Marak Pelecehan Seksual di Kalangan Universitas, Apa Solusinya?

Oleh: Dita Millennia Mahendra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung

 

PADA bulan Desember 2021 lalu, merebak ke khalayak umum kasus pelecehan seksual antara dosen dan mahasiswa, hingga mahasiswa tersebut dikeluarkan dari daftar yudisium di salah satu kampus yang ada di Sumatera Selatan. Bahkan, korban dikeluarkan dari daftar mahasiswa yang sejatinya harus diyudisium, Jumat 3 Desember 2021. Nama mahasiswa tersebut baru diketahui hilang atau dicoret pada malam harinya sebelum yudisium.

Padahal, mahasiwa ini sudah menerima undangan yudisium sejak beberapa hari yang lalu. Keesokan harinya atau saat hari-H yudisium dilaksanakan, mahasiswa ini datang dan sempat kebingungan kenapa kursinya ditiadakan dan namanya tidak dipanggil.

Korban juga diduga sempat disekap di toilet kampus. Peristiwa itu diungkapkan oleh Ketua Tim Advokasi Ikatan Alumni (IKA) Universitas Sriwijaya M.A Yan Iskandar. Beliau menyebut, penyekapan itu terjadi tepat di hari prosesi yudisium di Aula Fakultas Ekonomi.

Korban yang mengalami penyekapan, sekuat tenaga berteriak dan menggedor pintu toilet. Teriakan itu lalu didengar oleh salah satu dosen yang melintas, dan langsung menolong korban. Diungkapkan, saksi menduga tindak penyekapan itu mengandung unsur kesengajaan. Sebab, saksi melihat ada lima orang yang diduga sedang berjaga di depan toilet saat peristiwa itu. Dugaan awal ada tindakan intimidasi dari oknum petinggi kampus kepada korban pelecehan seksual.

Setelah diketahui asal mulanya, mahasiwa ini merupakan korban pelecehan seksual yang sudah melaporkan kasusnya ke Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM kampus, dan kemudian ke polisi. Dicurigai, penghapusan itu merupakan buntut dari laporan yang disampaikan korban ke Polda Sumsel beberapa hari lalu terkait dugaan pelecehan seksual dengan terlapor dosennya.

Presiden Mahasiswa (Presma) Unsri Palembang, terus mencoba mengonfirmasi masalah ini ke pihak Dekanat. Korban ini bukan orang pertama yang melaporkan kasus pelecehan seksual ke Polda Sumsel, melainkan orang kedua dengan kasus yang sama. Bersadarkan pengakuan yang dia katakan, dia sudah jadi korban pelecahan seksual secara verbal oleh terlapor salah satu dosen.

Penghapusan nama mahasiswa korban dugaan pelecehan seksual oleh salah satu dosen yang ada di kampusnya itu dari daftar peserta yudisium sampai ke pihak kepolisian. Aparat menyesalkan tindakan Dekanat dan Rektorat yang mengambil keputusan sepihak. Semestinya Dekanat mengonfirmasi kepada yang bersangkutan terlebih dahulu disertai alasan pembatalan. Apalagi, pencoretan nama pelapor dari daftar peserta yudisim hanya dalam hitungan jam sebelum digelarnya acara.

Presma terus mencari keadilan bagi korban, baik dari tindak pidana pelecehan seksual maupun akademikanya. Sebab, pembatalan sepihak itu tidak dapat dibenarkan, terlebih karena telah dilaporkan ke polisi, dan hak mahasiswa ini wajib untuk diperjuangkan sampai dia dapat diyudisium dan diwisuda.

Menurut penulis, di mana tingkat keadilan terhadap korban pelecehan seksual? Bagaimana para korban berani _speak up_ tentang hal ini kalau saat mereka _speak up_ hanya menambah beban untuk si korban?

Komnas Perempuan menyayangkan kasus dugaan pelecehan seksual terhadap mahasiswi oleh dosen kembali terjadi di Universitas Sriwijaya (Unsri) Palembang, karena hal ini bukan yang pertama kalinya terjadi di kampus tersebut, melainkan sudah beberapa kali. Dengan terjadinya kasus ini, secara tidak langsung pihak kampus menolak Peraturan Menteri (Permen) anti seksual, sehingga dalam pelaksanaannya minim, atau nol besar dalam upaya melawan kekerasan seksual.

