YANG Keempat Melempar Jumrah. Setelah jamaah haji meninggalkan Arafah, mereka menuju Muzdalifah untuk mabit. Selanjutnya, jamaah ke Mina, tempat Nabi Ibrahim akan melaksanakan perintah Allah SWT menyembelih putranya Ismail AS.
Sebelum sampai di tempat yang dituju, Nabi Ibrahim digoda iblis untuk membatalkan niatnya melaksanakan perintah Allah tersebut. Iblis menggoda Nabi Ibrahim di tiga tempat, dan di setiap tempat iblis menggoda, Nabi Ibrahim melontarkan batu kepada iblis.
Iblis akan selalu menggoda manusia untuk tidak menaati perintah Allah SWT. Betapa pun kecilnya kadar kebajikan yang dilakukan manusia, godaan iblis pasti senantiasa menghadang.
Melontar jumrah mengingatkan jamaah haji bahwa iblis selalu berusaha menghalangi orang mukmin yang akan melakukan kebaikan. “Sungguh syetan mengalir pada manusia sebagaimana jalannya darah”.
Untuk mengikuti jejak Nabi Ibrahim, lemparan jumrah dilaksanakan di tempat Nabi Ibrahim, Siti Hajar istrinya, dan Nabi Ismail, seolah-olah kita juga ikut melempari Iblis yang dilaknat Allah sehingga putuslah harapannya yang ingin menjadikan jamaah haji tunduk dan taat kepadanya.
Ada dua tahap dalam ibadah melontar jumroh:
1. Melempar Jumrah ‘Aqabah sebanyak tujuh kali lontaran disertai takbir setiap kali melontar pada tanggal 10 Zulhijjah, setelah matahari terbit. Sementara bagi orang yang lemah baik wanita, anak-anak dan orang lemah lainnya dibolehkan melempar malam hari raya (pada akhir malam).
2. Melontar jumrah di hari Tasyrik dilakukan pada tanggal 11,12, dan 13 Zulhijah.
Saya jadi teringat dengan peristiwa melontar Jumrah Aqobah pada 20 tahun yang lalu, atau tepatnya pada 1 Februari 2004, peristiwa melempar jumroh Aqobah pada waktu itu sangat tragis.
Berawal dari para jamaah seluruh dunia banyak memilih waktu afdol untuk melontar Jumroh Aqobah yaitu setelah terbit matahari. Termasuk Jamaah kami yang berasal dari KBB pun sudah bersiap-siap berangkat untuk melontar dan memilih waktu yang dianggap waktu afdol juga.
Saat mereka mau berangkat dari tenda penginapan di Mina, saya selaku Ketua Kloter mendapat telepon dari salah seorang pegawai maktab tempat penginapan kami. Dia meminta saya agar menahan jamaah yg akan berangkat melontar di pagi itu, karena di jalan menuju lokasi jumarot, sedang terjadi insiden. Banyak jamaah yang terinjak injak akibat pertemuan arus jamaah yang tidak terkendali. Mendengar itu kemudian saya mengambil keputusan untuk menghentikan dan membatalkan jamaah yang sudah siap untuk berangkat pagi itu. Pintu pagar langsung saya kunci dengan gembok sehingga tidak ada satu pun jamaah yang boleh keluar dari tenda penginapan di Mina.
Banyak yang protes atas keputusan sepihak tersebut, apalagi jamaah yang saya pimpin di kloter ini banyak dari para pejabat-pejabat senior di Pemprov KBB. Mereka tidak terima dengan keputusan tersebut apalagi yang melarang adalah orang yang masih junior dari mereka. Situasi pun terjadi agak sedikit tegang antara ketua kloter dengan sebagian jamaah. Mereka menganggap ketua kloter menghalang-halangi orang yang mau beribadah, mereka katakan bahwa mereka datang kesini membayar dan tidak gratis. Walaupun sudah saya jelaskan sedang ada insiden dan banyak orang yang terinjak injak di lokasi, tapi mereka tetap ngotot ingin berangkat dan tidak terima kalau harus melontar di waktu siang atau sore karena dianggap waktu melontarnya sudah tidak afdol.
Akhirnya setelah selesai waktu Sholat Zuhur pintu pagar pun saya buka kembali, kemudian mereka saya persilakan untuk berangkat untuk melontar. Saat mereka melintasi jalan menuju lokasi tempat melontar, di tengah jalan para jamaah yang berasal dari KBB, masih sempat melihat mayat-mayat yang bergelimpangan dan dimasukkan ke dalam truk oleh para petugas. Saat itu baru mereka tersadar dan merasa ngeri serta takut melihat banyak mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan. Kemudian ketika jamaah pulang dari melontar, mereka langsung mencari saya. “Di mana ketua kloter berada?!” tanya mereka emosi. Saya kira mereka marah karena kecewa akibat saya tahan tidak boleh berangkat dan gagal mendapat waktu nya yang afdol.
Setelah saya keluar dari tenda, lalu menemui jamaah yang baru pulang melontar, mereka semua memeluk saya seraya menangis dan mengucapkan terima kasih karena saya sudah melarang mereka melontar di waktu pagi tadi. “Coba kalau kami tidak dilarang mungkin nasib kami sudah sama menjadi mayat seperti jamaah yang terinjak – injak,” isak mereka.
Tragedi Mina di tahun 2004 itu mengakibatkan 251 orang meninggal dunia, akibat terinjak-injak saat melakukan lempar jumrah di Mina. Dari 251 orang yang meninggal, 54 orang di antaranya berasal dari Indonesia. Dibanding negara lainnya, korban dari Indonesia adalah yang terbanyak. Ada juga korban luka-luka, info menyebutkan 244 orang mengalami luka-luka.
Kekacauan tersebut terjadi di dekat jembatan Jamarat dan berlangsung selama 27 menit. Setelah itu prosesi ibadah haji dapat dilanjutkan kembali. (**/bersambung)