Oleh: Rafizah Purnama
Mahasiswi Fakultas Hukum/Universitas Bangka Belitung
PACARAN saat ini bukan lagi menjadi hal yang tabu di kalangan remaja, bahkan masyarakat umum. Mulai dari anak SD, SMP, SMA, dan Kuliah sekalipun rata-rata sudah memiliki pacar. Banyak yang beranggapan bahwa pacaran bisa memberi dampak positif, antara lain menjadi support system dan penyemangat dikala banyak tugas-tugas yang menghampiri.
Tidak hanya itu, seringkali pacar juga dijadikan teman berbagi cerita dan keluh kesah mengenai berbagai masalah yang terjadi, atau dianggap sebagai rumah kedua (pelarian). Apalagi jika remaja tersebut berasal dari keluarga broken home yang kurang akan kasih sayang, sehingga mencari pelarian yang tanpa disadari menjerumuskan dirinya sendiri.
Pelecehan pun menjadi risiko dan sangat rawan untuk terjadi pada 2 orang (laki-laki dan perempuan) yang memiliki hubungan spesial atau biasa disebut pacaran. Seringkali, hubungan pacaran ini yang kerap dimanfaatkan untuk menyalurkan hasrat dan nafsu semata. Hanya dengan melontarkan kata “sayang”, hasrat dan nafsu tersebut bisa langsung didapatkan dengan mudah.
Terkadang ada beberapa remaja yang merasa bahwa jika berpacaran, maka pasangan itu menjadi milik sepenuhnya. Memang, jika sudah sayang dengan pasangan, (terkadang) apapun bakal diberikan termasuk kehormatan diri. Dan tentu saja yang dirugikan bukan pihak laki-laki, melainkan si perempuan. Karena pada dasarnya kehormatan diri seorang perempuan itu sangat mahal dan berharga.
Jika membuka mata dan melihat dengan jelas banyak di sekitar kita, bahkan mungkin saja orang terdekat kita yang telah mengalami pelecehan oleh pacarnya sendiri. Dapat dikatakan pelecehan karena cenderung si laki-laki lebih dominan untuk memaksakan kehendak. Belum lagi jika pemaksaan tersebut diikuti ancaman, rayuan, dan bujukan yang terus-menerus, bahkan sampai ada yang mengungkit-ungkit materi yang telah diberikan.
Hal tersebut akhirnya menimbulkan rasa tidak nyaman dan akhirnya, karena rasa sayang yang amat besar dari si perempuan menjadikan ia rela melepaskan kehormatan dirinya.
Kasus pelecehan yang telah dipaparkan oleh penulis diatas banyak ditemui di kalangan remaja. Akan tetapi, para remaja yang menjadi korban pelecehan ini cederung memilih untuk diam dan memendam semuanya sendirian.
Tidak hanya itu, seringkali yang mengalami pelecehan saat pacaran merasa malu jika harus speak up tentang apa yang dirinya rasakan. Ketakutan akan dicap buruk oleh orang-orang sekitar dan dijauhi, itulah yang ada di pikiran si korban. Selain itu, ketergantungan korban terhadap pelaku mengakibatkan munculnya dilema akankah harus mengungkapkan apa yang dialaminya.
Mereka takut nantinya akan ditinggalkan dan dicampakkan begitu saja. Hal ini tentu akan berbahaya bagi kondisi mental dan psikis si korban. Walaupun dilandaskan rasa sayang dalam hati kepada pasangan, tetapi tak seharusnya kalian para perempuan memberikan kehormatan dirimu.
Banyak bermunculan pertanyaan mengenai pelecehan seksual dalam hubungan pacaran apakah bisa dijerat hukuman, secara pelecehan ini mengaitkan unsur paksaan dari si laki-laki kepada pasangannya. Kalau dari sudut pandang normatif, pastinya bisa saja pelaku dalam kasus ini dijerat hukuman. Namun, kerap kali terjadi hambatan saat proses penanganan hukumnya.
Mengapa demikian? Pertama, aparat penegak hukum masih saja memandang bahwa kejadian ini terjadi akibat adanya suatu relasi yang baik antara si korban dan pelaku. Padangan ini menjadikan perempuan sebagai korban objek pelecehan seksual lebih tinggi karena relasi kuasa yang si pelaku gunakan.
Oleh sebab itu, pelecehan semacam ini bukan dipahami sebagai suatu perkara seksual, melainkan dipandang sebagai relasi kuasa. Antara relasi kuasa dengan hubungan romantis berpacaran terletak dari adanya persetujuan kedua belah pihak.
