DPD REI Babel Angkat Suara Sikapi Polemik Penyesuaian NJOP Pangkalpinang

PANGKALPINANG, LASPELA – Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Real Estate Indonesia (REI) Provinsi Bangka Belitung (Babel) Dymas Dwi Setia bersama dengan anggota REI Babel memenuhi undangan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Pangkalpinang, untuk membahas dan menyampaikan aspirasi terkait dengan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Kota Pangkalpinang dari Surat Keputusan (SK) Walikota.

REI Babel hadir bersama dengan Asosiasi lain antaranya Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan (Himpera), Apernas Jaya dan Pengembang Indonesia.

Kedatangan REI dan rombongan disambut baik oleh Komisi II DPRD Kota Pangkalpinang, rapat Komisi II terkait kunjungan ini diketuai oleh Rio Setiady selaku Wakil Ketua Komisi II dan dihadiri oleh Kepala Bekeuda Kota Pangkalpinang dan Plt. Kepala Dinas Perumahan dan Pemukiman Kota Pangkalpinang.

Dymas menuturkan kunjungan ini untuk mewakili para Developer yang membutuhkan penjelasan dan SOP terkait penyesuaian NJOP yang dinilai keterlaluan, bagaimana tidak, penyesuaian NJOP dinilainya naik 300 persen hingga 1.500 persen.

“Sebenarnya yang kita butuhkan SOP, biar semuanya jelas serba transparan, jadi sebenarnya penyesuaian ini dasarnya dari mana dan kenapa?, karena ternyata banyak sektor yang tidak paham dan ternyata teman-teman dari Komisi II juga tidak mengetahui masalah ini,” ujar Dymas seusai rapat, Senin (14/2/2022).

Ia sebenarnya tidak mempermasalahkan terkait penyesuaian dan kenaikan NJOP, karena hal itu berpengaruh kepada Pendapatan Asli Daerah (PAD) malah dirinya sangat mendukung, namun dengan kenaikan yang sangat fantastis seperti ini tidak hanya kaget, Dymas menuturkan pihak Developer sampai tidak bisa menentukan harga lagi.

“Kita tidak berani mentukan harga lagi, harga tanah saja disini tidak masuk akal yang awalnya hanya Rp48 ribu jadi Rp702.500, dari Rp702. 500 jadi, terus sampai Rp1,2 juta, Rp1,3 juta hingga Rp2,3 juta nah dasar ini dari mana, kalau ini diberlakukan, yah sudah Pemkot beli tanah kita deh,” ujarnya.

Diskusi dengan Bakeuda pun dinilainya tidak memberikan pencerahan, malah terkesan klise dan tidak berprinsip. “Dasarnya kebijakan itu ditahun 2021 tapi mereka baru audensi dengan Camat dan Lurah ditahun 2022, setelah itu SK sudah terbit, sebaiknya kami dilibatkan dalam penentuan kebijakan seperti ini,” katanya.

“Padahal kita merupakan salah satu penyumbang PAD tertinggi di Pangkalpinang, tapi tidak diajakin ngobrol perkara ini, dan solusi yang muncul adalah relaksasi, relaksasi seperti apa? konsepnya tidak jelas, tapi ini belum tahu tapi mudah-mudahan kita mendapat solusi, yang kami butuhkan itu SOP, aturan yang bener seperti apa, sementara kita pengusaha bingung menentukan harga jual bagaimana,” katanya.

Tidak hanya itu, jika ini berlanjut maka akan mematikan Developer yang ujung-ujungnya berpengaruh lagi ke masyarakat. “Tidak hanya subsidi yang Developer juga tutup semua, yang ujungnya ini juga berpengaruh ke masyarakat, jadi kami bukan hanya menyuarakan untuk kami tapi juga untuk masyarakarat semua, karena baru sebagian tagihan masyarakat yang dibagikan masih ada sebagian yang masih tertahan di Kelurahan dan dan Kecamatan jadi belum semuanya, jika ini keluar maka akan meledak,” katanya.

Ia berharap agar bisa berdiskusi dengan Walikota Pangkalpinang karena tidak adanya sosialisasi maupun komunikasi terkait hal ini. “Harapan saya, kita diajakin diskusi donk, dalam penentuan ini, karena tidak ada sosialisasi satu pun tidak tidak ada yang terlibat dalam ini, Kepala Bakeuda menyebutkan bahwa ada komunikasi di bulan April padahal tidak ada, teman-teman Komisi II dan Notaris pun tidak tahu, semuanya kaget,” tuturnya.

Sementara itu, Ketua Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan (Himpera) Himmah Olvia menuturkan, bagaimana dengan kondisi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) hal ini seperti Pemerintah ingin membunuh rakyat.

“Bunuh lah kami pak, bagaimana dengan MBR yang penghasilannya dibawah Rp4 juta pak, Honorer, Tukang Sampah, 178 industri terdampak dengan ini pak,” katanya.

Jika industri ini terdampak dan tidak berjalan, tukang pikul, tukang bangunan dan lainnya tidak bekerja. “Kalau mau bunuh kami, bunuhlah pak,” katanya.

“Harga tanah sekarang Rp702,5 ribu, 100 meter Rp70 juta, padahal selama ini harga tanah paling mahal Rp250 ribu tidak sampai Rp300 ribu,” ujarnya.

Selain itu, M. Ansori Muslim selaku Wakil Ketua Bidang Rumah Tapak Sejahtera, menuturkan jika rata-rata satu kavling tanah 100 meter persegi, kalau tanahnya saja Rp702 ribu, bangunan rumah Subsidi Rp80 juta, harga satu rumah subsidi Rp150an juta harga dari Pemerintahan.

“Saya harap kepada Anggota Dewan untuk memanggil pak Walikota, jadi langsung pak Walikota, karena itu kebijakan Peraturan Walikota, karena percuma kalau hanya Kepala Bakeuda. Jadi Peraturan Walikota yang terbaru itu dasar itu harus dikaji ulang, masukan dari masyarakat,” ujarnya. (dnd)