Arah Revisi UU Penyiaran
Dan Sebuah Keharusan

Oleh : Wahyu Saputra
Wartawan/Mantan Anggota KPID Bangka Belitung, Koordinator Bidang Kelembagaan 2014-2017

Perkembangan revisi Undang-Undang penyiaran No. 32 Tahun 2002 selalu ditunggu-tunggu publik. Seperti apa  nasib UU penyiaran setelah perjalanan panjang akan masuk prolegnas mulai dari 2009 hingga saat ini.

Dari data Badan Legislasi DPR tahun 2015 lalu, ada 37 Rancangan Undang-Undang (RUU) prioritas dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) salah satunya adalah RUU Penyiaran.  Namun hingga saat ini belum ada tanda-tanda kejelasan sama sekali untuk sekedar membahas point RUU Penyiaran meski komisi 1 DPR sudah menegaskan akan menuntaskan di tahun 2020. Kita tunggu saja?

Dunia penyiaran memang memiliki sisi nilai ekonomis bagi pelaku usahanya, namun kalau tidak diatur melalui regulasi jelas justru akan sangat membahayakan publik. Publik lah sejatinya sebagai pangsa sekaligus penikmat akan penyiaran itu.

Bila kita lihat dari sisi perjalanan revisi cukup panjang pasti ada sesuatu yang cukup serius dalam bisnis ini, padahal UU 32 tahun 2002 harus segera direvisi mengingat semakin majunya teknologi penyiaran justru kalau tidak diimbangi dengan aturan baru maka hak-hak publik atas penyiaran akan terabaikan.

Dalam aturan sekarang sangat jelas tidak dapat mengakses dan menindak tegas jika ada permasalahan di media baru.

permasalahan di media baru banyak dipertanyakan publik dan dikeluhkan media penyiaran atau media mainstream.

Rasanya tidak adil jika siaran media penyiaran diperlakukan ketat atau berbeda karena ada pengawasan dan naungan regulasi yang memayungi.

Sedangkan media baru yang belum ada payung hukum justru bebas bergerak tanpa pengawasan. Apalagi sudah banyak negara yang masuk ke media baru.

Karena itu pentingnya pembahasan sesegera mungkin revisi UU tersebut oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian, mengesahkan menjadi UU baru sebagai solusi untuk dapat mengejar ketertinggalan tersebut.

Pengawasan terhadap media baru sangatlah krusial. Sebab, konten dalam media baru belum sepenuhnya aman yang dikhawatirkan justru berdampak lebih buruk terhadap publik, khususnya anak dan remaja. Alasan itu selain untuk memberi perlakuan yang sama dengan media yang sudah ada.

Kita sama sama tahu ada layanan tontonan streaming yang menyediakan film-film berkualitas, tapi apa sudah sesuai dan pantas dengan budaya dan adat kita? Apa yang mereka sampaikan belum disaring sesuai dengan kultur bangsa kita.

Selain itu, permasalahan krusial yang wajib direvisi adalah soal penguatan kelembagaan KPI sebagai leading sektor dan pengawas penyiaran. Saat ini secara kelembagaan KPI / KPID boleh dibilang sangat lemah. Sehingga revisi UU nya sangat diperlukan.

Penuntasan revisi UU Penyiaran tidak saja berdampak bagi kehidupan masyarakat maupun kehidupan bangsa, namun secara konseptual memberikan kejelasan mengenai arah penyiaran atau grand design penyiaran nasional. Akan dibawa kemana dunia penyiaran negeri ini tergambar dari regulasi yang mengaturnya. Revisi UU Penyiaran dengan status hukum yang jelas juga akan membuat jelas posisi hukum politik Komisi Penyiaran Indonesia (KPI/KPID). Pertanyaan fundamental dari revisi UU 32 tahun 2002 apakah revisi UU Penyiaran akan memperkuat KPI secara kelembagaan atau justru sebaliknya “kurang berpihak” pada KPI dalam konteks politik hukum yang didesain?

Berkaitan dengan hal tersebut, menurut saya, revisi UU Penyiaran harus menempatkan KPI pada posisi yang dirancang sesuai dengan UU Penyiaran Pasal 7 yakni sebagai lembaga negara yang bersifat independent mengatur hal-hal mengenai penyiaran. Dengan logika hukum ini, jika kita komitmen dan konsisten pada UU Penyiaran berarti apapun yang berhubungan dengan dunia penyiaran : soal perizinan, infrastruktur, teknologi, hingga isi siaran menjadi domain atau otoritas sepenuhnya KPI.

Keberadaan regulator penyiaran seperti KPI ditengah dinamika dunia penyiaran yang dipenuhi berbagai kepentingan :pemerintah, industri media, dan KPI sebagai representasi kepentingan publik- membuat status hukum KPI tidak berjalan tegak sepadan dengan teks yang tertulis dengan UU Penyiaran.

Besarnya arus kepentingan yang mempresentasikan berbagai kekuatan dominan membuat masyarakat sukar untuk berharap eksistensi KPI di Indonesia seperti FCC (Federal Communications Commision) di Amerika Serikat atau The Office of Commuications (OFCOM) yang berpusat di Inggris dimana Komisi Penyiaran tersebut dinilai powerfull mengurusi konten siaran dan juga aspek teknologi.

Oleh karenanya posisi kelembagaan KPI dalam struktur ketatanegaraan selayaknya diperkuat dengan dukungan regulasi. Dalam konteks politik hukum dikenal dengan istilah sumber legitimasi dalam hal ini regulasi agar institusi dalam kedudukan yang kuat. Bukan malah dikerdilkan bahkan dipangkas kewenangannya secara sistematis dan massif dengan membatasi kewenangan KPI/KPID yang seakan-akan mengurusi isi siaran. Padahal tugas KPI tidak sesederhana itu sebagaimana ditegaskan pada pasal 7 UU Penyiaran.

Setumpuk persoalan seperti praktik monopoli lembaga penyiaran, jaminan diversity konten dan kepemilikan (ownership) yang belum terealisasi seutuhnya, sistem stasiun jaringan yang belum sepenuh hati dijalankan, masalah independensi media massa, orientasi iklan dan rating oleh stasiun televisi, kurangnya perlindungan ruang publik di stasiun televisi, kebebasan dan tanggung jawab media massa, siaran perbatasan, belum lagi soal digitalisasi dan fenomena penyiaran yang lain- Sejumlah catatan dunia penyiaran tersebut membutuhkan keberadaan regulator penyiaran yang kokoh dengan kekuatan regulasi yang mendukung. Semoga RUU Penyiaran segera berubah menjadi UU Penyiaran baru yang memberikan legitimasi dan melindungi hak dasar publik dalam bidang penyiaran.(*)