PANGKALPINANG, LASPELA- Sebagai tindak lanjut dari penelitian kerjasama yang dilakukan dua Perguruan Tinggi ternama di Bangka Belitung (Universitas Terbuka (UT) Bangka Belitung & Universitas Bangka Belitung (UBB) pihak UT menggelar Focuss Group Discussion (FGD) di Ruang Rapat Pimpinan UT Pangkalpinang, Selasa (5/10/2021).
Mengambil tema Model Integrasi Kearifan Lokal Terkait Pelestarian Lingkungan ke dalam Produk Hukum Daerah, kedua peneliti dari kampus masing-masing memaparkan kajian ilmiahnya.
Adapun sasaran dari penelitian tersebut adalah Peraturan Daerah (Perda), Keputusan Bupati maupun Keputusan Kepala Dinas dalam pelaksanaannya.
Hasmonel SH, Mhum selaku ketua tim penelitian mengharapkan hasil penelitian dapat bermanfaat bagi lingkungan bukan hanya terfokus pada jurnal saja.
Selain itu, menurut Direktur UPBJJ UT Pangkalpinang ini, FGD yang dilakukan pihaknya itu bertujuan juga untuk menyamakan persepsi pikiran dan pandangan dari pemangku kebijakan agar output yang dihasilkan benar-benar sesuai dengan kondisi faktual saat ini.
Sementara, Dr Derita Prapti Rahayu peneliti UBB yang juga sekretaris tim mengatakan FGD merupakan pintu masuk pihaknya untuk melakukan kajian yang lebih komprehensif.
“Intinya, kita ingin hasilnya nanti produk hukum daerah sesuai model Integrasi Kearifan Lokal dengan kondisi masyarakat Bangka Belitung,” ujar Dr Derita Prapti Rahayu.
Ali Husman yang merupakan Ahli Budaya Bangka Belitung menyampaikan istilah kearifan lokal haruslah hendaklah disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan atau peraturan dibawahnya. Disamping itu, dia pula mengingatkan beberapa konflik kemajuan kebudayaan haruslah diselaraskan dengan UU No. 5 Tahun 2017 tentang Kemajuan Budaya diantaranya Adat Istiadat, Pengetahuan Tradisional dan Teknologi.
“Tentang kearifan lokal yang tidak dilindungi atau diabaikan seperti pemahaman tentang Tubek (kawasan) mata air yang dihilangkan dengan adanya perkebunan sawit. Konsep kearifan lokal terkait orang Lom yaitu perlindungan Hak sebagai Warga Negara Indonesia, objek kemajuan budaya yang belum terealisasi. Kita harapkan Outputnya adalah produk hukum yang mendukung upaya perlindungan dengan mencatat kelengkapan warisan budaya oleh Kementrian,” ujar Ali Husman.
Berbeda dengan yang disampikan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Bangka Belitung, menurut narasumber yang mengikuti FGD ini, pihak DLH berdasarkan tupoksi adalah bagaimana menginventaris masyarakat hukum adat kemudian mengindentifikasinya di daerah yang berpotensi dijadikan masyarakat hukum adat. Sejauh ini kata dia hanya dilakukan sosialisasi saja atau melalui tahapan pengusulan, kemudian pengajuan lalu dilakukan validasi.
“Dengan adanya penelitian tentang kearifan lokal ini diharapkan dapat berkolaborasi dalam mewujudkan indeks kualitasi lingkungan hidup terkait dengan air, hutan dan lain-lain dimana dengan adanya masyarakat adat dapat menjaga atau minimal mempertahankan agar tidak terdegradasi,” tuturnya.
Selain diikuti peneliti, kegiatan FGD ini pula dihadiri Dinas Lingkungan Hidup Prov. Babel, Ahli Budaya Prov. Babel, Akademisi FH UBB, Akademisi UT, Perwakilan Masyarakat dan Beberapa perwakilan dari mahasiswa UBB dan UT.
Narasumber kunci FGD, Akhmad Elvian menjelaskan bahwa Hukum adat didasarkan pada asas teritorial. Basis kebudayaan Bangka Belitung dibagi menjadi 2 (dua) yaitu wilayah tempat tinggal Jasmani yang terdiri dari darat, pulau dan laut yang menjadi pendukung nya adalah orang-orang darat, laut, pendatang, melayu, china dan orang sekak yang tinggal di Lepar. Yang kedua adalah Lingkungan hidup rohani dimana disitulah masyarakat melakukan ritual-ritual adat yang sifatnya sakral. Batas rohani disebut juga rid. Misalnya riding panjang, hutan rid dll.
Menurut ahli budaya Bangka Belitung paling senior ini menerangkan tentang kearifan lokal dibagi menjadi 3 bentuk yaitu ide, gagasan dan pemikiran, sistem sosial atau perwakilan dan wujud material. Ketiga ini kata dia harus di wariskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya dan berlangsung lama. Hasil dari 3 wujud itu adalah adaptasi yaitu adaptasi manusia dengan lingkungannya, adaptasi manusia dengan manusia dan adaptasi dengan hal-hal yang sifatnya spritual.
“Kearifan lokal tidak ada yang merugikan masyarakat sehingga membawa kesejahteraan lahir dan batin bagi masyarakat. Contoh kearifan lokal mengenai ide, gagasan dan pemikiran yaitu adanya konsep Rimba (hutan), Reba (tebas), Pemitak (tata ruang), Kubak (kampung yang didirikan dibekas lahan yang ditanami holtikultura) , Bebak (hutan sekunder) dan Kelekak (Tanaman keras/kampung),” jelasnya.
Adapun Sistem sosial menurut Akhmad Elvian yaitu adat istiadat, Adat yang diadatkan, adat yang teradat. Dan yang terakhir adalah wujud material.
“Ada pepatah yang mengatakan “asam di gunung garam dilaut bertemu dalam belanga” yang berwujud materialnya adalah “lempah kuning” tentang bagaimana memanfaatkan alam untuk kepentingan kita. “Lem” mempunyai arti merekatkan. “Pah” artinya “rempah”. Dan itu merupakan kearifan lokal agar kearifan tersebut terawat. Adapun konsep lainnya yaitu memaung, bubung, kampung dan nganggung,” terangnya lagi.(*)