Catatan Fakhruddin Halim
(Wartawan suarabangka.com / Wakil Sekretaris PWI Bangka Belitung)
PANGKALPINANG, LASPELA – Pagi ini, Rabu/18/8/2021, sekira pukul 08.10 WIB, sebelum berangkat menuju Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, mampir ke RS Kalbu Intan Medika (KIM). Petugas mengarahkan saya ke lantai dua.
Sementara anak saya, Najma Nabiila Mumtaza yang pada 30 Agustus ini tepat berusia 13 tahun menunggu di mobil.
Setelah menyerahkan kwitansi pembayaran sebesar Rp1.500.000,- kepada seorang petugas saya pun dminta duduk. Seorang petugas wanita tampak sibuk membolak balik tumpukan tebal kertas.
Nama saya dan anak dipanggil. Saya merasa gugup. Petugas itu menatap dingin. Lalu, dia buru-buru meminta saya duduk lagi. “Bapak duduk dulu, tunggu petugas berseragam orange itu datang,” katanya dengan nada datar.
Saya makin gugup. Segera beristigfar berkali-kali. Petugas berseragam orange itupun tiba. Dia lalu, mengambil dua helar kertas yang disodorkan petugas wanita berkerudung tadi.
Saya pun mendekat. Dia mengajak saya ke ruangan sebelah. Saya berupaya tenang. “Bapak dan anak bapak hasil PCR Positif. Bapak mau terbangkan?” katanya pelan. Saya hanya mengangguk. “Karena positif, bapak dan anak tidak bisa terbang,” katanya.
Saya diminta mengisi dua lembar semacam identitas. Sebenarnya saya cukup jengkel ketika berkali-kali diminta mengisi identitas. Sebelum PCR juga diminta. Apakah data itu tidak bisa dipakai? Bukankah juga ada Kantu Tanda Penduduk dan Kartu Keluarga? Bukankah sudah sistem online? pikir saya.
Kalau setiap hari ada 10.ooo.ooo penduduk Indonesia harus mengisi minimal 2 lembar soal identitas )terkadang bahkan lebih) maka, setiap hari akan ada 10.000.000 x 2 lembar kerta = 20.000.000 kertas, lalu dibagi 500 lembar/rim = 40.000 rim/sehari, kalikan Rp50.000/rim= Rp2.000.000.000/hari, kalikan 26 hari kerja = Rp52 miliar sebulan, kalikan setahun =Rp624 miliar/tahun.
Dan ini berlangsung bertahun-tahun. Andaikan uang Rp52 miliar sebulan itu digunakan untuk pendidikan, untuk kesehatan negara ini tengah menghadapi Covid-19 tentu manfaatnya akan sangat besar.
Selanjutnya saya diminta petugas tadi melaporkan ke Puskesmas dikecamatan saya tinggal yakni Puskesmas Tuatunu, Kecamatan Gerunggang. Begitu di mobil, saya sampaikan ke anak, kalau batal berangkat.
“Jadi kakak juga tidak jadi berangkat ya abi?” katanya dengan mata basah.
“Iya, kita positif, kita tidak bisa naik pesawat,” kata saya iba.
Padahal, sebelumnya saya tidak merasakan gejala berat atau yang mencurigakan. Begitu juga dengan anak saya. Makan masih stabil, ngopi juga masih terjadwal.
Sejatinya keberangkatan kami ada dua misi. Yang pertama untuk mengantarkan Nabiila kembali ke Asrama, dimana dia sekarang menempuh sekolah tingkat SMP di salah satu Sekolah Tahfizh Plus, Boarding School (Pesantren) di Bogor, Jawa Barat. Sejak sebulan lebih lalu, kawan-kawannya sudah masuk Asrama, kecuali Nabiila.
Sementara karena PPKM, maka jadwal mengantarkannya menjadi tertunda. Selain memang dia belum divaksin. Sebab, beberapa waktgu lalu ketika akan divaksin, tidak bisa karena lagi kosong. Senin, kemarin baru bisa divaksin setelah bertanya sana-sini.
“Jadi bagaimana sekolah kakak? Abi nanti kasih tahu ke guru kakak ya?” katanya pelan.
Sepanjang perjalanan ke Puskesmas saya mencoba menenangkan dan memberikan pengertian. Nabiila pun dapat menerimanya. Maklum sebelumnya dia tampak riang, sebab akan berjumlah dengan kawan-kawannya.
Kedua, saya jadwalnya mengikuti Pelatihan dan Penyegaran Ahli Pers Dewan Pers, di Hotel Mercure, Bumi Serpong Damai (BSD). Sebelumnya agenda ini dilaksanakan di Batam, Kepri. Namun tertunda beberapa kali dan diputuskan tempat pelaksanaan dipindah ke BSD.
