Oleh : Wina Destika
PANGKALPINANG, LASPELA – Kecelakaan pesawat udara Lion Air JT 610 membawa duka yang sangat mendalam pada seluruh keluarga korban. Kecelakaan pesawat ini menambah daftar panjang kecelakaan pesawat udara yang terjadi di Indonesia.
Salah satu pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban dalam kecelakaan pesawat udara adalah pihak manufaktur pesawat udara tersebut. Dalam hal Lion Air JT-610, manufaktur pesawat udara adalah Boing, perusahaan yang mengklaim dirinya sebagai perusahaan manufaktur pesawat udara komersial terbesar di dunia, berkantor pusat di Chicago, Illinois, Amerika Serikat.
Tidak heran, pada saat ini beberapa pengacara dari Amerika Serikat datang ke Indonesia untuk menawarkan jasa kepengacaraan mereka. Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, hal ini tentunya cukup tidak masuk akal, berbagai kekhawatiran pun timbul, seperti biaya, waktu, kemungkinan tertipu oleh pengacara, serta apakah kasus ini mungkin berhasil atau tidak.
“Untuk itu, kami dari Kantor Hukum LEX Justitia, ingin berbagi informasi dengan memberikan tips-tips atas berapa hal yang perlu diperhatikan dalam memilih pengacara di Amerika Serikat,” kata Keizerina Devi Azwar, Konsultan Hukum Lex Justitia kepada Negerilaskarpelangi.com, Jumat (21/12/2018).
Ia mengatakan, kantor hukum Lex Justitia bekerjasama dengan Nolan Law Group, yang memiliki pengalaman dalam berbagai kasus aviasi, termasuk beberapa kasus yang melibatkan kecelakaan pesawat udara, dimana di dalamnya terdapat warga negara Indonesia (WNI).
“Banyak kasus penerbangan (aviasi) yang berhasil ditangani oleh Lex Justitian bersama Nolan Law Group, seperti kasus Garuda GA 152 yang jatuh di Medan dan Silk Air 185 di Paembang pada tahun 1997 lalu,” ujarnya.
“Lion Air 386 di Riau dan Garuda GA421 yang jatuh di di Bengawan Solo pada tahun 2002. Mandala Air Lines 091 yang jatuh di Medan pada tahun 2005. Garuda 200 yang jatuh di Jogjakarta pada tahun 2007, Lion Air 904 di Bali 2013, MH 17 di Rusia, MH370 yang hilang pada tahun 2014 dan kecelakaan kerja tambang freeport 2013,” lanjut Devi.
Devi menjelaskan keluarga korban harus teliti dahulu sebelum memilih. Salah satu yang bisa dilakukan untuk memilih pengacara di Amerika Serikat, diantaranya penggunaan internet dimana saat ini tiap orang dapat melakukan jejak dengan internet. Setiap pengacara di Amerika Serikat memiliki track record yang dapat dengan mudah ditelusuri melalui search engine seperti google. Setiap orang hanya tinggal memasukkan nama pengacara yang ingin mereka ketahui dan melihat bagaimana sejarah kepengacaraan mereka.
“Ini penting, jangan sampai pengacara yang dipilih melarikan diri ditengah kasusnya, tidak melakukan tindakan apapun, tidak membela kepentingan klien dengan sepenuhnya atau bahkan hanya menjadi agen dengan menyerahkan kasus pada pengacara lainnya,” ucapnya.
Lanjut Devi, selain itu keluarga korban juga harus mencari pengacara handal, berpengalaman dalam menangani kasus aviasi. Pengacara kecelakaan penerbangan bertugas menyelidiki keadaan sekitar penyebab kecelakaan penerbangan.
“Mereka harus meninjau laporan kecelakaan dan insiden untuk menentukan apakah kecelakaan terjadi sebagai akibat dari peralatan yang rusak, pelanggaran peraturan FFA, kesalahan pilot, masalah dalam desain untuk struktur pesawat udara, kelalaian oleh karyawan stasiun layanan penerbangan atau kelalaian oleh pengontrol lalu lintas udara. Dengan menggunakan informasi ini mereka menegosiasikan penyelesaian dengan mereka yang bertanggungjawab atas kecelakaan atau mereka mengajukan tuntutan hukum agar hakim atau juri menentukan hasil,” jelasnya.
Menurutnya, seorang pengacara yang aktif memperjuangkan kliennya di pengadilan, tentunya tidak akan memiliki waktu untuk berlama-lama tinggal di Indonesia dalam mendapatkan calon klien.
“Keluarga korban juga jangan tergiur dengan janji-janji manis. Pergunakan akal sehat,” ucapnya.
Sistem pembayaran pengacara untuk kasus aviasi di Amerika Serikat menggunakan system contigency fee, dimana pengacara akan dibayar setelah kasus di selesaikan. Pengacara bekerja dan mengeluarkan seluruh biaya yang dikeluarkan dalam rangka penyelesaian kasus.
“Umumnya contigency fee dalam kasus aviasi adalah 1/3 atau 33 1/3 persen dari jumlah yang diperoleh nantinya. Contigency fee jarang dikenal di Indonesia sehingga ini membuat orang terlena. Selain contigency fee, keluarga juga akan dipotong biaya-biaya yang dikeluarkan pihak pengacara dalam melaksanakan kasusnya,” terangnya.
“Dengan sistem tersebut memberi kemudahan bagi keluarga korban yang memiliki kesulitan dalam keuangan untuk mendapatkan keadilan. Dan biaya serta jasa kepengacaraan tidak perlu dibayar apabila tidak ada pembayaran akhir berupa putusan pengadilan ataupun penyelesaian perkara di luar sidang pengadilan,” tambah Devi.
Ia juga mengungkapkan seharusnya aturan hukum di Indonesia mengikuti hukum luar negeri, dimana kecelakaan penerbangan, satu korban yang meninggal asuransinya Rp 2,5 miliar, bukan Rp 1,25 miliar yang dibuat sesuai peraturan Menteri Perhubungan.
“Jika melihat dari nilai asuransinya aja hak WNI sudah terabaikan, tidak sebanding dengan maskapai yang enaknya dapat uang asuransi sangat banyak. Karena itu kita ingin membantu mereka memperjuangkan ini,” tegasnya.
“Untuk itu saya berharap apa yang dilakukan oleh para pengacara atau lowyer dari Amerika memberikan dampak baik untuk masyarakat Indonesia. Dan kepada pemerintah juga lebih dapat lagi memperhatikan penegakkan hukum di Indonesia,” tutup Devi. (Wa)