SIAPAPUN yang bepergian dari Sungailiat ke Pangkalpinang, sekitar 8 menit dari arah Sungailiat pasti akan melintasi Kampung Kenango atau Kenanga. Kampung ini merupakan salah satu pemukiman di Kecamatan Sungailiat, Kabupaten Bangka, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Lokasinya tak jauh dari pusat kota Sungailiat, sekitar 9 kilometer saja.
Dalam perspektif BUKITOLOGI (ilmu perbukitan yang kami gagas), Kampung Kenanga berada dalam pengaruh kuat bukit Rebu’, Bukit Sambung Giri, bahkan Bukit Betung. Jika Bukit Rebo menyimbolkan kehidupan para nelayan, Bukit Betung simbol kemakmuran para petani, dan Bukit Sambung Giri simbol kekayaan pertambangan timah, kiranya
ini cukup menjelaskan mengapa kampung ini sangat kental dengan adat budaya tradisi nganggung yang selaras dengan semboyan adat budaya Bangka, Sepintu Sedulang.
Pada tanggal 1 Muharam atau perayaan Tahun Baru Hijriyah, setiap rumah di kampung ini menganggung dulang yang berisi makanan ke masjid. Setelah selesai mendengar ceramah berupa santapan rohani, para tuan rumah, tamu dan handai taulan melanjutkan santapan jasmani dengan makan bersama-sama. Ada semangat kegotongroyongan, kebersamaan, dan silaturrahmi di tengah anggota masyarakat, tokoh agama, serta para pejabat dan pemimpin negeri Serumpun Sebalai yang terjadi di acara ini.
Dibandingkan dengan daerah lainnya di pulau Bangka, Kenango menjadi salah satu kampung yang sangat komit dalam partisipasi meramaikan pergantian tahun Hijriah. Setiap tahunnya tradisi ini pasti dilaksanakan.
Dalam hati saya timbul pertanyaan, mengapa nama kampung ini oleh para leluhur diberi nama sama dengan nama bunga Kenanga? Apakah dulunya di sini banyak ditumbuhi bunga Kenanga?
Orang tua leluhur kita dulu memang sering tak terduga. Ketika menamakan sebuah tempat dengan nama tumbuhan, tak jarang membuat orang zaman now terkecoh. Sebab, nama tumbuhan yang diambil rupanya tak banyak tumbuh di tempat itu. Bukan sebaliknya.
Sebut saja misalnya Puding. Kampung Puding. Puding ini nama pohon. Banyak yang tak tahu itu, karena yang mana pohon Puding itu sendiri, boro-boro banyak, satupun batangnya tak ada di kampung ini. Dulu, kata salah seorang warga, ada satu pohon di salah satu pojok kampung, tapi kini tak ada lagi.
Barangkali begitu pula dengan Kampung Selindung. Bahwa Selindung itu adalah nama pohon, mungkin juga banyak yang tak tahu. Yang mengatakan Selindung ini pohon adalah teman saya yang pernah rekreasi di Kebun Raya Bogor. “Ada pohon, di dekatnya ada papan nama kecil bertulis nama Selindung,” katanya.
Hari ini, di kampung Selindung pun mungkin kita tak akan (mudah) menemukannya.
Lalu bagaimana dengan nama Kenanga?
Nama Kenanga sering diartikan sebagai “keharuman”, maksudnya keharuman dari para leluhur. Keharuman itu berlimpah dan mengalir kepada anak keturunannya.
Jadi, bunga Kenanga melambangkan keberkahan seseorang dan diharapkan keberkahan tersebut dapat mengalir kepada generasi selanjutnya.
Bunga Kenanga biasanya di Indonesia digunakan sebagai bunga tabur untuk kuburan dan pohonnya dijadikan sebagai tempat berteduh.
Akan tetapi di dalam kepercayaan masyarakat Jawa, biasanya bunga ini digunakan untuk ritual yang dicampur dengan Melati, air bunga setaman (dipakai untuk siraman pengantin), serta air yang berasal dari tujuh sumur.
Selain digunakan untuk acara ritual, bunga Kenanga merupakan bunga kesayangan anggota keluarga keraton di Jawa. Di keraton, bunga ini biasa digunakan untuk bahan “Ngadi Salira” (perawatan tubuh) sebab bunga kenanga mengandung minyak yang baik untuk kulit.
Sedangkan filosofi bunga Kenanga di Jawa, Kenanga itu Keneng-a yang artinya generasi sekarang harus mencapai apa yang pernah dicapai oleh para pendahulu, dengan cara mencontoh perilaku baik yang pernah dilakukan oleh para pendahulu.
Selain itu Kenanga bermakna , kenaag-en ing angga yang bermakna harapan agar anak zaman sekarang selalu mengenal warisan leluhur yang berupa tradisi, kesenian, budaya, dan filsafat. Hal ini bertujuan, agar apa yang pernah dicapai oleh para pendahulu tidak akan hilang dan tergerus oleh zaman.