Dan dari WA Grup peserta, sebelum saya juga sudah ada yang menyatakan batal berangkat karena dinyatakan positif, saya hanya menambah daftar nomor urut saja.
***
Mobil terpaksa parkir di ujung jalan. Sekitar 200 meter, salah satu sisi sepanjang jalan di depan Puskesmas Tuatunu, tampak berjejer kendaraan ropa empat mupun roda dua.
Di halaman puskesmas tampak sejumlah kelompok dan kursi penuh terisi, sebagian terpaksa berdiri.
Seorang petugas mengarahkan saya menuju salah satu kelompok. Petugas memberikan saya nomor urut 30. “Bapak duduk, nanti tunggu dipanggil,” katanya sibuk melayani sejumlah pasien.
Saya pun akhirnya mencoba mencari tempat duduk di kelompok yang lokasinya dipagari tali rafia. Tak ada yang kosong. Saya pindah ke tempat duduk berlokasi tepat di pintu masuk utama puskesmas. Memang agak sepi, ada yang kosong. Nabiila pun saya ajak duduk karena dari tadi berdiri.
Seorang petugas menegur agar saya pindah ke lokasi kelompok tadi. Saya katakan sudah penuh. “Tapi di sini khusus pasien?” katanya.
Saya pun menimpali, “Nah itu yang duduk itu siapa? kata saya.
Dia pun menjawab,”Itu orang yang mau tes antigen,” katanya.
Saya pun mengatakan ke petugas tadi kalau saya dan anak positif Covid-19. Bagaimana mungkin saya duduk membaur dan nyaris tanpa jarak dengan mereka yangsedang mengantri.
Bukankah itu justru membahayakan mereka? saya juga protes kalau harus menunggu antrian. Sebab, baru saja dipanggilo nomor urut 14, sedangkan saya nomor 30. Apakah tidak ada petugas khusus yang melayani orang seperti saya yang sudah dinyatakan positif?
Petugas itu tampak kaget, bergegas menuju ruangan paramedis tempat saya mengambil nomor antrian tadi.
Tak lama saya diminta masuk dan mengahdap seorang petugas. Saya ditanya macam-macam dan diminta lagi KTP dan KK. Bedanya yang mengisi fom bukan saya, tapi petugas tadi.
Kami diminta solasi mandiri karena gejalanya ringan. Dengan ramah petugas tadi memberikan nomor teleponnya jika membutuhkan sesuatu. Tak lupa dia menanyakan soal obat. Saya sampaikan kalau dirumah untuk persediaan obatan flu, batik, pilek selalu tersedia. Dia tawarkan obat dari puskesmas, tapi saya tolak dengan halus.
Beberapa pekan terakhir saya menulis berita soal lokasi isolasi terpadu (isoter) bagi Pasien Covid-19. Gubernur Kepulauan Bangka Belitung berkali-kali mengatakan dan menegaskan pasien Covid-19 tidak boleh lagi isolasi mandiri (isoman), harus isoter.
Bahkan Provinsi Babel menyiapkan lokasi isoter di Gedung Asrama Haji dan BLK berkapasitas 400 tempat tidur. Disebutkan juga lokasi tersebut memiliki fasilitas lengkap bahkan disamakan dengan hotel berbintang.
masyarakat, kata Erzaldi tidak perlu khawatir. Selama isoter makanan, obatan dan fasilitas lainnya disediakan gratis.
Mendengar penjelasan petugas tadi, saya pun mengirimkan pesan melalui WA ke Sekretaris Gugus Tugas Penanganan Covid-19, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Mikron Antariksa. Dari WA Mikron, justru yang tanpa gejala harus di isoter.
Saya sampaikan ke petugas tadi, saya harus isoter, tapi saya minta di BLK atau Asrama Haji. Petugas yang lebih senior datang mengatakan tidak bisa. Itu peruntukannya bagi mereka yang dalam perjalanan, dan pasien tertentu. Kecuali kalau isoter Pangkalpinang di bekas Puskesmas Girimaya, penuh baru bisa dirujuk ke isoter provinsi.
Mengapa saya enggan ke isoter bekas Puskesmas Girimaya? saya tidak punya informasi cukup seperti apa isoter tersebut. Padahal paling tidak saya dan anak selama 10 harus harus tinggal di isoter sampai benar-benar dinyatakan negatif.
Saya putuskan pulang kerumah. Matahari semakin meninggi, hampir pukul sepuluh lewat. Perut keroncongan, di ujung jalan masuk Puskesmas saya membeli bakso urat tiga bungkus, tentu saja sesuai prokes. Bahkan uangnya saya semprotkan dulu dengan disinfektan.
Karena saya “pasien” pertama warung bakso itu, saya cuma perlu membyar Rp20.000 untuk tiga bungkus. “Satu bungkusnya bonus karena pembeli pertama,” katanya, tersenyum.
