Oleh: Agus Ismunarno
- Hari Pers Nasional 2018
SERANGAN internet yang mematikan media cetak tidak sepenuhnya benar. Jaman digital pun tidak begitu saja menggilas media cetak.
Ketua Umum Serikat Perusahaan Pers (SPS), Dahlan Iskan dalam Hari Pers Nasional 2018, bahkan merasa berkepentingan untuk menanyakan langsung kepada Dewan Pimpinan Daerah SPS se Indonesia; bagaimana sejatinya kondisi media online dan media cetak.
Bahwa bisnis media cetak melambat ya, namun pula tidak serta merta digantikan online. Yang harus disadari adalah bahwa media cetak, televisi dan online hanyalah flatform.
Yang terpenting dari semua itu adalah jurnalisme tak akan pernah mati. Maka sejatinya, yang sedang berlangsung sekarang ini adalah kompetisi kualitas jurnalisme.
Kualitas jurnalisme yang optimum dan teruji akan terus dibaca; apapun mediumnya.
Di Amerika Serikat dan Kanada ada sejumlah kriteria atau nilai sebuah karya jurnalisme: berkualitas dan ulung.
Pada gagasan jurnalisme: ukurannya pada apakah punya nilai signifikan bagi reporter dan pembaca untuk mendalami ide tersebut, layak berita, aktual, idenya orisinal dan kreatif, selain segar dan punya nilai inisiatif.
Dalam peliputan, karya jurnalisme hendaknya mendalam sekaligus meluas, mampu menempatkan konteks dan latar belakang, akurat, verifikatif komprehensif, sumber-sumbernya relevan baik resmi maupun orang biasa, menggambarkan secara detail yang mampu menggerakkan pembaca, menjawab rasa ingin tahu pembaca, selain menghibur dan menyimpan upaya gigih.
Dalam penulisan jurnalisme, yang dinilai adalah bahasa, gaya, suara, dan mood bisa secara tepat menempatkan konteks, dapat dipercaya, pembukaan menarik, jernih, fokusnya kuat, struktur dan menyusun kisah apik, menaruh kutipan atau anekdot secara efektif, narasi dan deskripsinya kuat, setia dengan akurasi, kreatif alias berani menghindari klise, plus mampu menarik pembaca dari awal sampai akhir.
Untuk menghasilkan jurnalisme yang baik ada dua pendekatan; wartawan harus dididik buat berpikir media digital.
Jurnalisme memerlukan revolusi besar komunikasi. Peranan media sebagai penjaga pagar masyarakat sudah runtuh. Kasarnya, sekarang setiap orang bisa jadi produsen informasi lewat Twitter, Facebook, WhatsApp, blog, video dan sebagainya. Pemerintah Indonesia –maupun pemerintah lain di seluruh dunia—pusing lihat hoax dan berita palsu.
Pemerintah yang baik dan benar harus berani melakukan investasi pada jurnalisme. Bukan sebaliknya. Mengapa? Karena jurnalisme diperlukan dalam demokrasi.
Kovach dan Rosenstiel mengatakan bila kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme runtuh maka demokrasi juga runtuh. Sebaliknya, makin bermutu jurnalisme dalam masyarakat, makin bermutu pula masyarakat tersebut.
Kovach dan Rosenstiel meyebutnya sebagai authenticator; sense maker; investigator; saksi mata; empowerer; smart aggregator; forum organizer dan menjadi role model.
10 Elemen Jurnalisme
Bill Kovach dan Tom Rosenstiel (2001), dalam bukunya The Elements of Journalism, What Newspeople Should Know and the Public Should Expect (New York: Crown Publishers), merumuskan prinsip-prinsip itu dalam Sembilan Elemen Jurnalisme. Kesembilan elemen tersebut adalah:
1. Kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran Kewajiban para jurnalis adalah menyampaikan kebenaran, sehingga masyarakat bisa memperoleh informasi yang mereka butuhkan untuk berdaulat. Bentuk “kebenaran jurnalistik” yang ingin dicapai ini bukan sekadar akurasi, namun merupakan bentuk kebenaran yang praktis dan fungsional.
2. Loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada warga (citizens) Organisasi pemberitaan dituntut melayani berbagai kepentingan konstituennya: lembaga komunitas, kelompok kepentingan lokal, perusahaan induk, pemilik saham, pengiklan, dan banyak kepentingan lain. Semua itu harus dipertimbangkan oleh organisasi pemberitaan yang sukses. Namun, kesetiaan pertama harus diberikan kepada warga (citizens). Ini adalah implikasi dari perjanjian dengan publik. Komitmen kepada warga bukanlah egoisme profesional. Kesetiaan pada warga ini adalah makna dari independensi jurnalistik. Independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali kesetiaan terhadap kepentingan publik.
3. Esensi jurnalisme adalah disiplin verifikasi Yang membedakan antara jurnalisme dengan hiburan (entertainment), propaganda, fiksi, atau seni, adalah disiplin verifikasi. Hiburan –dan saudara sepupunya “infotainment”— berfokus pada apa yang paling bisa memancing perhatian. Propaganda akan menyeleksi fakta atau merekayasa fakta, demi tujuan sebenarnya, yaitu persuasi dan manipulasi. Sedangkan jurnalisme berfokus utama pada apa yang terjadi, seperti apa adanya.
4. Jurnalis harus tetap independen dari pihak yang mereka liput Jurnalis harus tetap independen dari faksi-faksi. Independensi semangat dan pikiran harus dijaga wartawan yang bekerja di ranah opini, kritik, dan komentar. Jadi, yang harus lebih dipentingkan adalah independensi, bukan netralitas. Jurnalis yang menulis tajuk rencana atau opini, tidak bersikap netral. Namun, ia harus independen, dan kredibilitasnya terletak pada dedikasinya pada akurasi, verifikasi, kepentingan publik yang lebih besar, dan hasrat untuk memberi informasi.
5. Jurnalis harus melayani sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan Jurnalis harus bertindak sebagai pemantau independen terhadap kekuasaan. Wartawan tak sekedar memantau pemerintahan, tetapi semua lembaga kuat di masyarakat. Pers percaya dapat mengawasi dan mendorong para pemimpin agar mereka tidak melakukan hal-hal buruk, yaitu hal-hal yang tidak boleh mereka lakukan sebagai pejabat publik atau pihak yang menangani urusan publik. Jurnalis juga mengangkat suara pihak-pihak yang lemah, yang tak mampu bersuara sendiri.
6. Jurnalisme harus menyediakan forum bagi kritik maupun komentar dari publik Apapun media yang digunakan, jurnalisme haruslah berfungsi menciptakan forum di mana publik diingatkan pada masalah-masalah yang benar-benar penting, sehingga mendorong warga untuk membuat penilaian dan mengambil sikap. Maka, jurnalisme harus menyediakan sebuah forum untuk kritik dan kompromi publik.
7. Jurnalisme harus berupaya membuat hal yang penting itu menarik dan relevan Tugas jurnalis adalah menemukan cara untuk membuat hal-hal yang penting menjadi menarik dan relevan untuk dibaca, didengar atau ditonton. Untuk setiap naskah berita, jurnalis harus menemukan campuran yang tepat antara yang kurang serius dan yang kurang-serius, dalam pemberitaan hari mana pun.
8. Jurnalis harus menjaga agar beritanya komprehensif dan proporsional Jurnalisme itu seperti pembuatan peta modern. Ia menciptakan peta navigasi bagi warga untuk berlayar di dalam masyarakat. Maka jurnalis juga harus menjadikan berita yang dibuatnya proporsional dan komprehensif.
9. Jurnalis memiliki kewajiban untuk mengikuti suara nurani mereka Setiap jurnalis, dari redaksi hingga dewan direksi, harus memiliki rasa etika dan tanggung jawab personal, atau sebuah panduan moral. Terlebih lagi, mereka punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan membiarkan yang lain melakukan hal yang serupa.
10. Warga juga memiliki hak dan tanggung jawab dalam hal-hal yang terkait dengan berita. Elemen terbaru ini muncul dengan perkembangan teknologi informasi, khususnya internet. Warga bukan lagi sekadar konsumen pasif dari media, tetapi mereka juga menciptakan media sendiri. Ini terlihat dari munculnya blog, jurnalisme online, jurnalisme warga (citizen journalism), jurnalisme komunitas (community journalism) dan media alternatif.
Warga dapat menyumbangkan pemikiran, opini, berita, dan sebagainya, dan dengan demikian juga mendorong perkembangan jurnalisme.Semoga!