Oleh : Falih Nasrullah S.Pi
Pada tataran ideal sekarang, pendidikan haruslah diartikan sebagai serangkaian usaha untuk memperhaluskan budi, mempertajamkan akal, dan meningkatkan peradaban. Berkaitan dengan memperhalus budi, pendidikan dimaksudkan untuk membuat seseorang menjadi rendah hati, memiliki pertimbangan moral, dan memiliki kecakapan untuk bisa bersosialisasi dengan baik di masyarakat. Sementara pendidikan untuk mempertajam akal bisa dimaknai secara sederhana sebagai proses untuk membuat orang yang semula tidak paham menjadi memahami, melalui pendidikan pula seseorang dikenalkan dengan berbagai perspektif untuk memahami sebuah permasalahan yang terjadi dengan kata lain pendidikan melatih seseorang untuk berpikir secara kritis. Adapun pendidikan sebagai alat untuk meningkatkan peradaban erat kaitannya dengan peran pendidikan dalam pembangunan. Menurut John Dewey, pendidikan difungsikan sebagai jembatan untuk mengisi gap pengetahuan tentang pengalaman antara generasi saat ini dengan generasi terdahulunya. Apa yang kita ketahui saat ini merupakan serangkaian akumulasi dari pengetahuan yang diperoleh oleh generasi sebelumnya, hal ini yang dikatakan oleh Isaac Newton sebagai ‘standing on the shoulders of giant’.
Serangkaian akumulasi pengetahuan tersebut ditujukan tak lain agar umat manusia bisa hidup secara lebih baik kedepannya. Dengan bantuan pendidikan, manusia bisa menciptakan berbagai teknologi yang memudahkan kehidupannya, pendidikan juga mengajarkan kepada kita tentang toleransi, untuk saling menghargai hak satu sama lain, dan sebagainya.Sayangnya, konteks pendidikan saat ini yang begitu mulia sebagaimana disebutkan diatas untuk memanusiakan manusia, membuat orang semakin beradab telah berubah seiring dengan berkembangnya kapitalisme. Sebagai sebuah sistem yang berwatak rakus dan eksploitatif, kapitalisme menghendaki komodifikasi segala aspek kehidupan manusia, termasuk didalamnya pendidikan. Bentuk-bentuk dari penindasan dalam pendidikan itu sendiri adalah hegemoni kurikulum, penguasa sangat kuat menancapkan taring kekuasaan dalam dunia pendidikan, termasuk di dalamnya perumusan dan pelaksanaan kurikulum, bongkar pasang kurikulum, setiap ganti pemerintahan berganti pula kebijakannya. Kurikulum selalu menerjemahkan “belajar dari kegiatan” menjadi sebuah komoditas di mana sekolah memonopoli pasar.
Kurikulum seolah disiapkan dan dirancang untuk disesuaikan dengan karakter masyarakat dengan mengatasnamakan kepentingan dan kebutuhan masyarakat. Padahal kurikulum selalu diubah dan diperbaharui dalam jangka waktu kurang dari lima tahun. Indikasi yang dapat ditangkap adalah setiap pergantian kurikulum akan selalu menghadirkan proyek yang melimpah bagi pemilik “percetakan buku” (Susilo, 2007), sehingga silogismenya perubahan kurikulum bukan untuk kepentingan masyarakat, namun demi kepentingan pemilik modal. Akhirnya guru hanya sebagai distributor yang menyajikan hasil akhir dari kurikulum kepada para murid sebagai konsumen.
Sementara jika kita berbicara pada kualitas pendidikan Indonesia yang hanya berorientasi pada pembunuhan kreatifitas berpikir dan berkarya serta hanya menciptakan pekerja. Kurikulum yang ada dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini membuat peserta didik menjadi pintar namun tidak menjadi cerdas. Pembunuhan kreatifitas ini disebabkan pula karena paradigma pemerintah Indonesia yang mengarahkan masyarakatnya pada penciptaan tenaga kerja untuk pemenuhan kebutuhan industri yang sedang gencar-gencarnya ditumbuhsuburkan di Indonesia. Perubahan politik di negara ini selalu mengorbankan konsep dan sistem pendidikan sehingga kesinambungan program-program pendidikan tidak pernah berjalan mulus. Ironisnya setiap pergantian menteri selalu melahirkan kebijakan kebijakan baru yang sesungguhnya tidak memiliki dasar filosofis yang memadai. Pendidikan terkesan menjadi alat perjuangan politik kaum elitis dan dimanfaatkan sebagai sarana mempertahankan kelas tertentu.
Menarik apa yang diungkapkan oleh Moh Yamin, menghadapi hal ini pendidikan tertatih tatih ditengah hegemoni kekuasaan dan penguasa, menurutnya pendidikan menghambakan diri pada penguasa, bukan lagi kepada rakyat atau bangsa. Pendidikan mengamini segala bentuk yang dikehendaki oleh penguasa bukan mengamankan segala aspirasi yang berasal dari kalangan bawah atau masyarakat sebagai konsumen pendidikan (Yamin, 2008). Dunia pendidikan telah menjadi alat penindasan sistematis yang mendehumanisasi manusia atau kurang dari manusia bahkan tidak manusia lagi. Sebetulnya terdapat relasi resiprokal (timbal-balik) antara dunia pendidikan dan dengan kondisi masyarakat. Namun, cerminan realitas ketertindasan masyarakat Indonesia tidak dicerminkan dalam kurikulumnya. Yang justru dicerminkan ialah orientasi kurikulum pendidikan yang menjadikan anak banga menjadi jongos kapitalisme.