Disisi lain, relasi kuasa tercipta melalui paksaan yang bersifat eksplisit (ancaman) maupun implisit (situasi untuk tunduk). Kasus pelecehan seksual jenis ini banyak dilaporkan terkait adanya paksaan dari si laki-laki kepada perempuan, persetubuhan, pencabulan juga pemerkosaan. Situasi ini perlu mendapatkan perhatian serius agar tidak terjadi berulang-ulang.
Apakah ada aturan atau dasar hukum untuk menyelesaikan kasus pelecehan dalam pacaran?
Tentunya Undang-Undang Dasar 1945 dapat menjadi pijakan dasar dalam memberikan hukum yang sama antara perempuan dan laki-laki. Dalam arti kata, kesetaraan gender sangat diperlukan dalam menyikapi persoalan tersebut. Dengan adanya kesetaraan gender, maka keadilan hukum bagi semua orang tanpa membedakan jenis kelamin dan latar belakang dapat tercapaikan. Tetapi, untuk kasus ini sampai sekarang belum ada aturan yang dapat dijadikan pedoman perlindungan bagi si perempuan yang mengalami pelecehan dalam hubungan pacaran.
Sementara itu, Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan seksual (RUU PKS) belum disahkan sampai saat ini. Lidwina Inge Nurtjahyo, salah satu Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia berpendapat bahwa, budaya literasi dalam masyarakat Indonesia yang terbilang masih rendah menjadi salah satu penghambat disahkannya RUU tersebut.
Sedangkan menurut Andy Yentriyani selaku Ketua Komisi Nasional (Komnas) Perempuan, berdasarkan hasil kajian Komnas Perempuan dan Komnas Kajian Global bahwa, pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) sudah tidak dapat ditunda lagi. Pelecehan, bahkan kekerasan yang dialami korban dapat menjadi traumatis yang besar dan berdampak untuk dirinya, serta lingkungan sekitarnya di kemudian hari.
Langkah-langkah yang dapat kita lakukan untuk mengatasi munculnya kasus pelecehan seksual seperti ini, sebagai berikut;
1) Sebisa mungkin menghindari yang namanya pacaran, karena bagaimanapun pacaran itu tidak dianjurkan, terutama dalam agama. Pacaran zaman sekarang sudah melampaui batas dan mulai mengikuti gaya pacaran kebarat-baratan yang di mana memasukkan unsur seksual kedalamnya.
2) Jika sudah terlanjur pacaran, usahakan ada hubungan timbal-balik yang menguntungkan kedua belah pihak. Misalnya; menjadikan pacar sebagai penyemangat dan pemberi dukungan serta motivasi yang dapat diandalkan. Melakukan hal-hal positif yang jauh dari unsur seksual.
3) Jangan takut untuk mengatakan tidak dan menolak permintaan pasangan yang sudah mulai toxic. Jangan mudah untuk memberikan sesuatu milik kalian yang berharga hanya karena ucapan “Sayang”. Gunakanlah otak sebelum menggunakan hati dan perasaan.
4) Memberikan sosialisasi dan edukasi mengenai kesetaraan gender antara perempuan dan laki-laki di kalangan remaja dan juga masyarakat umum.
5) Belajar memilah mana lingkungan pergaulan yang membawa dampak positif dan mana yang berdampak negatif
Bagaimana jika sudah terlanjur memberikannya kepada pasangan?
Menyikapi hal ini, kalian para perempuan tidak perlu takut dan malu untuk speak up tentang pelecehan yang dialami. Sekarang sudah ada yang namanya Komunitas Perlindungan Perempuan. Di sana kalian bisa mengutarakan apa yang kalian rasakan tanpa takut hal itu tersebar luas.
Untuk para remaja perempuan di sekolah dan universitas, kalian bisa mengutarakannya lewat organisasi yang ada di lingkungan sekolah dan universitas kalian. Di universitas ada Badan Eksekutif Mahasiwa (BEM) yang didalamnya terdapat salah satu dinas yang mengacu pada gender dan perempuan. Mungkin bisa membantu memberi masukan dan saran untuk permasalahan kalian ini.
Intinya, perempuan itu bukan makhluk yang lemah. Derajat perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Perempuan dan laki-laki berhak memperoleh hak-hak sebagai seorang manusia, serta menikmati status yang setara, dan kondisi yang sama untuk mewujudkan secara penuh hak-hak asasi dan potensi dirinya. Beranilah untuk speak up jika mengalami kasus pelecehan dan kekerasan seksual dimana pun dan kapan pun itu.