Gubernur Revitalisasi Cagar Budaya Situs Kota Kapur Jadi Destinasi Wisata Sejarah

Foto istimewa.

PANGKALAN BARU, LASPELA– Gubernur Kepulauan Bangka Belitung, Erzaldi Rosman memprakarsai pencanangan Situs Kota Kapur menjadi Situs Cagar Budaya.

“Situs Kota Kapur menjadi perhatian tokoh-tokoh seperti Pemuka Adat Emron Pangkapi dan bahkan sudah membebaskan tanah dengan cara patungan seperti yang saya simak di WA Grup PEKA (Peduli Kampung). Kalau Situs Kota Kapur ini kita canangkan menjadi Cagar Budaya, kami ingin yang mengurus dan menjaganya adalah pengurus atau umat Budha,” tandas Erzaldi pada Puncak Perayaan Dharmasanti Waisak 2561 BE ,  Kamis, 25 Mei 2017 di Ballroom Novotel.

Gubernur Erzaldi Rosman juga berjanji segera berkirim surat ke instansi terkait untuk melakukan penggalian situs purbakala yang sangat kental nilai historisnya itu. “Saya segera akan berkirim surat kepada instansi kepurbakalaan untuk melakukan penggalian. Demikian juga saya akan anggarkan untuk tahapan proses lebih lanjut,” kata Erzaldi Rosman yang didampingi isteri Ny. Melati Erzaldi Rosman.

Orang nomor satu di Negeri Serumpun Sebalai itu menginginkan nantinya Situs Kota Kapur itu tidak hanya untuk tempat ibadah melainkan juga menjadi destinasi wisata. “Kita berharap Situs Kota Kapur akan menjadi destinasi wisata, selain tempat ibadah,” harap Erzaldi Rosman.

Berbagai sumber menyebutkan Prasasti Kota Kapur adalah prasasti berupa tiang batu bersurat yang ditemukan di pesisir barat Pulau Bangka, di sebuah dusun kecil yang bernama “Kotakapur” . Tulisan pada prasasti ini ditulis dalam aksara Pallawa dan menggunakan bahasa Melayu Kuno, serta merupakan salah satu dokumen tertulis tertua berbahasa Melayu.

Prasasti Kota Kapur.

Prasasti ini dilaporkan penemuannya oleh J.K. van der Meulen pada bulan Desember 1892, dan merupakan prasasti pertama yang ditemukan mengenai Sriwijaya.Orang pertama yang menganalisis prasasti ini adalah H. Kern, seorang ahli epigrafi bangsa Belanda yang bekerja pada Bataviaasch Genootschap di Batavia.

Pada mulanya ia menganggap “Śrīwijaya” adalah nama seorang raja. George Coedes-lah yang kemudian berjasa mengungkapkan bahwa Śrīwijaya adalah nama sebuah kerajaan di Sumatera pada abad ke-7 Masehi, suatu kerajaan yang kuat dan pernah menguasai bagian barat Nusantara, Semenanjung Malaya, dan Thailand bagian selatan.

Hingga tahun 2012, prasasti Kota Kapur berada di Rijksmuseum (Museum Kerajaan) Amsterdam, negeri Belanda dengan status dipinjamkan oleh Museum Nasional Indonesia. Prasasti ini dipahatkan pada sebuah batu yang berbentuk tugu bersegi-segi dengan ukuran tinggi 177 cm, lebar 32 cm pada bagian dasar, dan 19 cm pada bagian puncak.

Prasasti Kota Kapur adalah prasasti Śrīwijaya yang pertama kali ditemukan, jauh sebelum Prasasti Kedukan Bukit yang baru ditemukan di Palembang pada tanggal 29 November 1920, dan Prasasti Talang Tuwo yang ditemukan beberapa hari sebelumnya yaitu pada tanggal 17 November 1920. Berdasarkan prasasti ini Sriwijaya diketahui telah menguasai bagian selatan Sumatera, Pulau Bangka dan Belitung hingga Lampung.

Prasasti ini juga menyebutkan bahwa Sri Jayanasa telah melancarkan ekspedisi militer untuk menghukum “Bhumi Jawa” yang tidak berbakti (tidak mau tunduk) kepada Sriwijaya. Peristiwa ini cukup bersamaan waktunya dengan perkiraan runtuhnya Taruma di Jawa bagian barat dan Holing (Kalingga) di Jawa bagian tengah.

Ada kemungkinan hal tersebut akibat serangan Sriwijaya. Sriwijaya tumbuh dan berhasil mengendalikan jalur perdagangan maritim di Selat Malaka, Selat Sunda, Laut Cina Selatan, Laut Jawa, dan Selat Karimata.

Prasasti Kota Kapur ini, beserta penemuan-penemuan arkeologi lainnya di daerah tersebut, merupakan peninggalan masa Sriwijaya dan membuka wawasan baru tentang masa-masa Hindu-Budha pada masa itu. Prasasti ini juga membuka gambaran tentang corak masyarakat yang hidup pada abad ke-6 dan abad ke-7 dengan latar belakang agama Buddha.

Penulis: Agus Ismunarno