amir. Sebagaimana kita juga bangga dengan Teuku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, dan lain-lain.

Hanya saja, kita mungkin perlu kiranya menjelaskan dengan cara tertentu agar orang tahu bahwa Depati Amir bukanlah bawahan dari Sultan Palembang, yaitu Sultan Mahmud Badaruddin II yang juga merupakan nama Bandara di Kota Palembang. Tanpa kita mengetahui duduk perkara yang benar dan sejarah yang utuh, rasa-rasanya kalau kita berangkat dari Bandara Depati Amir (Pangkalpinang) menuju Bandara Sultan Mahmud Badaruddin II (Palembang), perjalanan kita itu bagaikan perjalanan bawahan menghadap atasan! Perjalanan hendak menyampaikan seserahan! Sedang jika saudara kita dari ‘seberang’ berangkat dari Bandara SMB II (Palembang) menuju Bandara Depati Amir (Pangkalpinang) bagaikan perjalanan atasan menghadapi bawahan. Perjalanan dalam rangka inspeksi! Apalagi jika pesawat yang ditumpangi adalah Sriwijaya Air! Mungkin semakin terasa “kerendahan simbolik” kita tertanam di alam bawah sadar!

Untunglah, kita dan banyak orang tahu, bahwa pendiri dan pemilik maskapai Sriwijaya Air, adalah putra Bangka asli, yaitu Bapak Chandra Lie. Karena itu, sekalipun mungkin ada sedikit kekalahan dalam level simbolik, namun dalam level yang realistik, kita tidak kalah! Justru kita memuji Bpk Chandra Lie yang cerdik dalam menentukan nama maskapainya sebagai bagian dari kerangka strategis pemasaran/marketing! Poinnya adalah: sumberdaya tetap berada dalam kendali Bpk Chandra Lie.

Pada poin tersebut mungkin perlu dan bisa dijadikan inspirasi oleh masyarakat dan pemerintah Kepulauan Bangka Belitung, agar bagaimana ke depan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung ini memiliki Bank sendiri, sebagaimana Provinsi Bengkulu sudah bisa memiliki banknya sendiri! Berbagai permasalahan tentu ada, tapi dengan semangat kebersamaan dan sumberdaya yang tersedia kiranya secara berangsur-angsur kita dapat mewujudkan adanya bank kita sendiri!

Di sini kembali kita diingatkan kepada perjuangan Depati Amir yang dengan semangat kebersamaan dan keberaniannya, mengantarkan beliau layak menjadi tokoh dan pahlawan di level nasional!

Depati pada nama Depati Amir, bukanlah istilah yang melekat padanya, karena pemberian Sultan Palembang Darussalam. Sejarah mencatat: Sultan Palembang memang pernah memberikan gelar Depati dan memandatkan kepada Amir untuk menjalankan fungsi kedepatian itu di Bangka, tapi Amir menolaknya. Namun masyarakat Bangka saat itu, tetap menyebut dan memandang Amir sebagai depati, sehingga lekatlah sampai saat ini sebutan atau nama: Depati Amir!

Singkat kata, gelar Depati pada nama Depati Amir itu adalah gelar yang disematkan oleh rakyat! Bukan penguasa! Karena itu, jika saat ini ada pemberian gelar-gelar yang dilakukan oleh elemen masyarakat kepada para tokoh, tak perlu buru-buru kita menyalahkan! Sebab begitulah dulu Depati Amir mendapatkan gelar kedepatiannya, padahal sangat jelas Depati adalah gelar yang semestinya berasal dari penguasa yang sah!

Edukasi dan sosialisasi kedudukan Depati pada Depati Amir demikian itu, kiranya perlu disalurkan melalui sarana yang lebih menggoda kita
dengan cara berpikir lebih dinamis dan menghidupkan narasi-narasi yang inspiratif. Bukan dengan menyederhanakannya dalam simbol statis.

Bagi saya pribadi, imajinasi Depati Amir itu adalah orangnya flexible: Bisa serius, bisa juga bergurau! Mudah bekerja sama dengan banyak pihak, apalagi bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa yang telah lama hidup di Bangka.

Terakhir, saya kira: jika Depati Amir hari ini masih hidup dan kita tanyakan pendapatnya tentang pendirian Universitas Kong Hu Cu di Pulau Bangka, maka dia akan manggut-manggut setuju sembari mengangkat kedua jempolnya dan mengatakan silahkan lanjutkan pembangunannya. (*)