Quo Vadis “Fair Play” Pertimahan?

Oleh: Agus Ismunarno
Pengamat tentang Babel

SEMULA saya bersama Ebiet G. Ade akan bertanya pada rumput yang bergoyang karena “keanehan-keanehan” yang terjadi selama saya melakukan kegiatan jurnalistik di Kepulauan Bangka Belitung sejak April 1999 hingga sekarang. Namun, lebih bermakna ketika seribu pertanyaan itu dilempar ke forum publicum agar lebih menggugat jatidiri “kebabelan” kita ketimbang “kebebalan” kita.

Pengalaman jurnalistik di Yogyakarta, Semarang 1991-1993, Timor Timur tahun 1993-1995, Kalimantan Selatan 1995-1997, Daerah Istimewa Aceh 1997-1999 dikesankan teman-teman jurnalis sebagai pengalaman hebat. Namun bagi saya, pengalaman terhebat adalah pengalaman jurnalistik di Negeri Serumpun Sebalai, Negeri Laskar Pelangi ini.

Sebagai jurnalis, bertanya dan bertanya adalah cara mencari kebenaran informasi; dan itu tidak bisa dibungkam. Pertanyaan eksistensial yang selalu menggelitik adalah bagaimana sejatinya Kepulauan Babel ini dikelola? Bagaimanakah timah, sumber daya alam yang melimpah itu dikelola? Dan di seberang sana kita bertanya; dimanakah posisi rakyat?

Manakala tanggal 2 Agustus 2018 PT Timah akan berulang tahun, selain mengucapkan Dirgahayu atas kinerja dan berbagai prestasi PT Timah, pertanyaan menggelitik dan mendasar adalah ketika memelototi data Ekspor Logam Timah Indonesia.

Kenapa pada periode Januari-April 2017, PT Timah HANYA mengekspor 8.910 MT, sedangkan Smelter Swasta (30 IUP yang dikeluarkan daerah) 15.406 MT. Pada periode Januari-April 2018, PT Timah mengekspor 3.885 MT dan Smelter Swasta mengekspor HANYA 17.397 MT.

Pertanyaan berikutnya adalah: Bagaimana hal itu mungkin terjadi? Bukankah PT Timah adalah pemilik area dengan Potensi Sumberdaya timah terbesar (> 90%)? Ternyata ada data akurat yang menyatakan terdapat 65% aktifitas ilegal mining.

Pertanyaan bisa dilanjutkan: bagaimana mungkin tercipta kompetisi yang sehat kalau terjadi unfair play? Apakah aktivitas ilegal mining itu sudah dilaporkan ke pihak berwajib? Dan bagaimana pihak berwajib meresponnya? Kemudian kalau itu pertambangan ilegal, siapakah yang bertanggung-jawab terhadap reklamasi?

Transparansi PT Timah melalui berbagai media sosial maupun media mainstraim menghasilkan berbagai informasi yang menyatakan PT Timah melakukan Siklus Proses Bisnis Timah: Dari Izin Usaha, Eksplorasi, Sumberdaya dan Studi Kelayakan untuk tentukan Cadangan, Dokumen (Amdal, RPT, Jamrek, SMK3 dll, Operasi, Pengolahan, Peleburan, Ekspor dan Reklamasi. Apakah pengusaha timah lainnya melakukan siklus proses bisnis timah yang sama?

Selain melakukan siklus proses bisnis timah, PT Timah masih memenuhi berbagai kewajiban seperti menggelontorkan dana corporate social responsibility (CSR), membina UMKM, turut melakukan transformasi ke sektor pariwisata, perkebunan dan melakukan reklamasi produktif.

Apakah pengusaha timah swasta lainnya melakukan aksi yang sama dengan kwantitas DUA hingga EMPAT kali PT Timah? Kalau aksi CSR itu dilaksanakan dua hingga empat kali PT Timah sejatinya pula tetesan timah itu bermakna dan signifikan buat masyarakat.

Pada suatu ketika saya bertanya kepada WKU Kadin Babel Bidang Pertambangan, Muhammad Fitriyansah tentang kewajiban reklamasi para penambang? Dijawab oleh Fitriyansah, “Kan ada regulatornya di ESDM Provinsi. Ketika penambang yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya ya RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya)nya ya jangan disetujui. Jadi reklamasi dulu.”

Secara prosedural berdasarkan Permen ESDM No. 11 Tahun 2018 diatur Tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, & Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral & Batubara, Komitmen perusahaan tambang pada negara Penyusunan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Biaya) Evaluasi kinerja tahun sebelumnya dan forecast capaian tahun depan.

Sejatinya, “Jika RKAB tidak disahkan maka pengusaha tambang tidak dapat beroperasi termasuk menjual hasil”. Pertanyaan lanjutannya adalah bagaimana mengenai penambangan ilegal? Siapa yang menikmati timahnya dan siapa yang berkewajiban mereklamasinya?

Akankah pertanyaan-pertanyaan ini berlalu bersama goyangan rumput, ataukah menjadi pertanyaan masif sehingga terjadi proses konsientisasi serta kompetisi yang fairplay sehingga rakyat mendapat berkahnya. Dan dimanakah sinergi duduk satu meja berunding secara damai dan elegan untuk masa depan bersama mengenai tata kelola pertimahan timah demi berkah untuk rakyat ini? Marilah kita sudahi “pembiaran” ini dan berbicara lebih adil soal sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk masa depan bersama. Semoga!