Peta Mutakhir NKRI; Ada Laut Natuna Utara

Foto bersama usai penandatanganan peta mutakhir oleh pejabat dari 21 kementerian dan lembaga terkait. (Foto: maritim)

PEMERINTAH secara resmi menetapkan pembaruan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Jumat (14/7-2017), yang didasarkan pada perkembangan hukum internasional seperti hasil putusan mahkamah arbitrase internasional atas sengketa Laut China Selatan antara Filipina dan Tiongkok. Sebelum diluncurkan, peta tersebut ditanda-tangani oleh pejabat dari 21 kementerian dan lembaga terkait.

“Ini harus dilakukan karena hasil keputusan arbitrase sengketa Laut China Selatan berdampak pada hukum laut,” ujar Deputi Bidang Kedaulatan Maritim Kemenko Kemaritiman Arif Havas di kantornya, Jakarta.

Berdasarkan keputusan arbitrase tersebut, kata Arif, batas maritim Indonesia di atas (utara) Papua Barat, tepatnya yang berbatasan dengan Palau, negara kecil di Samudra Pasifik, dibuat lebih menjorok 100 mil ke luar dan menelan wilayah maritim negara kecil tersebut.

“Kalau yang bersangkutan mau protes, silakan. Kita membuat ini berdasarkan hukum yang ditetapkan,” tegas Havas.

Selain itu, beberapa faktor penetapan peta lainnya ialah terkait dengan adanya perjanjian batas-batas laut wilayah terbaru dengan Singapura, tepatnya di bagian timur Selat Singapura, serta penetapan batas Zona Ekonomi Eksklusif dengan Filipina.

“Itu sudah disepakati, tinggal diberlakukan dalam waktu yang tidak lama lagi,” ujarnya.

Peta terbaru itu, lanjut Arif, juga memuat hasil penamaan laut sesuai data yang sudah ada dari berbagai sumber. Seperti laut di utara Natuna yang semula bernama Laut China Selatan, kini diubah menjadi Laut Natuna Utara.

“Itu memang ada landasan kontinennya. Selama ini sudah ada kegiatan minyak dan gas dengan nama Natuna Utara, Natuna Selatan dan sebagainya,” terangnya.

Menurut rencana, Kemenko Kemaritiman bersama seluruh kementerian dan lembaga terkait akan melakukan diseminasi peta terbaru tersebut secara luas.

Peta itu diharapkan langsung menjadi rujukan seluruh pemangku kepentigan pengelolaan laut Indonesia, khususnya terkait dengan penegakan hukum di laut dan pengelolaan sumber daya kelautan.

Pakar hukum internasional Hikmahanto Juwana menyatakan, peta baru itu untuk merefleksikan batas-batas maritim Indonesia yang telah disepakati dengan negara perbatasan, seperti Singapura.

Selain itu, peta ini juga untuk menegaskan posisi Indonesia atas konflik Laut China Selatan.

“Indonesia tidak mengakui klaim Tiongkok atas sembilan garis putus mengingat sudah ada putusan arbitrase internasional yang tidak mengakuinya,” tukasnya. (*/mi)

Editor: Stefanus H. Lopis