Opini  

Raden Ajeng Kartini Dalam Memperjuangkan Hak-hak Perempuan

Oleh: Endang Kusniati, M.A.
(Dosen IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Babel dan Pengurus Madania Center BangkaBelitung)

Para pejuang awal gerakan perempuan di tahun 1800-an menganggap bahwa posisi perempuan yang tertinggal semata-mata karena kebanyakan perempuan buta huruf, miskin dan tidak mempunyai keahlian. Oleh sebab itu, gerakan perempuan awal ini berjuang dengan mengedepankan perubahan sistem sosial dimana perempuan dibolehkan untuk ikut memilih dalam pemilihan umum.

Tokoh-tokoh penggagas di Dunia meliputi; Susan B Anthony, Elizabeth Cady Staton yang merujuk pada Mary Wollstonecraft, yang bergrilya selam 12 tahun untuk memperjuangkan hak perempuan dalam pemilihan umum.

Seratus tahun kemudian perempuan-perempuan kelas menengah abad industrialisasi mulai menyadari kurangnya peran mereka di masyarakat. Karena kebosanan mereka berada di rumah yang cukup nyaman, mereka menyibukkan diri menggeluti berbagai kegiatan sosial. Interaksi mereka dengan perempuan miskin, ibu-ibu yang tidak menikah membuat mereka semakin sadar adanya ketidakadilan di masyarakat yang merugikan perempuan bukan karena kebodohan perempuan itu sendiri.

Segala persoalan dibahas mulai dari hak mendapatkan upah yang sama, cuti haid, hingga kekerasan dalam rumah tangga yang dijadikan isu publik. Pergerakan feminisme di akhir tahun 1960-an dan sepanjang tahun 1970-an ini mendapat perhatian yang luar biasa. Pergerakan ini berhasil menekan pemerintah untuk membuat undang-undang yang menguntungkan perempuan dan yang paling penting adalah membuka mata dan hati masyarakat akan ketidakadilan yang terjadi terhadap perempuan bukan proses alamiah, tetapi lebih pada konstruksi masyarakat yang bias gender.

Harus diakui kemajuan yang diperoleh perempuan di seluruh dunia; Indonesia, Amerika, Filipina, Cile, Australia, Cina, Korea, Persia, Yunani, Afganistan, Belanda, dan sebagainya tidak dapat dipisahkan dari kegigihan para perempuan yang peduli akan nasib teman sejenisnya, atau jumlah setengah penduduk dunia yang perempuan. Apakah dengan demikian perempuan kini telah mendapatkan yang mereka inginkan? Apakah perempuan diseluruh dunia khususnya di Indonesia telah dapat menikmati kebebasan dan kesetaraan mereka? Pejuang perempuan merupakan perjuangan yang paling sulit dan paling lama, berbeda dengan perjuangan kemerdekaan atau rasial.

Pergerakan perempuan baik di tahun 1800-an maupun ditahun 1970-an telah membawa dampak yang luar biasa untuk kehidupan sehari-hari bagi kaum perempuan. Akan tetapi perjuangan perempuan tidak terhenti sampai disitu saja, wacana-wacana tentang perempuan terus bermunculan hingga saat ini.

Dalam hal ini Indonesia memiliki banyak srikandi pejuang Indonesia yang bersinar dimasanya dan berpengaruh hingga saat ini; Cut Nya’ Dien (D.I Aceh), Cut Mutia (D.I Aceh), Dewi Sartika (Jawa Barat), Nyai Ahmad Dahlan (DIY), dan R. A. Kartini (Jawa Tengah), Nyi Ageng Serang (Jawa Tengah), Maris Walada Maramis (Sulawesi Utara), Cristina Martha. T (Maluku), yang masing-masing memiliki pengaruh besar di daerahnya pada saat ikut memperjuangkan keberdekaan Indonesia pada saat itu.

Jauh sebelum emansipasi itu muncul, perempuan selalu dihadapkan dalam posisi inferior dan laki-laki lebih superior. Dalam hal ini R.A.Kartini hadir untuk perempuan Indonesia secara khusus dan perempuan diseluruh dunia secara umum serta untuk dirinya untuk mengentaskan dari hukum adat yang mengikat, serta mengajak perempuan untuk berpendidikan.