Pemaknaan terhadap kekerasan seksual dapat mengacu kepada Pasal 1 Ayat 1 dalam draft terbaru Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) yang berbunyi;

“Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan yang bersifat fisik dan/atau nonfisik, mengarah kepada tubuh dan/atau fungsi alat reproduksi yang disukai atau tidak disukai secara paksa dengan ancaman, tipu muslihat, atau bujuk rayu yang mempunyai atau tidak mempunyai tujuan tertentu untuk mendapatkan keuntungan yang berakibat penderitaan atau kesengsaraan secara fisik, psikis, seksual, dan kerugian secara ekonomis,”

Pelecehan dan kekerasan berbasis gender dalam kebudayaan arus utama menghalangi pengarusutamaan kesetaraan gender dalam kebudayaan dan kehidupan sehari-hari, termasuk di kampus. Untuk itu, pelecehan dan kekerasan semacam ini bukan dipahami sebagai perkara seksual, melainkan harus dipandang sebagai relasi kuasa.

Perbedaan antara relasi kuasa dengan hubungan romantis antara dua pihak terletak dari adanya consent (persetujuan) dari kedua belah pihak. Dalam relasi kuasa, di sisi lain, relasi tercipta melalui paksaan, baik yang bersifat eksplisit seperti pernyataan ancaman, atau implisit seperti menciptakan situasi yang memberi tekanan untuk tunduk. Walaupun begitu, pernyataan implisit ini problematik karena rentan terhadap perbedaan penafsiran, yang seharusnya kampus menjadi ruang aman bagi civitasnya, terutama mahasiswa.

Kampus merupakan tempat belajar mahasiswa untuk pengembangan kognisi serta pengembangan skill. Namun, kasus kekerasan seksual tidak melihat waktu, tempat, dan jabatan. Alhasil, kasus kekerasan seksual ini juga bisa terjadi di kampus. Kekerasan seksual di kampus melibatkan berbagai lapisan civitas kampus, baik itu dosen, mahasiswa, tenaga kependidikan, dan tenaga penunjang.

Kekerasan seksual di kampus merupakan kasus yang terjadi di dalam maupun di luar lingkungan kampus terhadap anggota masyarakat kampus, ataupun bukan anggota masyarakat kampus oleh anggota masyarakat kampus ataupun bukan anggota masyarakat kampus.

Langkah-langkah penting yang dapat dilakukan pihak Rektorat untuk menangani kasus kekerasan seksual di kampus, sebagai berikut:

1. Pihak kampus harus menciptakan peraturan/regulasi, mengenai penanganan kasus pelecehan seksual serta memberikan sanksi tegas bagi pelaku pelecehan seksual.
2. Pihak kampus harus membentuk tim investigasi yang bersifat independen serta imparsial, untuk menyelidiki kasus pelecehan seksual dalam kampus, di mana investigasi akan melibatkan seluruh elemen dalam kampus.
3. Pihak kampus harus menyediakan bimbingan konseling untuk korban yang melapor kepada kampus.
4. Pihak kampus harus menyediakan jasa psikolog/psikiater untuk menjaga kesehatan mental dan fisik dan korban, serta menjaga keamanan dari korban jika korban pelecehan tersebut terancam dari pihak manapun.

Sanksi pelaku pelecehan seksual di perguruan tinggi. Mengenai sanksi administratif, hal ini dijelaskan dalam pasal 13 Permendikbudristek 30/2021. Sanksi tersebut dikenakan pada pelaku yang terbukti melakukan kekerasan seksual. Keputusannya juga akan ditetapkan oleh pemimpin perguruan tinggi berdasarkan rekomendasi dari satuan tugas. Universitas membentuk satuan tugas sebagai bagian dari pencegahan kekerasan seksual dalam hal penguatan tata kelola.

Sanksi administratif terbagi menjadi ringan, sedang, dan berat.

Sebagaimana pasal 14 ayat 2, sanksi ringan berupa:
– Teguran tertulis atau
– Pernyataan permohonan maaf tertulis dan dipublikasikan di internal kampus atau media massa.
Dalam pasal 14 ayat 3, disebutkan sanksi sedang adalah:
– Pemberhentian sementara dari jabatan, tanpa mendapat hak jabatan atau
– Pengurangan hak sebagai mahasiswa berupa skors, pencabutan beasiswa, dan pengurangan hak lain.

Sedangkan sanksi administratif berat dijelaskan pada ayat 4 pasal 14, pelakunya akan mendapatkan:
– Pemberhentian tetap sebagai mahasiswa atau
– Pencopotan tetap dari jabatan pendidik tenaga kependidikan atau warga kampus, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dan dari kampus bersangkutan.