Calon Tunggal dan Reduksi Demokrasi

Syafri Hariansah (dok. pribadi)

Oleh: Syafri Hariansah

PhD Student Department Legal Studies
Constitutional Law Democracy and Human Rights
University of Ankara, Turkey

SALAH satu kesepakatan penting pasca deklarasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tahun 1945 adalah kesepakatan menjadikan Pancasila sebagai dasar dan ideology negara. Pancasila memiliki kedudukan sangat fundamental sebagai dasar dari penyelenggaraan kehidupan bernegara.

Konsensus ini kemudian secara yuridis tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) aline ke 4. Negara hukum Pancasila demokratis identik dengan penyelenggaraan negara yang berdasarkan kelima prinsip penting yakni ketuhanan (God), kemanusiaan (Justice and civilized humanity) persatuan (unity), demokrasi (democracy) dan keadilan sosial (social Justice). Atau dengan kata lain secara filosofis Negara hukum Pancasila demokratis (Pancasila Democratische rechtsstaat) menekankan pada keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas kerukunan.

Dalam konteks penyelenggaraan negara, sila keempat memiliki dasar filosofis yang sangat kuat dan mengakar. Prinsip “kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan” mengandung arti bahwa dalam proses penyelenggaraan negara harus, mengedepankan prinsip bermusyawarah untuk mufakat melalui wakil-wakilnya dan badan-badan perwakilan dalam memperjuangkan mandat rakyat.

Amanah sila ke empat ini kemudian diimplementasikan melalui mekanisme pemilihan umum. Pemilihan umum sendiri merepresentasikan beberapa hal penting seperti adanya kompetisi di dalam memperebutkan dan mempertahankan kekuasaan, partisipasi masyarakat serta adanya jaminan hak-hak sipil dan politik.

Peluang partisipasi masyarakat menjadi lebih besar setelah diakomodirnya tuntutan akan penyelenggaraan pemerintahan daerah yang bersih, akuntabel dan transparan setelah perubahan konstitusi yang kedua. Perubahan ini menjadi progresivitas ketatanegaraan terbesar sekaligus menjadi momentum perwujudan politik di tingkat lokal.

Keinginan ini secara konstitusional diakomodir dalam Bab VI tentang pemerintahan daerah pasal 18 ayat (1)-(7). Dalam ketentuan yang sama, secara eksplisit dalam pasal 18 ayat (4) konstitusi menyatakan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi kabupaten dan kota dipilih secara demokratis. Namun dalam perjalanannya, dinamika politik memberikan warna tersendiri dalam kontestasi pemilu di Indonesia. Salah satunya adalah dengan lahirnya calon tunggal di beberapa daerah pemilihan di Indonesia.

Statistik mencatat, pada tahun 2016, ada 8 daerah pemilihan yang hanya diikuti oleh satu pasang calon saja. Persoalan yang sama terus berlanjut pada pelaksanaan pilkada serentak yang dilaksanakan pada tahun 2017. Dari data yang dipublish oleh KPU RI, setidaknya ada 9 daerah yang hanya akan diikuti oleh satu calon saja (calon tunggal).  Persoalan ini kemudian menjadi realitas pemilihan umum di tingkat lokal sekaligus menjadi ancaman serius demokrasi di Indonesia.

Persoalan calon tunggal sempat semakin meruncing ketika dari sisi normatif tidak ada aturan yang mengatur tentang pilkada dengan calon tunggal, hingga pada ahkirnya kepastian hukum dapat terpenuhi melalui keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tertuang dalam putusan perkara Nomor 100/PUU-XIII/2015 tertanggal 29 September 2015.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan mengabulkan sebagian permohonan Pemohon dan menyatakan Pasal 49 ayat (9), Pasal 50 ayat (9),  Pasal 51 ayat (2), 52 ayat (2), Undang-undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai mencakup pengertian; “termasuk menetapkan 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur peserta Pemilihan dalam hal setelah jangka waktu 3 (tiga) hari dimaksud terlampaui namun tetap hanya ada 1 (satu) pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur”.

Mahkamah memandang, hak untuk dipilh dan memilih tidak boleh tersandera aturan paling sedikit dua paslon (pasangan calon) dengan demikian Mahkamah memutuskan bahwa Pemilihan harus tetap dilaksanakan meski hanya ada satu paslon.

