KOBA, LASPELA– Dalam upaya penyelesaian pengaduan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemerintahan, maka dibuatlah suatu formula Perjanjian Kerja Sama (PKS) antara Aparatur Pengawas Internal Pemerintah (APIP) dengan Aparat Penegak Hukum (APH), dengan nomor 119-49 Tahun 2018, nomor B-369/F/Fjp/02/2018 dan nomor B/9/II/2018 tanggal 28 Februari 2018, tentang Koordinasi APIP dengan APH dalam Penanganan Laporan atau Pengaduan Masyarakat yang Berindikasi Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.
Auditor Muda pada Inspektorat Daerah (ITDA) Bateng, Pitriyadi, mengungkapkan bahwa
dalam PKS yang dibuat pada November 2018, telah disepakati antara petinggi APIP dan APH, dari pusat hingga daerah, antara Mendagri, Kapolri, Kajagung, kemudian ditindaklanjuti kerjasama Gubernur, Kapolda dan Kajati, termasuk semua kepala daerah.
“Isinya adalah apapun pengaduan masyarakat yang berkaitan dengan Tipikor, akan dikoordinasikan lebih awal dengan APIP, setelah dilakukan audit, ditindaklanjuti dengan rekomendasi pidana atau administrasi,” ungkap Pitriyadi, Senin (2/3/2020).
Menurut Pitriyadi, dalam konteks kerjasama APIP dan APH sebagai Supporting Entity, tidak semua pengaduan itu pidana, ada yang hanya terbukti administrasi maka diselesaikan ditingkat APIP.
Lanjutnya, latar belakang pentingnya PKS ini, di samping mandat dari Pasal 385 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2016 Tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional Negara, agar tidak terjadi kegamangan penyelenggara pemerintahan daerah dan pemerintahan desa dalam bertindak karena takut tersangkut pidana atau dicari- cari kesalahannya untuk dipidana, sehingga pembangunan daerah dan pembangunan desa dapat berjalan efektif.
“Pada prinsipnya semua laporan masyarakat mesti ditindaklanjuti oleh APIP dan APH, sepanjang data identitas pelapor lengkap serta laporan dugaan tindak pidana korupsi dilengkapi dengan bukti bukti permulaan/ pendukung berupa dokumen yang jelas,” kata Pitriyadi.
“Apabila terdapat kerugian keuangan negara/ daerah, namun telah diproses melalui tuntutan ganti rugi atau tuntutan perbendaharaan paling lambat 60 hari sejak laporan hasil pemeriksaan APIP atau BPK diterima oleh pejabat atau telah ditindaklanjuti, dan dinyatakan selesai oleh APIP atau BPK, sifatnya tetap kepada indikasi administrasi,” sambung Pitriyadi.
Pitriyadi menyampaikan bahwa pemerintah telah menerbitkan PP Nomor 72 Tahun 2019 tentang Perangkat Daerah, terdapat enam poin yang dituangkan dalam PP tersebut terkait penguatan independensi APIP, yaitu Penambahan fungsi ITDA untuk mencegah korupsi, dan pengawasan Reformasi Birokrasi, Penambahan kewenangan bagi APIP dapat melakukan pengawasan berindikasi kerugian daerah tanpa harus menunggu persetujuan kepala daerah, Pola pelaporan disampaikan berjenjang, Penambahan satu eselon III untuk investigatif, Pelaksanaan supervisi hasil pengawasan Inspektorat Daerah oleh Mendagri bekerja sama dengan BPKP, dan Pengangkatan dan mutasi Inspektur Daerah termasuk pembentukan Pansel dilakukan setelah konsultasi dengan Kemendagri.
Sejak berlakunya SPK tersebut, maka Pemkab Bateng, dalam hal ini APIP, ITDA Bateng, bersama APH, Polres Bateng, telah menjalankan Pasal 4 SPK yaitu saling tukar menukar data dan/atau informasi atas laporan atau pengaduan masyarakat berindikasi tindak pidana korupsi baik terhadap pelaksanaan pembangunan daerah, maupun pelaksanaan pembangunan desa, sehingga Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)di Organisasi Perangkat Daerah (OPD), maupun perangkat desa, tidak lagi merasa khawatir dan ketakutan dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya dalam pengelolaan keuangan.
“Secara kongkrit, masih ada kelemahan dalam implementasi SPK tersebut, yaitu belum adanya pertemuan berkala antara APIP dan APH, belum adanya SOP tentang tugas dan tanggungjawabnya sehingga tidak tumpang tindih atau berjalan sendiri- sendiri, dan belum adanya sekretariat sebagai upaya saling koordinasi antara APIP dan APH,” pungkas Pitriyadi.(*)