Opini  

Upaya meraih Haji Mabrur (Bagian 2)

Oleh: Marwan Al Ja’fari (Sekretaris DPRD Babel)

TAHAP kedua ibadah yang dilakukan jamaah haji selama di Mekkah adalah sa’i.

Ibadah Sa’i merupakan salah satu rukun umrah yang dilakukan dengan berlari-lari kecil bolak-balik tujuh kali dari Bukit Shafa ke Bukit Marwah dan sebaliknya. Kedua bukit yang satu sama lainnya berjarak sekitar 405 meter.

Dari gambaran di atas, sa’i dilakukan untuk mengingatkan manusia agar selalu berusaha. Keyakinan Siti Hajar akan mendapatkan pertolongan Allah bermakna bahwa kita tak boleh putus asa dalam menghadapi situasi apa pun.

Sa’i adalah gambaran hidup manusia di dunia dalam berusaha. Apa yang dilakukan Siti Hajar dalam mencari air untuk minum dirinya dan Ismail, benar-benar bersifat materiil, kebutuhan yang dimiliki manusia.

Secara sederhana, sa’i memberikan kita makna tentang dua hal, yaitu tawakkal dan ikhtiar. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan karena merupakan satu-kesatuan yang saling berkaitan untuk tercapainya keseimbangan dalam perjalanan kehidupan kita untuk meraih kebahagian.

Sa’i mengajarkan tentang makna perjuangan hidup pantang menyerah. Dalam hidup ini, setiap orang harus siap berjuang keras dan pantang menyerah. Namun demikian, juga selalu disertai dengan tawakkal, kesabaran, keuletan, dan ketaqwaan kepada Allah SWT.

Yang ketiga Wukuf di Arafah.
Wukuf atau berdiam diri di Arafah dalam keadaan ihram dilaksanakan saat matahari tergelincir pada 9 Dzulhijjah (hari Arafah) sampai terbit fajar hari nahar (Idul Adha) pada 10 Dzulhijjah.
Dengan pakaian seragam putih, para jamaah berkumpul melakukan wukuf di Padang ‘Arafah. Wukuf di Padang ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah itu merupakan puncak ritual ibadah haji di tanah suci dan menjadi salah satu rukun haji, yang menurut Rasulullah SAW bahwa “Haji itu adalah Wukuf di Padang Arafah”, tanpa dengannya, haji tidak sah, sebagaimana sabdanya dalam hadis seperti tersebut di atas. Kata wukuf berasal dari bahasa Arab “wuquf” dengan akar kata waqafa berarti berhenti, dengan pesan moralnya mengajarkan manusia untuk sejenak meninggalkan aktivitas dunianya selama beberapa jam, yakni berhenti dari kegiatan apapun agar bisa melakukan perenungan jati diri, sedang kata ‘arafah berarti naik-mengenali. Dari makna bahasa ini dapat diperoleh suatu hikmah, bahwa Wukuf di Padang ‘Arafah, pada hakekatnya, adalah suatu usaha di mana secara fisik, tubuh jemaah haji berhenti di Padang ‘Arafah, lalu jiwa-spiritual mereka naik menemui Allah swt. Itulah hakekat wukuf di Padang ‘Arafah.

Wukuf di Padang ‘Arafah ini memberikan rasa keharuan dan menyadarkan mereka akan yaumul mahsyar, yang ketika itu, manusia diminta untuk mempertanggungjawabkan segala yang telah dikerjakannya selama di dunia. Di Padang ‘Arafah itu, manusia insaf dengan sesungguhnya merasakan betapa kecilnya dia dan betapa agungnya Allah, serta dirasakannya bahwa semua manusia itu sama dan sederajat di sisi Allah, yang membedakan hanyalah ketaqwaan. Di tempat itu, mereka sama-sama berpakaian putih-putih, sama-sama memuji dan berdoa dengan bacaan talbiah yang sama pula sambil mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam.

Padang Arafah merupakan sesuatu yang sangat bersejarah bagi jamaah, di mana Nabi Muhammad Saw pernah berkhotbah yang disampaikan kepada para hujjaj di Padang ‘Arafah pada tanggal 9 Dzulhijjah Tahun ke-10 Hijrah. Dalam khutbah tersebut, Nabi Muhammad SAW mengajak manusia ke jalan Allah SWT, dan menyeru mereka agar menghormati hak-hak suci sesama manusia baik laki-laki maupun perempuan.

Dalam khutbah tersebut pula, Nabi Muhammad SAW, antara lain, menegaskan “Sesungguhnya darahmu, harta bendamu, dan kehormatanmu adalah suci atas kamu seperti sucinya hari (haji)mu ini, dalam bulanmu (bulan suci Dzulhijjah) ini dan di negerimu (tanah suci) ini.”

Khutbah ‘Arafah seperti terlihat di atas, sangat menekankan pada prinsip-prinsip kemanusiaan yang harus dijaga dan dihormati. Pesan ini sejalan dengan ajaran al-Qur’an yang menegaskan bahwa setiap pribadi (individu) manusia harus dihormati hak-haknya, karena setiap pribadi itu mempunyai nilai-nilai kemanusiaan sejagat (universal), sebagaimana tersurat dalam QS al-Ma’idah ayat 32
“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

Pesan-pesan yang disampaikan Nabi Muhammad SAW. dalam khutbah ‘Arafah tersebut, sebagian di antaranya, kini dikenal sebagai Hak-hak Asasi Manusia (HAM). Untuk itu, khutbah ‘Arafah dapat disebut dengan nama “Deklarasi ‘Arafah”, karena termasuk salah satu deklarasi mengenai HAM itu sendiri. Sebagai deklarasi, khutbah ‘Arafah, tentu mendahului semua deklarasi tentang HAM yang pernah dikenal di dunia Barat.

bersambung

kembali, kemudian mereka saya persilakan untuk berangkat untuk melontar. Saat mereka melintasi jalan menuju lokasi tempat melontar, di tengah jalan para jamaah yang berasal dari KBB, masih sempat melihat mayat – mayat yang bergelimpangan dan dimasukkan ke dalam truk oleh para petugas. Saat itu baru mereka tersadar dan merasa ngeri serta takut melihat banyak mayat yang bergelimpangan di sepanjang jalan. Kemudian ketika jamaah pulang dari melontar, mereka langsung mencari saya. “Di mana ketua kloter berada?!” tanya mereka emosi. Saya kira mereka marah karena kecewa akibat saya tahan tidak boleh berangkat dan gagal mendapat waktu nya yang afdol.

Setelah saya keluar dari tenda, lalu menemui jamaah yang baru pulang melontar, mereka semua memeluk saya seraya menangis dan mengucapkan terima kasih karena saya sudah melarang mereka melontar di waktu pagi tadi. “Coba kalau kami tidak dilarang mungkin nasib kami sudah sama menjadi mayat seperti jamaah yang terinjak – injak,” isak mereka.

Tragedi Mina di tahun 2004 itu mengakibatkan 251 orang meninggal dunia, akibat terinjak-injak saat melakukan lempar jumrah di Mina.
Dari 251 orang yang meninggal, 54 orang di antaranya berasal dari Indonesia. Dibanding negara lainnya, korban dari Indonesia adalah yang terbanyak.

Ada juga korban luka-luka, info menyebutkan 244 orang mengalami luka-luka.
Kekacauan tersebut terjadi di dekat jembatan Jamarat dan berlangsung selama 27 menit.
Setelah itu prosesi ibadah haji dapat dilanjutkan kembali. (**/bersambung)