Menakar Penyebab Calon Tunggal

Persoalan penting dari sisi akademis yang perlu dianalisis adalah faktor yang menyebabkan terjadinya fenomena calon tunggal itu sendiri. Setidaknya ada beberapa faktor yang menyebabkan pilkada dengan calon tunggal.

Pertama faktor keinginan (will factor) yang muncul secara personal. Bahwasanya setiap orang secara subjektif memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Dalam perspektif ini, tentu saja secara hak seseorang dibenarkan untuk menolak dicalonkan sebagai calon dalam pilkada, atau dengan kata lain tidak dibenarkan untuk memaksa orang lain menggunakan haknya sementara orang tersebut tidak mau menggunakan haknya (coercion of will).

Kedua dari sisi partisipasi yang mengindikasikan adanya penurunan tingkat partisipasi masyarakat terhadap keinginan untuk terlibat secara langsung dalam pemerintahan. Dan ketiga keberhasilan partai politik membangun koalisi antar parpol sehingga pada akhirnya partai lain tidak dapat mengusung calon lain untuk maju di Pilkada.

 Ketiga faktor regulasi (regulation factor). Sebagaimana tertuang dalam pasal 41 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang mengisyaratkan minimal dukungan untuk calon perseorangan yang maju dalam Pilgub berkisar antara 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih (Daftar Pemilih Tetap pelaksanaan pilkada terakhir) dengan Rinciannya yaitu 10 persen untuk jumlah DPT 2 juta, 8,5 persen untuk jumlah DPT antara 2 juta-6 juta, 7,5 persen untuk jumlah DPT 6 juta-12 juta, dan 6,5 persen untuk jumlah DPT lebih dari 12 juta.

Konstruksi pasal ini tentu saja tidak berpihak pada calon perseorangan yang ingin maju dalam kontestasi pilkada. Calon perseorangan dituntut bekerja keras untuk memenuhi ketentuan pasal tesebut, kondisi ini sangat berbeda dengan calon yang didukung partai politik yang tidak perlu mengandalkan dukungan dari rakyat.

Faktanya dari 17 provinsi yang akan melangsungkan Pemilihan Gubernur pada tahun 2018 ini, ada delapan calon perseorangan yang mendaftar. Namun, dari delapan calon tersebut, hanya tiga calon yang dinyatakan diterima. Fakta ini menunjukan bahwa kehadiran hukum (aturan normatif) di masyarakat tidak mampu memberikan rasa keadilan bagi calon perseorangan.

Kehadiran calon perseorangan dalam kontestasi pilkada seharusnya dapat dipahami sebagai salah satu upaya kongkrit untuk mencegah terjadinya calon tunggal dalam pelaksanaan pilkada. Kemunculan calon perseorangan dalam pilkada perlu dipandang sebagai sebuah alternatif ketika pilkada dihadapkan dengan kondisi calon tunggal.

Oleh sebab itu, perlu adanya peyederhanaan syarat dukungan untuk calon perseorangan sebagai solusi terbaik agar kualitas pelaksanaan pilkada menjadi lebih baik dan menghindari terjadinya proses pemilihan secara aklamasi yang jelas mereduksi nilai-nilai demokrasi. Disatu sisi penyederhanaan aturan dapat memberikan rasa adil bagi setiap rakyat dan tentunya sejalan dengan tujuan hukum itu sendiri.

Keempat, tingginya mahar politik. Sejatinya persoalan calon tunggal tidak bermuara hanya pada kelemahan dari proses kaderisasi dalam sebuah partai politik saja. Faktanya, setiap partai politik memiliki mekanisme berjenjang dalam persoalan kaderisasi, sebagai bukti ada beberapa parpol yang membentuk sebuah akademi, proses pelatihan training of trainer dan lain sebagainya.

Dalam hemat saya, persoalan calon tunggal tidak dilatarbelakangi oleh persoalan kadersisasi semata, namun lebih disebabkan oleh tingginya cost politik yang timbul dalam proses pemilihan. Pemikiran ini sejatinya sejalan dengan teori Money, Mass, Military (uang, masa dan militer)  sebagai 3 komponen penting untuk memperoleh kekuasaan.