Maksimalkan Potensi Pendapatan Negara, Kemenkeu Dorong Tata Kelola Pertambangan

PANGKALPINANG, LASPELA – Guna memaksimalkan potensi pendapatan negara dari sektor pertambangan, yang masuk dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP), Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terus mendorong tata kelola pertambangan. Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak SDA dan KND Kemenkeu, Kurnia Chairi mengatakan, penerimaan PNBP timah di Bangka Belitung (Babel) dipengaruhi volume penjualan dan harga.

“Penerimaan 2020 menurun seiring turunnya volume, namun Penerimaan 2021 meningkat karena peningkatan volume dan harga. Penerimaan 2022 diproyeksikan akan meningkat karena meningkatnya harga timah,” ujarnya saat menjadi narasumber pada seminar timah nasional yang digelar hybrid di Santika Bangka dan online melalui platform Zoom Meeting, Jumat (22/7/2022).

Ia mengatakan Penerimaan Dana Bagi Hasil terbesar dalam 5 tahun terakhir diperoleh oleh Pemprov Babel sebesar Rp522,57 miliar atau sebesar 22,69% selanjutnya Kabupaten Bangka sebesar Rp367,13 miliar atau 15,94%. Penerimaan DBH terbesar didapatkan pada tahun 2019 dengan total DBH sebesar Rp796,95 miliar.

“Untuk sumber daya minerba ini, sampai saat ini memang SDA minerba masih menjadi pemain kuncinya (pendapatan),” katanya.

Kurnia mengatakan dengan sinergitas SIMBARA, maka sektor pertambangan lebih terawasi. “Kedepan, Kementerian Keuangan bisa melihat dari hulu dan hilir pertambangan timah,” ucapnya.

Sementara itu Mamit Setiawan dari Energy Watch yang hadir dalam seminar tersebut mengatakan ada beberapa isu yang saat ini sedang dibahas, pertama wacana larangan ekspor timah, adanya wacana kenaikan royalti dan desakan penerbitan IUP untuk Logam Tanah Jarang.

Menurutnya perlu adanya tata kelola industri timah yang lebih baik lagi yagn tidak hanya berorientasi pada penerimaan negara tetapi juga terhadap masyarakat sekitar.

“Pelarangan ekspor timah harus dipikirkan kembali dampaknya bagi industri timah sendiri, industri dalam negeri, masyarakat, pemerintah daerah dan pastinya terhadap penerimaan negara,” jelasnya.

Dengan cadangan timah Indonesia yang tidak besar, maka banyak persoalan yang harus disoroti dan menjadi persoalan industri timah nasional. Menurut dia cadangan itu diperkirakan hanya sampai 11-12 tahun ke depan.

“Tata niaga timah yang masih lemah dan belum mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah baik pusat maupun daerah,” ujarnya.

Ia pun menyoroti konsumsi timah domestik yang masih rendah, dan hilirisasi timah yang lambat.

“Kalau konsumsi sedikir, dan industri hilirisasi lambat, akan sulit untuk indusrti ini di masa depan,” katanya.

Mamit menambahkan, kemudahan proses perizinan harus dilakukan agar masyarakat tidak terjebak di pertambangan liar.

“Rawan terhadap terjadinya konflik sosial masyarakat terkait perbedaan ekonomi yang cukup luas. Terhadap lapangan pekerjaan dan isu-isu lainnya,” tutupnya. (wa)