*Mitra Binaan PT Timah
PANGKALPINANG, LASPELA – Hampir sebelas tahun bergelut mengolah ikan ciu menjadi ampiang ikan membuat Saini (47) terus berinovasi mengembangkan produknya. Dalam perjalanannya wanita yang kerap dipanggil Eni mengalami jatuh bangun dalam membangun usahanya.
Ampiang buatan Eni berbeda dengan ampiang ikan kebanyakan. Pasalnya, Eni menambahkan sambel terasi di setiap bungkusan ampiangnya.
Berawal dari himpitan ekonomi dan sulitanya mendapatkan pekerjaan. Kala itu membuat Eni terus berpikir usaha apa yang bisa dijalankan.
Semula, ia membuat kemplang atau kerupuk ikan. Namun, tak bertahan lama menjalankan usaha ini. Lantaran terpengaruh cuaca dalam proses menjemur kemplang.
Eni ingat betul, kala itu tahun 2011 Ia mulai membuat ampiang ikan dengan modal Rp 100 ribu. Membeli ikan ciu yang digilingnya secara manual, mengolahnya dengan peralatan seadanya di rumah kontrakannya. Ampiangnya tidak langsung jadi, bahkan beberapa kali tak mengembang.
Bukan tanpa alasan dirinya memilih ikan ciu sebagai bahan baku utama produknya. Pasalnya ikan ciu banyak di bangka dan juga harga terbilang murah. Banyak yang menyebutnya ikan rakyat.
Jiwa tak menyerah Eni dan dukungan keluarga membuat ia mencoba terus memproduksi ampiang sehingga menghasilkan ampiang yang enak. Dibantu sang suami ampiang buatan Eni dititipkan di warung-warung di Kota Sungailiat. Kala itu, dibungkus kecil dijual Rp 1000.
Ampiang buatan Eni saat itu belum bermerek, masih dalam kemasan sederhana. Namun, seiring waktu ampiangnya kian dikenal masyarakat. Banyak pesanan mengalir kepadanya terutama saat lebaran. Ia mulai terus berinovasi dengan mempertahankan cita rasa ampiyang ikan ciu nya.
“Waktu itu saya hanya buat kemplang, tapi tergantung cuaca untuk menjemur, akhirnya saya berpikir apa ya yang buat langsung jadi dan tidak bergantung cuaca. Akhirnya saya coba-coba buat ampiang ini, waktu itu beli setengah kilo ikan ciu, modal semuanya awalnya itu Rp 100 ribu,” cerita Eni.
Rasanya yang khas dan gurih membuat ampiang Eni kian digemari pembeli. Anak tertuanya, Erin ikut mempromosikan ampiang buatan ibunya ini ke teman-teman di sekolah. Pesanan terus mengalir buat Eni dan keluarganya bisa mengumpulkan pundi-pundi rupiah. Kini mereka tak lagi tinggal di kontrakan, tapi sudah bisa memiliki rumah tinggal dan rumah produksi.
“Alhamdullillah 2016 kami pindah ke rumah ini, dulu nyicil belinya dari hasil jual ampiang kami tabung dan ini pun buatnya beguyur. Saya percaya dengan keuletan, dukungan keluarga, dan doa semuanya akan dimudahkan Allah,” kata perempuan berkerudung ini.
Suami Eni, Didi mengatakan dirinya memasarkan produk ampiang buatan istrinya ini dengan berbagai cara. Mulai dari warung bakso hingga toko oleh-oleh.
“Awalnya kerja gotong royong kami, ibunya yang membuat saya yang cari ikan ke pasar. Kami tetap mempertahankan membuatnya dengan cara manual. Ikannya kami giling sendiri jadi kami tau itu betul-betul ikan ciu yang segar. Kalau tidak segar ikannya tidak jadi ampiangnya,” katanya.
Semakin dikenalnya produk ampiang ikan ciunya, mereka mulai berpikir untuk memberi nama produknya. Ya, nama Yu’ Erin jadi brand produknya. Nama ini diambil dari nama anak pertamanya. Dirinya juga mulai mempekerjakan orang untuk membantu memproduksi produknya. Pada hari-hari besar seperti jelang lebaran dirinya bisa mempekerjakan 5-7 orang. Namun, pada hari biasanya dirinya hanya mempekerjakan dua orang.
Eni mulai memasarkan produknya ke toko oleh-oleh, menjual ke luar kota hingga memiliki beberapa reseller di beberapa kota besar seperti Bandung, Banten, Palembang dan tentunya Provinsi Kepualuan Bangka Belitung.
“Saya tidak sendiri menjalani usaha ini, saya di bantu suami yang bagian penggilingan ikan, belanja, dan juga pemasaran. Anak saya juga bantu pemasaran, saya bagian memproduksi. Ini usaha kami bersama,” ujarnya dengan seulas senyum.
Usaha Eni terus berkembang, namun di tahun 2020 menjadi tahun terberat bagi Ia dan suaminya. Betapa tidak, badai pandemi yang tak kunjung usai memengaruhi omsetnya. Semula, ia biasanya mendapatkan omset sekitar Rp 15 juta per bulan, namun saat pandemi ini menurun drastis sekitra Rp 5 juta.
“Luar biasa sangat terasa dampaknya. Omset jauh menurun, enggak bisa stok bahan baku karena modal enggak muter. Kebingungan kami agar usaha ini tetap bisa berjalan. Akhirnya saya dikasih tau PT Timah punya program untuk modal UMKM,” katanya.
Bersyukurnya dia, saat ini proposal pengajuan modalnya melalui program dan bergulir disetujui. Ia mulai memiliki semangat kembali untuk terus menjalankan usahanya. Bahkan baru-baru ini dia mulai mengembangkan produk baru, kini produk Eni tak hanya ampiyang ikan ciu tapi ada 11 produk lainnya.
Beberapa produknya yaitu getas ikan, udang, cumi, tinta cumi. Ampiang ikan, udang, cumi dan tinta cumi. Stik ikan, udang, cumi dan tinta cumi dan sambal ampiang.
“Setelah dapat dana bergulir PT Timah tahun 2020 saya bisa stok bahan baku lagi, ini coba inovasi bikin produk baru, membenahi rumah produksi ini. Alhamdullilah sekali dengan adanya bantuan PT Timah terasa betul manfaatnya untuk kami yang betul-betul kebingungan harus bertahan usaha di tengah pandemi ini,” katanya.
Baginya, dana bergulir kemitraan PT Timah ini membuat semangatnya kembali membara untuk terus bertahan dan berproduksi.
“Kalau enggak ada dana bergulir ini makin kondisi usaha terpuruk, omset yang turunnya sangat drastis membuat kami yang modalnya pas-pasan betul-betul kebingungan. Dari PT Timah kami juga dibantu untuk menjual produk di Tins Gallery terus diajak pameran juga,” ujarnya.
Ia berharap, program dana bergulir PT Timah ini bisa dilakukan simultan sehingga semakin banyak UMKM yang merasakan manafaatnya.
“Kondisi sekarang ini, banyak UMKM yang sangat terasa dampaknya. Dengan adanya support dana bergulir yang bunganya sangat rendah tentu sangat membantu UMKM untuk terus bertahan,” tutupnya.rill/(wa)