Di rumah, kami mengisolirkan diri. Usai menyantap bakso, badan mulai terasa meriang. Batuk-batuk kecil mulai muncul. Kedua biji mata terasa panas menekan. Setelah tertidur beberapa saat. Saya sampaikan ke istri sebaiknya kami ke lokasi isoter saja. Istripun setuju.
Saya kontak lagi dengan petugas puskesmas tadi. Saya diberikan nomor kontak satgas yang mengurusi isoter Girimaya. Lalu lintas WA cukup intens. Saya pun sempat WA ke Sekretariat Dewan Persperihal saya batal berangkat. Selain itu sejumlah kawan yang beberapa hari ini kontak saya WA.
Sembari menunggu jawaban satgas, saya telepon Revi Setiawan, dulu kami sama-sama di Harian Metro Bangka Belitung, www.bangkanews.com dan kini dia rakyatpos.com.
***
Bakda Ashar kami berangkat menuju isoter Girimaya. Setibanya, petugas menyambut kami dengan sangat ramah, mobil yang mengantarkan kami disemprot dengan cairan disenfektan, sebelum kembali. Saya pun menghadap meja petugas dengan pakaian stantar petugas Covid-19.
Setelah menanyakan soal apa yang dirasa, apakah ada gejala ini dan itu, petugas pun mengeluarkan dua lembar kertas, mengisi lagi bidoata dan sejumlah data yang ditanyakan ke saya.
Selain itu, dijelaskan pula kepada kami kalau kami akan menjalani isolasi sekitar 10 hari bahkan bisa lebih. Makan dan minum disiapkan petugas. Selain itu, disiapkan juga air galon.Bahkan untuk keperluan bisa menitipkan ke petugas untuk membelinya.
Meski baru beberapa saat, seluruh petugas sangat ramah dan baik. Pelayanannya pun cukup bagus. Bahkan mereka sangat cekatan jika diminta bantuan. Makanya saya menitipkan membeli beberapa botol besar air mineral, makanan ringan dan paket data.
Bekas Puskesmas Girimaya, kata salah seorang petugas, memiliki 15 kamar, dengan 19 bed tempat tidur. Saat ini dirawat 11 orang yang dinyatakan positif. Dari jumlah tersebut, 7 di antarnya masuk hari ini. Cuma ada satu kamar mandi berukuran cukup besar dengan bak lumayan besar.
“Makanya disiapkan ember dan gayung masing-masing,” katanya ramah.
Kamar kami berukuran sekitar 2,40 meter x 5,70 meter. hal ini saya hitung dari jumlah keramik berukuran 30 cm, lebar 8 keramik, panjang 19 keramik berwarna putuh lusuh.
Di dalam kamar, ada dua buah ember warna hitam dan dua gayung berwarna ungu. Ada dua tempat tidur berukuran cukup satu orang lengkap dengan bantar dan berseprai warna putih bersih. Masing-masing ada di kedua sisi dinding.
Kamar itu tidak memiliki pendingin ruangan macan AC, kipas angin juga tidak ada. Tidak ada meja, atau lemari tempat baju. Tidak pula ada piting, sendok, cangkir dan mangkok.
Menjelang Magrib saya ke Kamar mandi untuk mengambil wudhu, ternyata air tidak mengalir, keran mati. Saya terpaksa menggunakan air bak untuk berwudhu.
Kamar kami juga berventilasi lebar, seperti ventilasi sekolah zaman dulu dengan bingkai dan gaju melintang diatur sedemikian rupa sehingga udara bebas keluar masuk. Plafon tampak menguning bekas ditetesi air dari atap yang bocor.
Di atas tempat tidur, masing-masing ada dua jendela yang ditutupi dengan triplek dan ada yang ditutupi kertas kanton robek.
Karena ventilasi itu tidak dipasang kawat jaring maka, menjelang magrib nyamuk pun berdatangan. Beruntung menjelang isya nyamuk itu raib, ajaib. entah apakah kembali lagi nanti malam membawa pasukan? wallahu’alam.
Barang-barang, kami bergeletakan di lantai, satu botol sirut dan sekeping pil juga tergeletak begitu saja di lantai. Saya menggunakan tas pakaian sebagai alas laptop untuk mengetik.
Saya masih berfikir, apakah harus bertahan selama 10 hari disini? atau keluar dan melakukan isolasi mandiri?
Jika bertahan maka saya mulai berfikir mendatangkan kipas angin, menutupi ventilasi, dan soal kamar mandi dan air ini akan menjadi pertimbangan serius bagi saya.
Beberapa kali suara batuk semakin kerap terdengar dari kamar sebelah…saya masih berfikir, oh ternyata seperti ini isoter itu, Coviud-19 itu, pelayanan itu.. Dan saya harus segera memutuskan… sepertinya malam ini sulit tidur, kepanasan. (*)
Isoter Girimaya
Rabu/18/8/2021, Pukul: 20.52 WIB