Oleh : Wahyu Saputra (Wartawan/Pemerhati Dunia Pendidikan)
Kasuistis pungutan iuran setiap tahun ajaran baru bagi calon siswa yang melanjutkan ke jenjang berikutnya merupakan kasus nyata dan menyayat serta mencoreng dunia pendidikan.
Kedok pungutan ini berbagai macam mulai dari membantu pihak sekolah menyediakan sarana dan prasarana semisal kursi, meja dan alat penunjang lainnya selalu menjadi alasan klasik.
Modus pelaksanaannya adalah dengan keterlibatan wali murid yang menjadi objek pengatur maupun yang menjadi penyumbang.
Pola pikir atas sekolah yang baik dan bagus adalah sebuah celah bagi pihak sekolah untuk meminta sumbangan. Padahal pemerintah sudah menerapkan zonasi sebagai pilihan pertama untuk bersekolah sesuai dengan tempat tinggalnya. Tujuan zonasi juga sebenarnya menghapuskan image sekolah-sekolah unggulan dan memberikan kesempatan yang sama bagi sekolah lainnya untuk meningkatkan mutu pendidikannya.
Terkait persoalan penerimaan peserta didik baru di kota Pangkalpinang sejatinya sudah sangat bagus diberlakukan kebijakan untuk tidak memungut apapun dan dalam bentuk apapun. Kebijakan yang sangat menyentuh masyarakat kecil untuk bersekolah ini sebenarnya patut diapresiasi, karena kewajiban dasar akan pendidikan merupakan hal mutlak yang harus disediakan pemerintah.
Namun dalam perjalanannya, semangat ini tak berjalan sebagaimana mestinya. Pihak sekolah masih saja melakukan pungutan berkedok sumbangan. Kita lihat saja pada PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) di SMPN 7 dan SMPN 1 di kota Pangkalpinang.
Dari sisi aturan, ranah komite yang merupakan perpanjangan tangan wali murid tidak mempunyai kewenangan dalam melakukan pungutan atau sumbangan. Alasannya adalah dalam PPDB bukanlah kewenangannya komite melainkan dinas pendidikan.
Kemudian muncul lagi bahasa koordinator pungutan atau sumbangan untuk kursi, meja dan buku di sekolah lainnya dalam PPDB diluar komite sekolah. Lagi-lagi dalam kewenangannya juga dipersoalkan. Karena dalam peraturan menteri pendidikan kebudayaan (Permendikbud) hanya satu yang diakui yaitu pihak komite sekolah yang merupakan lembaga mandiri yang beranggotakan orangtua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan.
Jadi tidak ada urgensinya dalam tindakan PPDB.
Lebih jauh melihat Permendikbud nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah yaitu komite berkedudukan di tiap sekolah, berfungsi dalam peningkatan pelayanan pendidikan; menjalankan fungsinya secara gotong royong, demokratis, mandiri, profesional, dan akuntabel,” bunyi Pasal 2 ayat (1,2,3) Permendikbud itu.
Menurut Permendikbud ini, anggota Komite Sekolah terdiri atas: a. Orangtua/wali dari siswa yang masih aktif pada sekolah yang bersangkutan paling banyak 50% (lima puluh persen); b. Tokoh masyarakat paling banyak 30% (tiga puluh persen), antara lain: 1. Memiliki pekerjaan dan perilaku hidup yang dapat menjadi panutan bagi masyarakat setempat; dan/atau 2. Anggota/pengurus organisasi atau kelompok masyarakat peduli pendidikan, tidak termasuk anggota/pengurus organisasi profesi pendidk dan pengurus partai politik; c. Pakar pendidikan paling banyak 30% (tiga puluh persen), antara lain: 1. Pensiunan tenaga pendidik; dan/atau 2. Orang yang memiliki pengalaman di bidang pendidikan.
“Anggota Komite Sekolah berjumlah paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 15 (lima belas) orang,” bunyi Pasal 4 ayat (2) Permendikbud itu.
Ditegaskan dalam peraturan itu, bahwa bupati/wali kota, camat, lurah/kepala desa merupakan pembina seluruh Komite Sekolah sesuai dengan wilayah kerjanya.
Soal penggalangan dana yang dilakukan komite sekolah dalam Permendikbud ini juga sangat jelas. Sumbernya adalah bantuan dan sumbangan. Bukan dalam bentuk pungutan.
Perlu digarisbawahi makna bantuan ataupun sumbangan adalah kesadaraan pribadi wali murid ataupun pihak lainnya untuk membantu ataupun menyumbang sesuai kadar atau kemampuan bukan dengan bahasa patokan nilai ataupun membatasi minimal dan maksimal. Jikalau menggunakan bahasa nilai, meski dengan sebuah kesepakatan, maka makna itu berubah menjadi pungutan. Dan ini sangat jelas dilarang melalui permendikbud nomor 75 Tahun 2016 tentang Komite Sekolah.
Pungutan Liar
Memberantas pungutan liar di sekolah haruslah menjadi kesadaran bagi setiap orang tua siswa, satuan pendidikan, pemerintah dan masyarakat umum lainnya. Pungutan liar haruslah segera dihentikan dalam praktik dunia pendidikan, karena ini tak mencerminkan semangat dasar untuk anak dapat bersekolah. Bila dikaitkan dengan pungli, ini akan berimbas pada runtuhnya etika moral, sekolah sudah menjadi ladang bisnis dan tentu berimbas pada psikologis peserta didik ataupun wali muridnya. Karena terdapat kesenjangan pemberlakuan antara si kaya dan si miskin.
Oleh karenanya, dalam memberantas pungli di setiap sekolah, satuan tugas saber pungli yang sudah dibentuk Presiden Jokowi hendaknya dapat menjalankan tugas utamanya yakni melakukan pemberantaran pungutan liar secara efektif dan efisien dengan mengoptimalkan pemanfaatan personil, satuan kerja dan sarana prasarana yang ada di Kementerian/lembaga maupun di pemerintah daerah.
Adapun sanksi yang dapat diterima oleh pelaku pungli merujuk pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Pidana Korupsi, khususnya Pasal 12 E dengan ancaman hukuman penjara minimal empat tahun dan maksimal 20 tahun. selain itu dapat dijerat juga dengan Pasal 368 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal sembilan bulan. Pelaku pungli berstatus PNS dijerat dengan Pasal 423 KUHP dengan ancaman maksimal enam tahun penjara.
Selain itu, Pemberantasan pungli di sekolah dapat dilakukan dengan dua cara yakni pencegahan dan penindakan. Pencegahan dapat dilakukan dengan menempuh berbagai cara seperti melakukan sosialisasi praktik-praktik pungli di sekolah dan upaya pencegahannya, menegakkan norma-norma kesusilaan di sekolah, mempraktikkan tata kelola sekolah berintegritas, menghindari penyimpangan anggaran, dan mengupayakan transparansi pengelolaan anggaran sekolah. Sedangkan Penindakan dilakukan dengan cara menjerat para pelaku pungli sesuai dengan peraturan perundang-undangan.(*)
Leave a Reply