JAKARTA, LASPELA – Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Patijaya (BPJ) belakangan ini memerhatikan pemberitaan mengenai perladaan di Kepulauan Bangka Belitung (Babel), yang cukup serius untuk diselesaikan secara bersama antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat.
“Jadi dua hari belakangan ini saya mengikuti pemberitaan di Babel tentang perladaan. Pada RDP yang dilakukan di DPRD Prov Babel kemarin tanggal 2 Desember, semua stake holder perladaan Babel di undang oleh DPRD Babel untuk saling sharing tentang permasalahan yang dihadapinya,” ujarnya di Jakarta, Selasa (3/12/2019).
Dia menjelaskan, menariknya ketika ada seorang eksportir lada dari Belitung mengatakan jika mereka dipersulit, mereka akan berhenti membeli lada dari masyarakat. Pernyataan ini, tentu agak sedikit emosional, mari disikapi dengan kepala dingin.
“Kalau saya menanggapinya, kawan-kawan eksportir lada tidak usah ngambek dengan menggertak begitu, nanti rugi sendiri. Karena pelanggannya nanti pindah jual lada ke resi gudang yang di inisiasi oleh Pemprov, toh ada pemain besar lada juga di belakang resi gudang,” ungkapnya.
Bahkan pria yang akrab disapa BPJ itu mengungkapkan, jika para pemain lada yang ribut, nanti petani lada Babel yang semakin menderita, kasihan kan.
“Saya dari beberapa waktu yang lalu sudah sampaikan bahwa negara yakni pemerintah pusat, harus hadir dalam menyelesaikan tata niaga perladaan nasional,” ia menuturkan.
Pasalnya, kata BPJ Pemprov Babel tidak mungkin bisa bekerja sendiri menyelesaikan permasalahan lada ini, karena lada adalah komoditas nasional yang juga ditanam di provinsi lain di Indonesia.
“Salah besar bila mengira bisa dongkrak harga lada dari kebijakan Pemprov Babel.
Lada adalah komoditas bersifat nasional dan harganya antara lain ditentukan juga oleh situasi perdagangan internasional,” paparnya.
“Sehingga tata niaga lada harus diatur oleh pemerintah pusat lewat regulasinya, sebab ini produk perkebunan yang nilai ekspornya menyumbang devisa cukup besar,” tambah Bambang Patijaya.
Politisi Golkar itu pun menambahkan, bahwa menurut data dari Kementerian Perdagangan RI Tahun 2015 lada ada diurutan 4 penyumbang devisa terbesar dari sektor komoditas perkebunan setelah CPO, Karet, Coklat. Saat ini, di 2019 komoditas lada semakin terpuruk pada urutan ke-8, sangat disayangkan.
“Namun tidak ada yang harus disalahkan dari carut marutnya perladaan nasional saat ini khususnya di Babel. Mari Kita sama-sama komitmen untuk ikut andil memperjuangkan nasib petani lada, agar mereka memdapatkan harga yang terbaik,” harapnya.
Menurut BPJ, dalam semangat membangun tataniaga lada nasional ke depannya, spiritnya, semua pihak yang ada di dalam mata rantai silakan mendapatkan benefit, dan yang terpenting petani tidak termarginalkan. Tidak boleh ada pihak-pihak tertentu yang mengambil keuntungan diatas penderitaan orang lain.
“Oleh karena itu, saya sejak beberapa minggu kemarin telah berkomunikasi dengan pihak Pemprov, menyarankan agar dapat berkirim surat ke Komisi VI DPR RI untuk melaksanakan Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan seluruh stake holder perladaan Babel dan pihak yang berkepentingan dengan Komisi VI DPR RI,” tegasnya.
Agar masalah ini kita angkat menjadi isu nasional, sehingga pemerintah pusat baik pada Kementerian Pertanian dan khususnya Kementerian Perdagangan, punya atensi pada produk lada yang ternyata menyumbang devisa cukup besar bagi Indonesia.
“Harus dipikirkan suatu tata niaga perladaan yang baru yang berpihak pada petani dan mampu mengangkat serta mempertahankan harga sebagaimana mestinya. Tahun 2015 harga Lada ditingkat petani sempat menyentuh harga Rp 160.000/kg, tetapi hari ini harga lada putih anjlok ke harga Rp 38.000/kg, tentu petani sangat dirugikan,” keluhnya.
Sementara itu, lanjut BPJ sore tadi dirinya baru saja menerima Pak Kombes (Purn) Zaidan Staff Khusus Gubenur, beliau mengantar surat permohonan RDP dari Gubernur Babel kepada Komisi VI.
“Setelah berbincang-bincang dengan beliau di ruangan saya di 11.22 gedung Nusantara I, lalu saya mengantar Pak Zaidan ke Sekretariat Komisi VI untuk menyampaikan surat permohonan RDP kepada Komisi VI.
Dari jadwal Komisi VI yang sangat padat saat ini, kemungkinan RDP baru bisa diagendakan setelah masa reses kami selesai nanti,” imbuhnya.
“Tidak ada masalah yang tidak bisa diselesaikan, asalkan dilandasi dengan itikat dan niat yang baik. Jika tidak, maka hanya memindahkan masalah, dari mulut harimau ke mulut buaya,” pungkas politisi Golkar tersebut.(San/Ar)