Catcalling Termasuk Pelecehan Seksual, kok Bisa?

Dhea Preyanita Oktari
Mahasiswa Fakultas/Hukum Universitas Bangka Belitung

 

BERDASARKAN kasus-kasus pelecehan seksual yang telah merebak ke khalayak masyarakat pada saat ini, masyarakat pada umumnya hanya mengetahui bahwa bentuk pelecehan seksual hanya sebatas ‘sentuhan fisik’.

Mereka tidak mengetahui bahwa terdapat sebuah pelecehan seksual yang sering terjadi di kehidupan sehari-hari yang dianggap sebagai hal yang biasa.

Fenomena yang dimaksud adalah catcalling. Catcalling merupakan bentuk pelecehan seksual di ruang publik, yang biasanya dilakukan di jalanan atau fasilitas umum lainnya, dengan korban yang akrab dengan orang dewasa maupun remaja.

Mirisnya, catcalling di dalam masyarakat dianggap sebagai bentuk pujian yang diberikan seseorang kepada orang yang mereka anggap menarik perhatiannya. Bahkan banyak orang justru merasa bangga ketika menjadi korban catcalling. Mereka (korban) beranggapan dirinya menarik di mata orang lain. Padahal, tanpa disadari mereka telah menjadi korban pelecehan.

Namun, ada juga masyarakat beranggapan bahwa catcalling itu adalah bentuk pelecehan yang dapat mengganggu, dan dapat membuat seseorang tidak nyaman. Bahkan, catcalling dapat berakibat mengerikan.

Biasanya pelaku dari catcalling itu sendiri berasal dari laki-laki, dan untuk korban berasal dari perempuan. Namun, tidak menutup kemungkinan bahwa hal tersebut dapat terjadi sebaliknya.

Dilansir dari Regain, ada beberapa tipe catcalling. Pertama bisa dilakukan dari bentuk siulan yang dilakukan pelaku ketika melihat bentuk tubuh korban, dan memanggil dengan nada menggoda atau yang kedua adalah dalam bentuk komentar yang berbaur seksual.

Catcalling sendiri tidak harus menggunakan bahasa yang berbau kasar dan cabul atau pun menyinggung pihak korban. Selain itu, pelecehan ini dapat dilakukan di mana saja. Biasanya sering terjadi di tempat yang sepi, ketika jumlah pelaku lebih banyak daripada korban.

Contohnya ketika korban sedang mengendarai sepeda motor di kawasan yang sepi, yang di mana terdapat segerombolan laki-laki yang melempar siulan maupun pujian.

Seperti yang telah dijelaskan diatas, perempuan bisa menjadi pelaku, namun berdasarkan fakta di lapangan yang menjadi pelaku dominan lebih diasosiasikan dengan laki-laki. Di dalam kasus-kasus catcalling yang terjadi, alasan pelaku melakukan pelecehan ini merupakan alasan yang sederhana. Mereka melakukan hal tersebut sebagai bentuk reaksi terhadap objek yang mereka anggap menarik, atau sebagai bentuk interaksi antara lawan jenis.

Meskipun alasan pelaku melakukan hal tersebut tidak membahayakan korban, namun pihak korban merasa tidak nyaman dan merasa terintimidasi terhadap tindakan yang dilakukan pelaku catcalling. Korban merasa direndahkan dan merasa dilecehkan. Sebagai seorang perempuan, tentunya merasa tidak aman di dalam melakukan aktivitas yang dijalankan dikarenakan catcalling tersebut.

Dari fenomena tersebut akibat yang ditimbulkan adalah reaksi korban adalah bentuk menyalahkan diri sendiri atas pelecehan yang terjadi, namun tak jarang dari korban beranggapan bahwa pakaian merupakan alasan mereka mengalami pelecehan, meskipun pada dasarnya pakaian bukan merupakan patokan objek dalam berinteraksi.

Pada umumnya tidak ada pihak yang ingin dilecehkan terlepas korban menggunakan pakaian apapun. Hanya saja, fenomena ini dapat berpengaruh pada keadaan psikologis korban. Sebenarnya, untuk meminimalisir fenomena ini bisa dimulai dari diri sendiri yaitu dengan cara tetap diam ketika bertemu seseorang yang kita anggap menarik. Cobalah sebisa mungkin tidak melakukan catcalling.

Kita dapat berinteraksi dengan orang tersebut tanpa melakukan catcalling yaitu bisa berkenalan secara sopan dengan orang tersebut. Setelah berkenalan dan mendekatinya, cukup berikan pujian yang sopan agar pihak lawan bicara tetap merasa nyaman dalam interaksi tersebut.