Oleh : Dwi Hadini
Mahasiswa Fakultas Hukum/Universitas Bangka Belitung
DISINFORMASI atau missinformasi atau malinformasi atau hoax sangatlah berbahaya karena menggaburkan informasi, yang mana membuat masyarakat bingung dalam menerima informasi-informasi yang seharusnya sudah tersaring oleh pembawa berita tersebut.
Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) pada tahun 2017, saluran penyebaran hoax terbesar di Indonesia adalah melalui media sosial dan aplikasi chatting. Adanya media sosial membuat semakin maraknya penyebaran informasi hoax yang menimbulkan keresahan bagi penggunanya.
Topik yang sering diangkat terkait adanya berita hoax adalah hal-hal yang berkaitan dengan isu politik, SARA, dan kesehatan.
Penggunaan media sosial yang dimanfaatkan secara positif ikut turut membantu dalam pencegahan berita hoax, karena adanya penyaringan informasi yang secara edukatif agar masyarakatnya sendiri ikut serta dalam hal belajar dan memahami informasi yang baru terbit.
Seperti yang telah diketahui bahwa, adanya penyebaran berita hoax tersebut jelaslah karena adanya penyebab. Penyebab yang dapat diketahui ialah karena adanya pengalihan isu, kepentingan pribadi untuk benefit yang diinginkan, kurangnya informasi dalam menerbitkan berita, serta kurangnya penegakan hukum.
Penyebaran hoax memiliki dampak bagi masyarakat dan oknum-oknum yang terkait, baik itu dalam bidang politik, ekonomi, maupun bidang sosial.
Contoh dampak penyebaran berita hoax dalam bidang politik ialah, masyarakat dapat terdoktrin ke dalam pandangan-pandangan politis yang saling berlawanan, terutama ketika peristiwa politik sedang berlangsung. Hoax dengan dalih isu politik dapat menciptakan fanatisme dalam benak seseorang, atau pihak yang didukung akibat adanya informasi yang seolah-olah satu pihak tidak memiliki cela. Sementara, pihak lain (oposisi) pantas untuk dicaci, sehingga memiliki cela dalam isu-isu bohong atau hoax.
Hoax dengan topik politik yang digunakan, sebagai sarana untuk mempengaruhi pandangan politik masyarakat. Selain itu, penyebaran hoax dapat berdampak pada pembuatan kebijakan publik, apabila para pemangku kepentingan dan penentu kebijakan justru terpengaruh oleh berita palsu yang beredar. Tentu saja pelaku yang telah meyebarkan hoax atau berita bohong dapat dijerat oleh hukum.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Rikwanto, menuturkan bahwa orang yang menyebarkan informasi palsu atau hoax di dunia maya akan dikenakan hukum positif. Hukum positif yang dimaksud adalah hukum yang berlaku, yaitu dikenakan KUHP, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, serta tindakan ujaran kebencian telah menyebabkan terjadinya konflik sosial.
Tersebarnya berita-berita hoax ke media sosial sangatlah mudah di era industry 4.0 ini. Maka dari itu, kita sebagai masyarakat yang cerdas tentunya harus lebih kritis dalam membaca, memahami, dan menyaring kembali berita-berita yang sedang disebarluaskan agar tidak menelan mentah-mentah berita tersebut.
Berita hoax yang dikemas secara menarik dan meyakinkan seolah-olah membuat berita tersebut terkesan berita benar, mulai dari judul hingga pada penutupnya. Juga ditambah oleh banyaknya yang menyebarkan berita tersebut ke media sosial membuat pembaca, atau masyarakat akan percaya terhadap kebenaran berita hoax tersebut.
Penindakan secara tegas bagi pelaku penyebar berita hoax ke berbagai media sosial perlu diperkuat terhadap pelaku, dan pengawasan terhadap undang-undang yang mengatur mengenai penyebaran isu-isu yang tidak sesuai dengan fakta-fakta atau tidak akurat. Serta menyarankan kepada masyarakat agar selalu mengecek kembali kebenaran berita atau sumber informasi pada berita sebelum menarik kesimpulan, dan ikut dalam menyebarkan berita tersebut kembali.