Pendidikan kita sesungguhnya sedang berada dalam ikatan kapitalisme global. Pendidikan Indonesia berada dalam hegemoni pihak asing yang kuat secara ideologi dan modal. Dampak dari ini pendidikan diserahakan kepasar, maka akan menyulitkan masyarakat guna mendapatkan pendidikan yang layak dan bermutu. Indonesia yang sudah masuk pada lingkungan neoliberalisme pasca digelarnya kebijakan otonomi pendidikan telah menyebabkan dunia pendidikan menjadi perdagangan bebas. Ketika suatu sistem pendidikan Nasional menggunakan paradigma liberal, maka visi kerakyatan akan hilang, pendidikan dengan standar kualitasnya ditentukan oleh berapa banyak dan modal yang dimiliki. Otonomi pendidikan yang digulirkan pemerintah, ini sama halnya dengan membiarkan pendidikan diserahkan kepada pasar.
Pemerintah tidak mau bertanggung jawab dengan hal tersebut, ini adalah realitas pendidikan saat ini yang selanjutnya mengarah pada komersialisasi pendidikan. Sistem pendidikan seperti ini diarahkan hanya sekedar mewujudkan orang terampil dalam menguasai ilmu pengetahuan dan tekhnologi saja. Sistem pendidikan seperti ini cenderung menciptakan robot-robot yang peka terhadap persoalan instruksi tekhnis tetapi cenderung bebal terhadap masalah-masalah moral. Sistem pendidikan nasional yang telah berlangsung hingga saat ini masih cenderung mengeksploitasi pemikiran peserta didik. Indikator yang digunakan cenderung menggunakan indikator kepintaran, sehingga secara nilai di dalam rapor maupun ijasah tidak serta merta menunjukkan peserta didik akan mampu bersaing maupun bertahan di tengah gencarnya industrialisasi yang berlangsung saat ini.
Pendidikan bukan lagi sebagai sebuah upaya pembangkitan kesadaran kritis. Hal ini tentunya mengakibatkan terjadinya praktek jual-beli gelar, jual-beli ijasah hingga jual-beli nilai. Belum lagi diakibatkan kurangnya dukungan pemerintah terhadap kebutuhan tempat belajar, telah menjadikan tumbuhnya bisnis-bisnis pendidikan yang mau tidak mau semakin membuat rakyat yang tidak mampu semakin terpuruk. Pendidikan hanyalah bagi mereka yang telah memiliki ekonomi yang kuat, sedangkan bagi kalangan miskin, pendidikan hanyalah sebuah mimpi. Banyak orang membicarakan kepentingan manusia, namun hanya menjadi sebuah ungkapan kosong, karena mereka tidak mengerti bahwa kenyataan dimensi humanis manusia hanya dijadikan objek penderitaan. Banyak orang mengkelaim dirinya mempunyai komitmen dalam usaha pembebasan tetapi mereka masih menganut mitos yang menentang tindakan-tindakan humanis. Kata pembangunan sering dijadikan celotehan dalam setiap kebijakan dan kegiatan kurikulum, ini telah cenderung menjadi mitos dan mengalami sakralisasi. Arti pembangunan itu sendiri adalah perubahan sosial dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih baik yang seolah-olah tesembunyi nilai kebaikan dibalik pelaksanaan pembangunan, ini dikarenakan tujuan dan anggapan dasarnya adalah baik, maka proses pembangunan mengizinkan pengorbanan pengorbanan berbagai dimensi kemanusiaan. Pertanyaannya kemudian nilai yang dianggap baik itu menurut siapa? Lapisan yang mana dan kelompok yang mana yang harus dikorbankan?
Pembangunan yang bertujuan merubah kondisi sosial dilaksanakan dengan cara memberdayakan ekonomi, ironisnya hal ini cenderung menciptakan ketidak berdayaan politis dan lapisan masyarakat tertentu. Pembangunan kita sekarang lebih cenderung kepada pembebasan masyarakat dari kemiskinan ekonomi, namun tidak membebaskan manusia dari kondisi politik tanpa dominasi atau demokratis. Oleh karenanya kita harus kembali kepada nilai-nilai Pancasila untuk pendidikan kita. Membumikan pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Membumikan Pancasila berarti menjadikan nilai-nilai Pancasila menjadi nilai-nilai yang hidup dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan telah mengkhianati misi utamanya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa tanpa membeda-bedakan status sosial. Realitasnya pendidikan saat ini lebih sibuk melayani golongan sosial tertentu dan menjadi pelayan setia pada kapitalisme. Materialisasi pendidikan sudah mulai menggejala dan menggeser ideologi pendidikan yang
mengarah kepada ideologi materiali kapitalis dan kurikulum disusun dan diorientasikan untuk mampu mendapatkan pekerjaan dibungkus dengan baju modernitas. Harus diakui pendidikan telah kehilangan orientasi dan mengalami krisis identitas. Kita tidak memiliki sistem pendidikan yang bersifat ke Indonesiaan.
Melihat dari berbagai masalah di atas, dapat disimpulkan karena kita menghianati dari nilai-nilai pancasila sebagai falsafah hidup kita sebagai bangsa Indonesia. Filsafat Pendidikan pancasila sudah seharusnya sebagai sebuah paradigma pendidikan yang mampu mensintesakan antara keinginan sistem pendidikan modern dan sistem pendidikan yang
menginginkan terjaganya nilai nilai manusia pancasilais, dan perlu diperhatikan bahwa nilai-nilai pancasila seharusnya tidak hanya menyentuh ranah kognisinya saja, tapi juga pada ranah afeksi dan psikomotorik.
5 Mei 2021
Penulis ini bernama Falih Nasrullah, berasal dari Toboali, Bangka Selatan.