Oleh : Wina Destika
PANGKALPINANG, LASPELA – Staf Ahli Gubernur Bangka Belitung Bidang Ekonomi dan Pembangunan Haryoso menyatakan jumlah perkawinan anak di tahun 2017 mengalami peningkatan yakni 25,7 persen dibandingkan tahun 2015.
“Hal ini berdasarkan data BPS yang menunjukkan jumlah perkawinan anak mencapai 25,7 persen di tahun 2017. Angka ini meningkat dibandingkan tahun 2015 yang berada diangka 22,8 persen. Dan Saat ini Babel menempati posisi ketiga terbanyak dengan 37,19 persen,” kata Haryoso dalam sambutannya pada kampanye Gerakan Bersama STOP Perkawinan Anak, di Hotel Puncak Pangkalpinang, Rabu (17/10/2018).
Haryoso menyampaikan bahwa Pemerintah Provinsi Bangka Belitung terus berupaya memberikan edukasi bagi orang tua dan anak remaja agar dapat memahami dampak yang merugikan dari perkawinan anak ini.
“Karena anak harus memperoleh ijazah sebelum memperoleh buku nikah. Tentu kita berharap kepada orangtua agar dapat mempersiapkan dengan matang sebelum anak menjalani pernikahan. Salah satunya yakni, memberikan dan mengupayakan pendidikan yang tinggi bagi anak-anaknya,” tegas Haryoso.
Bukan itu saja, Lanjut Haryoso dimana peran tokoh agama dan tokoh masyarakat juga diperlukan untuk mengatasi kultur yang melestarikan perkawinan anak.
“Kita berharap agar diperlukan sinergitas pemerintah dengan berbagai elemen, agar visi misi pemerintah yang berkomitmen melindungi anak, perempuan dan kaum marjinal bernar-benar terwujud,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Lingkungan Ramah Anak (LRA) KPP-PA RI, Ani Martanti berharap setelah kampanye Gerakan Bersama STOP Perkawinan Anak ini adanya angka penurunan perkawinan anak di Bangka Belitung.
“Kita berharap bukan hanya menurunkan angka perkawinan anak ini tapi nanti akan nol persen penurunan angka ini,” jelasnya.
Ani menyebutkan dimana Provinsi Bangka Belitung ini memiliki Perda Nomor 98 Tahun 2016 yakni mengamanahkan agar melindungi anak-anak dari perkawinan dini dan melindungi hak-hak anak. Tentu ini bisa dilaksanakan untuk mengikat semua Kabupaten/Kota untuk menurunkan angka perkawinan anak.
“Nantinya untuk di Kabupaten/Kota kita berharap bukan hanya melakukan sosialisasi saja tapi bagaimana harus bia membuat mekanismenya, aksesnya ketika memang terjadinya perkawinan anak ini, serta jangan sampai anak-anak dibiarkan untuk mencari jalan keluar sendiri,” terangnya.
“Kami juga berharap agar provinsi, kabupaten/kota bisa menyelesaikan akar permasalahan dari penyebab perkawinan anak, karena provinsi adalah perpanjangan tangan perwakilan dari pemerintah pusat,” lanjut Ani.
Ani menambahkan secara nasional untuk kondisi pernikahan anak ini dimana di rata-rata nasional minimal 25,7 persen.
“Kita berharap setiap tahun adanya penurunan bahkan bila perlu mencapai nol persen. Bahkan kita inginkan di tahun 2030 kita berharap Indonesia ini menjadi Indonesia yang layak anak,” tutupnya. (Wa)