Oleh: Basir
Mahasiswa Fakultas Hukum/Universitas Bangka Belitung
INDONESIA merupakan bangsa dengan beragam agama serta kemajemukannya. Dari keragaman yang ada tentu meliputi perbedaan yang ada, tak terkecuali agama. Tanah air dianugerahi ribuan jiwa dengan latar berbagai macam agama seperti Agama Islam , Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu sebagai aliran kepercayaan.
Keragaman ini diakui, dikembangkan, dan dapat kita ketahui sendiri bahwa masyarakat dijamin dalam memeluk agama. Mengapa demikian?
Tujuannya tak lain, agar bagi pemeluk agama dan kepercayaannya masing-masing dapat melakukan ibadah, sehingga terbinanya kerukunan umat beragama.
Dapat kita ketahui di Indonesia terdapat tiga konsep kerukunan yang dimilikinya, sehingga disebut “Tri Kerukunan Umat Beragama“. Setiap umat beragama perlu atau dapat dikatakan wajib untuk saling menghargai dan menghormati satu sama lain .
Selain itu , dalam kehidupan bermasyarakat sangat penting mengembangkan sikap tersebut, serta diperlukan kerja sama antar pemeluk agama yang satu dengan yang lainnya, sehingga terciptanya kerukunan antar umat beragama.
Namun, tak jarang di tengah kerukunan ada ‘bumbu’ konflik. Kerapkali terjadi pertentangan antara pemeluk agama tertentu dengan pemeluk lainnya, sehingga terjadi konflik dan berakibat mengancam kerukunan antar umat beragama. Konflik tidak dapat terhindarkan, dengan kemajemukan masyarakat Indonesia, dalam artian memiliki cara pandang fanatik.
Akan tetapi, saat ini jika kita ingat kembali, agama telah berhasil menerobos masuk dalam aspek kesukuan, kedaerahan, atau bahkan kebangsaan. Padahal, sangat jelas pula agama memiliki potensi sebagai pemersatu bangsa.
Baru-baru ini dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di Masjid dan Musala. Dalam surat edaran tertanda Menteri Agama RI itu, menjelaskan tata cara penggunaan pengeras suara. Juga tertera mengenai pembacaan Al-Qur’an, selawat/tarhim pada waktu tertentu.
Aktivitas di atas selain penggunaan pengeras suara (megaphone) untuk adzan telah dibatasi waktu dengan tenggat waktu hanya 5-10 menit. Edaran ini telah menuai polemik, sehingga dari berbagai pihak banyak memberikan komentar. Sebagian masjid dan musala menyetujui pernyataan surat edaran tersebut, dan ada pula yang tidak setuju.
Apakah Suara Mengaji Itu Mengganggu?
Berdasakan fakta di lapangan, masyarakat Indonesia banyak memberikan komentar mengenai suara mengaji tersebut. Tidak sedikit berkomentar jika suara itu tidak mengganggu sama sekali, bahkan non muslim menyerukan pendapat serupa (tidak mengganggu). Penulis memahami, dari polemik ini dapat ditarik kesompulan setiap persoalan pasti ada pro dan kontra, tergantung dalam sudut pandang.
Sebagai mahasiswa, penulis berpandangan mengenai permasalahan yang terjadi tidak dapat dibenarkan, dan tidak dapat pula disalahkan. Sebab Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2022 ini hanya mengatur penggunaan pengeras suara dan tidak ada unsur melarang. Jika kita kaji kembali dalam surat edaran tersebut, ada penggunaan pengeras suara luar dan pengeras suara dalam.
Akan tetapi yang menjadi permasalahan di masyarakat ialah batasan pembacaan Al-Qur’an, selawat/ tarhim yang hanya diberikan waktu 5-10 menit. Mereka berpikir itu adalah waktu yang sedikit. Menurut saya, untuk pembacaan Al-Qur’an, selawat/ tahim dapat diberikan waktu paling lama 30 menit, dengan memenuhi persyaratan kelayakan, yakni kualitas suara agar tidak sumbang atau bagus, serta memiliki pelafalan yang baik dan jelas, sehingga dari masyarakat merasa tidak terganggu.