Pada masa itu muncullah jargon; “habis gelap terbitlah terang”. Jargon tesebut mewakili bagaimana kondisi kelam perempuan di masa lalu yang sulit mendapatkan akses dalam hak politik, hak keagamaan, hak ekonomi, hak perkawinan, hak mencari pekerjaan, hak upah, hak pendidikan dan sebagainya yang telah dikebiri. Semua terkurung oleh adat Jawa yang sangat kental pada masa itu. Perempuan dilarang untuk terlibat diranah publik secara langsung. Perempuan pada masa itu lebih domestik, semua kegiatan perempuan dibatasi, bahkan jodoh pun ditentukan oleh orang tua. Jodoh dipilih yang sepadan atau setara derajadnya.

Tidak semestinya kondisi ini terjadi pada diri perempuan, perempuan juga memiliki hak dan peran yang sama dengan seorang laki-laki, karena yang membedakan adalah kodratnya (pemberian Tuhan yang melekat pada diri masing-masing laki-laki maupun perempuan).

Kondisi tersebut membuat R.A Kartini gelisah, hingga setiap hari ia mengirimkan surat-suratnya kepada teman penanya di berbagia belahan dunia untuk mengungkapkan beban yang ia rasakan selama ini, salah satunya saat ia menuliskan surat di Jepara pada 25 Mei 1899 kepada Nona E. H. Zeehandelaar di Belanda.

Kutipan singkat surat R. A. Kartini; “Dan sekiranya Undang-undang negeri saya mengizinkan, saya tidak ingin berbuat lain daripada menyerahkan diri untuk kerja dan perjuangan perempuan baru di Eropa. Tetapi adat kebiasaan yang sudah berabad-abad, yang tidak dapat begitu saja dirombak telah membelenggu kami dengan tangannya yang kuat. Suatu ketika tangan itu akan melepaskan kami. Tetapi saat-saat itu masih jauh lagi dari kami—tak terhingga jauh! Masa itu pasti datang, saya tahu, tetapi baru tiga, empat keturunan sesudah kami. Aduh! Saudara tidak tahu bagaimana rasanya dengan sebulat hati mencintai zaman muda, zaman baru, zaman milikmu. Tetapi tangan dan kaki kami masih terbelenggu, masih terikat kepada hukum, adat istiadat dan kebiasaan negeri kami. Kami tidak mungkin melepaskan diri dari belenggu itu. Dana dat istiadat serta kebiasaan negeri kami sama sekali bertentangan dengan yang baru,yang ingin saya lihat bisa masuk ke dalam masyarakat kami. Siang malam saya renungkan, saya pikirkan daya upaya untuk melepas diri dari adat istiadat negeri saya yang keras itu”.

Kondisi itu menggambarkan betapa terbelenggu dirinya dan kaum perempuan lainnya. Cita-cita R.A. Kartini yang ingin mengentaskan perempuan-perempuan Jawa pada masa itu dari belenggu adat istiadat (subordinat) dirasa tidak mudah karena ia begergerak sendiri tanpa dukungan dari keluarga dan juga pemerintah kolonial Belanda pada masa itu. Namun ia memiliki semangat kuat untuk memperjuangkan hak-hak perempuan. karena yang ia inginkan adalah bagaimana perempuan mampu bersinegi dalam ranah publik; hukum, politik, ekonomi, pendidikan, budaya, agama dan cerdas dalam sosial kemanusiaan serta berliterasi.

Mengingat hari ini adalah peringatan hari Kartini yang jatuh pada 21 April 2020, dikenal dengan hari emansipasi yang ditokohi oleh R. A Kartini itu sendiri. Hari kartini harusnya dibuktikan dengan aksi nyata literasi, bukan sekedar orasi. Karena emansipasi bukan untuk saling menyaingi, atau mengungguli bahkan mendominasi satu sama lain, akan tetapi emansipasi itu ada untuk kesetaraan dalam mewujudkan relasi yang egaliter baik perempuan dan laki-laki.