JAKARTA, LASPELA – Perbaikan tata niaga timah menjadi perhatian serius dalam Focus Group Discussion (FGD) Tata Niaga Ekspor Timah di Jakarta, Selasa (13/2/2018). Untuk mewujudkan adanya perbaikan tata niaga ini, peserta FGD merekomendasikan perlu perbaikan atas kebijakan penerapan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 32/M-DAG/PER/6/2013.
Perbaikan atas kebijakan penerapan Permendag tersebut bertujuan agar biaya perdagangan timah menjadi lebih efisien dari segi harga dan rantai perdagangan. Perdagangan logam timah produksi PT Timah Tbk selama ini melalui Bursa Komoditas dan Derivatif Indonesia, ini menarik untuk dikaji ulang.
Hal tersebut dikarenakan PT Timah Tbk dan Indometal London Ltd sejak tahun 2013 sampai semester pertama tahun 2017 menanggung biaya tambahan sebesar minimal Rp 113,21 miliar dalam mengikuti aturan perdagangan untuk eskpor melalui Bursa Komoditi dan Derivatif Indonesia (BKDI) atau yang biasa dikenal Indonesia Commodity and Derivaties Exchange (ICDX).
“Royalti tiga persen tak ideal lagi untuk waktu sekarang. Untuk itu, selain menekankan manfaat kelola tata niaga timah, ini memberikan nilai tambah lain sebagai pendapatan bagi pemerintah provinsi. Kalau strateginya baik, pasti berimbas pada pertumbuhan ekonomi masyarakat,” terang Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman.
Pertemuan ini menyimpulkan perlunya perbaikan tata niaga timah ini agar menjadikan Indonesia sebagai penentu harga timah dunia tercapai. Tujuannya agar nilai tambah dari tambang logam timah menjadi meningkat.
Apalagi pengaruh adanya Permendag No 32 tahun 2013 ini terhadap PT Timah Tbk, telah menyebabkan perusahaan plat merah ini tidak bisa menjual langsung kepada pelanggan. Sementara harga ekspor timah tetap menggunakan acuan harga LME. Selain itu PT Timah juga menanggung biaya tambahan minimal Rp113,2 miliar.
Selama lima tahun terakhir, China justru mendominasi produksi timah dunia. Sementara Indonesia berada di urutan kedua yang selanjutnya diikuti Malaysia dan Thailand. Bahkan dalam data disebutkan produksi timah China bisa dua kali lipat lebih besar dari produksi timah Indonesia.
Tahun 2012 produksi timah China mencapai 152.000 ton, sedangkan Indonesia hanya 52.300 ton. Untuk tahun 2013, China diangka 158.100 ton sedangkan Indonesia hanya 54.800 ton. Pada tahun 2014, China bisa memproduksi hingga 175.000 ton sedangkan Indonesia hanya 69.800 ton.
Sementara di tahun 2015 negeri China mampu produksi 159.000 ton, sementara Indonesia tetap di posisi kedua dengan produksi 67.400 ton. Untuk tahun 2016, Indonesia hanya 66.900 ton, sementara China hampir tiga kali lipat mencapai 165.000 ton.
FGD Tata Niaga Eskpor Timah ini juga mengemukakan bahwa selama menjalankan Permendag No 32 Tahun 2013, beberapa kondisi dialami PT Timah, yakni harga timah yang anjlok dan tidak ada perlindungan terhadap cadangan timah di kawasan IUP PT Timah Tbk.
Melihat kondisi ini, FGD Tata Niaga Ekspor Timah merekomendasikan perlu adanya kajian ulang terhadap Permedag no 32 tahun 2013 dan juga keberadaan ICDX. Gubernur menegaskan, peran ICDX sangat kurang dirasakan. Diharapkan tata niaga timah ke depan ada nilai tambah bagi masyarakat baik langsung maupun tidak langsung.
“Kehadiran ICDX harus dapat memberikan nilai tambah bagi daerah. Tidak saja pendapatan langsung, tetapi harus berdampak kepada pertumbuhan ekonomi masyarakat yang selama ini sangat kurang sekali,” tegasnya.
FGD kali ini diikuti Gubernur Kepulauan Bangka Belitung Erzaldi Rosman, BPK RI, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Kepala Badan Pengawas Perdagangan Berjangka dan Komiditi serta Diektur Utama PT Timah Tbk M Riza Fahlevi.(Rill/BMS)