Hari Perempuan Internasional 2018: Momentum Wujudkan Kesetaraan Gender 

Ilustrasi Hari Perempuan Internasional | Istimewa

KOMISI Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengharapkan Hari Perempuan Internasional yang diperingati setiap 8 Maret dijadikan momentum wujudkan kesetaraan gender.

“Hari Perempuan Internasional kali ini bertepatan dengan 20 tahun reformasi bangsa Indonesia, sehingga kita harus merefleksikan apa-apa saja yang sudah dicapai dalam bidang kesetaraan gender,” kata Ketua Komnas Perempuan, Azriana R Manalu, di Jakarta, Kamis (8/3), dilansir dari laman Antaranews.com.

Menurutnya, ada beberapa hal positif yang telah dicapai Indonesia dalam hal kesetaraan gender, di antaranya terbitnya Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum.

Azriana mengatakan, dalam menghadapi kasus perempuan sebagai korban, terpidana, atau saksi, saat ini tidak lagi dilihat hitam-putih.

Dengan keputusan MA tersebut, lanjutnya, ketika perempuan berhadapan dengan hukum, maka harus mempertimbangkan hambatan sosial dan politik yang dialaminya.

Dia menjelaskan, saat ini Komnas Perempuan menyoroti perkembangan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dinilai masih lamban, serta belum utuhnya pemahaman tentang hak perempuan sebagai korban. “RUU Penghapusan Kekerasan Seksual masih dalam tahap pembahasan di Komisi VIII DPR, mari kita kawal agar tidak terjadi pemretelan terus,” ajak dia.

Tantangan lain yang dihadapi perempuan Indonesia, lanjut dia, salah satunya adalah upaya intervensi negara masuk ke ruang privat sehingga ada orang yang dikriminalkan.

Jumlah Korban Melapor Tinggi

Dalam catatan tahunannya, Komnas Perempuan menyoroti bentuk-bentuk kekerasan ‘baru’ karena dinilai sebagai peningkatan dari berbagai tindak kekerasan terhadap perempuan yang banyak terjadi selama ini.

Dikutip dari laman BBC.Com, Komnas Perempuan mencatat ada 348.446 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani selama 2017. Jumlah tersebut meningkat bila dibandingkan dengan yang terjadi pada 2016 dimana tercatat sekitar 259.150 kasus kekerasan.

Namun, menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, data ini tidak bisa semata dilihat sebagai adanya peningkatan jumlah kekerasan, melainkan sebagai peningkatan dalam hal pelaporan dan semakin banyaknya korban yang berani melapor atas berbagai kekerasan yang terjadi.

Salah satu yang menonjol atau menjadi sorotan khusus adalah munculnya inses (incest: seks dengan orang tua atau keluarga kandung) sebagai bentuk kekerasan tersendiri yang dilaporkan, dan pelakunya adalah ayah atau paman.

Menurut Komnas Perempuan, pada tahun 2017 terdapat angka kekerasan terhadap anak perempuan yang lebih tinggi dibanding 2016, yaitu sebanyak 2.227 kasus (sedangkan tahun 2016, yaitu 1.799 kasus), dan dari kasus kekerasan itu, ada 1.200 kasus incest yang dilaporkan.

Sepanjang 2017, ada lebih dari 5.000 kasus kekerasan terhadap istri yang dilaporkan ke lembaga pemerintah seperti polisi atau ke lembaga penyedia layanan seperti rumah sakit. Selain itu, ada lebih dari 2.000 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan.

Dalam kasus-kasus inses, gambaran pelaku berdasarkan urutan terbanyak termasuk ayah kandung (425 orang), paman (322), ayah tiri (205), kakak kandung (89), dan kakek kandung (58), sementara jumlah terbanyak pelaku seksual di ranah privat, paling banyak dilakukan oleh pacar (1.528 orang) dan suami (192).

“Sebetulnya, incest itu kan keluar (muncul dalam laporan) karena data. Data itu datangnya dari masyarakat yang melaporkan, nah itu yang membuat kami bisa tahu bahwa sekarang masyarakat itu bisa melaporkan hal yang selama ini dianggap tabu. Artinya, ini masalah yang serius, karena masyarakat sudah berani melapor, bagaimana dengan negara,” ujar Mariana.

Di sisi lain, keberanian masyarakat untuk melapor ini juga menunjukkan bahwa masyarakat “merasa aman, percaya, pada lembaga-lembaga penerima pengaduan itu”. “Jadi sebenarnya negara sudah bisa berfungsi untuk menerima pengaduan, sekarang persoalannya adalah, bagaimana negara menangani dan mengatasi masalah itu,” tambahnya.

Modifikasi KDRT

Komnas Perempuan juga menyoroti kasus Dokter Letty yang tewas akibat penembakan yang dilakukan suaminya sendiri sebagai suatu bentuk femisida atau pembunuhan terhadap perempuan.

Selain itu, kasus disfigurasi atau mutilasi menjadi salah satu bentuk kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi sepanjang 2017, dan menurut Komisioner Komnas Perempuan Adriana Venny, menjadi “modifikasi jenis kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)”.

Sepanjang 2017, Komnas Perempuan juga mencatat adanya 65 kasus kekerasan terhadap perempuan di dunia maya. Pelakunya mulai dari pacar, mantan pacar, dan suami, selain juga kolega, sopir transportasi online dan pelaku anonim, bahkan sampai warga negara asing, sehingga mereka menyebutnya “kejahatan transnasional yang membutuhkan perhatian khusus pemerintah”.

Secara khusus Komnas Perempuan juga mencatat bahwa ada “kejahatan cyber dengan korban perempuan seringkali berhubungan dengan tubuh perempuan yang dijadikan objek pornografi”.

“Salah satu bentuk kejahatan cyber yang paling sering dilaporkan adalah penyebaran foto atau video pribadi di media sosial dan atau website pornografi. Kasus ini biasanya menghebohkan publik sehingga menambah beban psikis bagi korban,” jelas Mariana Amiruddin.

Editor: Stefanus H. Lopis