GETAR WISATA :Yo Kite ‘Hajar’ Perusak Aset Wisata Babel

Oleh: Agus Ismunarno

DUNIA Pariwisata di Kepulauan Bangka Belitung kembali berduka. Danau Kaolin Dwi Warna Hijau dan Biru yang terletak di Desa Nibung, Koba “dihajar” alat berat pertambangan illegal. Perilaku penambangan yang sangat brutal itu dalam sekejap akan membuat Camui Aek Biru menjadi Camui Aek Butek.

Pecinta keindahan wisata nasional dan mancanegara telah menobatkannya sebagai destinasi wisata pilihan dan sangat memuji keindahan danau yang bagai “Bunga Teratai” di kubangan bekas pertambangan. Danau indah yang dikenal sebagai Camui Aek Biru itu bagai pemandangan mirip di Islandia.

H. Prima H Sutiyono, seorang traveler pernah memposting foto dirinya mengenakan jaket berlatar danau biru tersebut seolah berada di wilayah bersalju. Sontak postingannya langsung viral di medsos.

Melalui facebooknya tiga tahun lalu, Prima mengungkapkan kekagumannya, “Ini bukan di Iceland atau belahan dunia yang memiliki salju. Ini masih di Indonesia, di Pulau Bangka, tepatnya di Desa Air Bara, perbatasan Kabupaten Bangka Tengah dan Selatan.”

Pinggiran Danau Kaolin tampak berwarna putih dan tampak seperti hamparan salju. Ia menegaskan dalam facebooknya, foto-foto yang diunggah adalah tanpa editan sama sekali.

Prima kembali memuji, “Saat melihat foto-foto di socmed, saya pikir tempat sebagus ini hanyalah efek kamera atau hasil editan sehingga terlihat jadi indah. Setelah didatangi, Kaolin memang benar-benar indah. Airnya biru jernih, tanah/pasir di sekelilingnya putih terlihat seperti hamparan salju.” .
Prima dan pecinta keindahan Camui Aek Biru tentu sangat geram manakala keindahan destinasi wisata itu dirusak oleh tangan-tangan tak bertanggungjawab. Bersyukurlah kita memiliki Bupati Bangka Tengah Ibnu Saleh yang mewakili kegeraman dan kemurkaan kita serta “menghukum” pelakunya.
Ibnu menegaskan, “Untuk aktivitas alat berat itu akan kita sikat, akan kami tindak tegas. Kita tidak main-main dan akan kami tangkap kemudian kami serahkan kepada pihak kepolisian untuk diproses.”
***
SITUS KOTA KAPUR juga dijarah para penambang illegal dan menuju kehancurannya. Rekaman sejarah peradaban itu dijarah oleh penambang yang tidak beradab.
Area seluas 154.045 itu merupakan Kawasan Cagar Budaya karena terdapat Benteng Tanah Kota Kapur, Struktur Bangunan Candi, Anak Sungai dan temuan perahu kuno, lokasi penemuan artefak, lokasi bekas hunian masa lalu dan lingkungan yang berperan dalam aktivitas masa lalu.
Erwin Djali melalui grup-grup WA mengekspresikan kegeramannya terhadap ulah para pelaku destruktif yang sangat mengancam aset wisata dan sejarah. Bahkan Erwin Djali tak henti-hentinya menshare UU Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yang akan mengganjar pelaku perusakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun (pasal 66 ayat 1) dan/atau denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp5.000.000.000,00(lima miliar rupiah.
Selain perusakan Danau Biru dan Situs Kota Kapur, Pesisir Pantai di Sungailiat juga tak luput dari gerusan penambangan pasir yang mengabrasi pantai hingga 150 meter. Bukan saja merusak konfigurasi pantai, pengerukan pasir tersebut sangat mengancam keindahan kontur pantai.
Penambang timah di Danau Biru, Situs Kota Kapur dan di berbagai potensi destinasi wisata lain yang mungkin belum terekspose media merupakan musuh kita bersama. Para penambang destruktif itu bukan hanya musuh masyarakat pariwisata tetapi juga musuh PT Timah Tbk dan musuh para penambang yang memiliki Standard Operational Procedure (SOP).
Perilaku destruktif itu juga mengacaukan proses transformasi ekonomi gradual yang sedang dilakukan oleh para pemangku kepentingan dari penambangan ke salah satunya pariwisata. Benar bahwa 45 persen Babel masih ketergantungan pada penambangan timah, namun mindset kita sekarang adalah very good mining yang pro pariwisata; sebuah konsep yang kelihatannya paradoksal, namun sejatinya bisa dikompromikan, bisa dikawinkan dengan kearifan dan ketegasan.
“Kita kecolongan soal Situs Kota Kapur. Kami sedang konsentrasi dan fokus pada Muntok Heritage, tahu-tahu Situs Kota Kapur dijarah. Kita segera amankan aset-aset sejarah dan wisata kita,” tegas Gubernur Dr H Erzaldi Rosman MM saat menanggapi LASPELA Group dalam dialog silaturahmi Gubernur dengan Pimpinan Media Massa di Babel, Desember lalu.
Rekaman sejarah peradaban masa lalu akan rusak, hancur manakala lapisan tanah yang membungkus situs dan artefaknya diperlakukan dengan kasar. Dan rekaman masa lalu itu adalah kejayaan Sriwijaya yang sekarang ini situsnya sedang diobrak-abrik oleh penambang inkonvensional.

***
LAST BUT NOT LEAST. Kita wajib tegas melawan mereka yang mengotori komitmen Negeri Laskar Pelangi dan mengotori peradaban. Perlawanan Gubernur Erzaldi dan Bupati Ibnu Saleh sejatinya adalah perlawanan Kapolda, Danrem, Danlanal serta jajarannya di tingkat Desa, Para Camat, Kepala Desa terhadap pelaku destruktif.
Pembiaran terhadap perusak aset wisata dan sejarah sejatinya melukai negara. Kalau perusakan terhadap aset wisata dan sejarah terus terjadi, masyarakat akan menilai bahwa negara yang berwajah Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kota/Kabupaten, Polda dan Korem TIDAK HADIR.
Dan kita yakin se yakin-yakinnya bahwa Gubernur, Kapolda, Danrem, Danlanal, Walikota dan Para Bupati serta Para Anggota DPRD yang memiliki mata dan telinga hingga tingkat desa bisa membuat deklarasi bersama “LAWAN Perusak Aset Wisata dan Sejarah!”
Junus Satrio Atmodjo, Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia menyadarkan kita semua, betapa para pelaku destruktif terhadap aset wisata dan sejarah itu sangat bertentangan dengan para pecinta dan ahli sejarah serta arkeolog yang mengungkapkan, “Perlakuan sembarangan terhadap lapisan tanah itu akan menyebabkan rusaknya “rekaman masa lalu” (baca; Situs). Oleh karena itu arkeolog yang melakukan ekskavasi akan bekerja sangat hati-hati ketika mulai mengamati rekaman itu. Cangkul, linggis, atau sekop tidak digunakan dalam ekskavasi. Sebagai gantinya arkeolog memilih cetok, kuas, atau kayu-kayu pipih yang dipakai untuk ‘menggaruk’ tanah secara perlahan-lahan”
Mari kita lawan perusak aset wisata dan sejarah. Semoga!