Filosofi Jawa tentang Kenanga ini kelihatannya selaras sekali dengan pemikiran masyarakat Kenanga dalam mengharumkan nama kampungnya sehingga sampai tercium dan terdengar oleh masyarakat di luar. Ribuan orang dari berbagai penjuru setiap tahun datang ke kampung Kenanga. Mereka ikut serta dalam merayakan datangnya bulan Muharram atau Tahun Baru Islam yang selalu dirayakan dengan meriah di Kampung Kenanga, Sungailiat.
Tidak ada catatan yang resmi kapan dimulainya tradisi perayaan Muharram di kampung ini, tapi menurut cerita orang-orang tua, tradisi ini muncul dari sebuah proses pembahasan ide bersama, dalam kesederhanaan dan ketulusan dari tokoh agama dan tokoh masyarakat serta pemerintah di sini yang ingin membuat sesuatu yang berarti kelak di kemudian hari.
Ada juga yang mengatakan, karena tempat ini dulu orangnya masih sedikit, bahkan sebagian masih memiliki hubungan keluarga dekat, dirasakanlah perlu oleh masyarakatnya untuk mengadakan kegiatan massal yang memadukan konsep dakwah, sosial dan hiburan rakyat yang melibatkan masyarakat itu sendiri. Seperti kumpul-kumpul di masjid untuk mendengarkan dakwah, dan menyaksikan perlombaan, seperti azan, baca Quran, sholawatan, barzanjian.
Sebuah pola dakwah sosial yang mengajak orang menjadi cinta masjid, kemudian mau memakmurkan masjid.
Di sisi lain, diadakan pula perlombaan tarik tambang, lompat karung, makan kerupuk, catur, tenis meja, bola volli, bola kaki antar warga, membuat makanan, dan bahkan dipuncak 1 Muharramnya diadakan silaturahmi massal, dengan mengundang khalayak dan handai taulan untuk bersama sama menikmati makanan ala kadarnya seperti makanan lebaran serta diiringi pada malam harinya hiburan rakyat sebagai puncak acara. Sebuah upaya menghimpun kebersamaan dan merasakan kedamaian bagi masyarakat kampung ini dan sekitarnya.
Inilah sebuah gambaran kesederhanaan dari pemikiran orang dulu. Mereka berbuat dengan ketulusan. Walaupun tidak muluk-muluk dalam memahami makna dari perayaan 1 Muharram itu sendiri menurut agama, mereka berbuat, agar kelak di kemudian hari ada pemikiran yang lebih baik dan relevan dengan zaman dari generasi penerusnya untuk memaknai perayaan 1 Muharram itu sendiri.
Spirit yang diwariskan para leluhur dahulu
dalam upaya mengharumkan nama baik kampung, tradisi, dan daerah, masih tetap dipertahankan oleh masyarakat Kenanga yang ada di zaman sekarang ini. Hal itu terlihat sekali dari antusiasme masyarakatnya dalam mempertahankan nilai- nilai adat dan tradisi yang mengharumkan nama baik daerahnya.
Mereka tidak saja memperingati tradisi Muharram ini hanya dengan peringatan seremonial, tetapi di balik itu ada spirit luhur yang tetap mereka lanjutkan, yaitu menjaga harumnya nama baik kampung, agama, dan daerah, serta mempertahankan adat dan tradisi yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka.
Jujur saja, spirit seperti ini di zaman sekarang sudah mulai luntur di mana-mana.
Akan tetapi hal ini tidak terjadi di kampung Kenanga. Di balik antusiasnya masyarakat Kenanga dalam mempertahankan adat dan tradisinya, sekarang hadir lagi tokoh-tokoh agama dan para seniman yang dilahirkan dari Kenanga, seolah-olah kampung ini tak kehabisan cara untuk menyebarkan dan mempertahankan semerbak harumnya Kenanga.
Tokoh agama, artis dan seniman di Kabupaten Bangka bahkan sampai ke level nasional banyak yang muncul dari Kenanga.
Siapa yang tidak kenal dengan Ustadz Suhardan, yang pernah 13 tahun menjadi ajudan Kiai Haji Abdullah Gymnastiar( Aa Gym), dan ikut dakwah keliling Indonesia bersama Aa Gym. Di kalangan seniman, siapa yang tidak kenal dengan nama Tomi Ali, Artono, Almarhum Abdul Hamid( Cak Mid), Nunung Rahmawati. Mereka adalah tokoh- tokoh legendaris Kenanga yang levelnya ada yang sudah berkaliber nasional.
Kehadiran mereka lewat sejuknya siraman rohani yang disampaikan dan merdunya suara serta kepiawan para seniman dalam bernyanyi dan bermain musik benar-benar mengingatkan —seakan akan kita sedang ikut merasakan— harumnya bunga Kenanga yang sedang disebarkan semerbaknya oleh tokoh-tokoh legendaris Desa Kenanga ini. (**)