Oleh: Agus Ismunarno – Stefanus H. Lopis
KEHADIRAN Presiden Joko Widodo ke Babel dipastikan sebagai bentuk dorongan percepatan pariwisata Bangka dan Bellitung. Disadari bahwa magnet pariwisata di Belitung dan Bangka adalah keindahan alam dan budaya. Pemerintah telah menyiapkan Belitung menjadi salah satu dari 10 destinasi wisata atau ’10 Bali Baru’.
Sepuluh destinasi wisata itu adalah Danau Toba (Sumatera Utara), Belitung (Bangka Belitung), Tanjung Lesung (Banten), Kepulauan Seribu (Jakarta), Candi Borobudur (Jawa Tengah), Gunung Bromo (Jawa Timur), Mandalika Lombok (Nusa Tenggara Barat), Pulau Komodo (Nusa Tenggara Timur), Taman Nasional Wakatobi (Sulawesi Tenggara), dan Morotai (Maluku Utara).
Bagaimana menanggapi dorongan Presiden Jokowi atas pengembangan pariwisata Bangka dan Belitung? Arief Yahya memberi saran, “Kalau membangun destinasi (wisata) itu kita pakai rumus 3 A. Yang pertama Atraksi, kedua Akses, dan nomor tiga adalah Amenitas atau fasilitas di sana.”
Menurut World Economic Forum (WEF), keindahan dan budaya kita di Indonesia selalu top 20 di dunia. Namun kelemahan Indonesia saat ini adalah soal akses. “Oleh karenanya di 10 destinasi ini kita akan sediakan infrastruktur, terutama penerbangan langsung ke destinasi ini dari mancanegara,” beber Arief.
Sedangkan Amenitas, menurut Menpar Arief, akan dibangun pihak swasta. “Kalau infrastruktur akan dibangun pemerintah dalam hal ini Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Perhubungan,” papar Arief.
Dalam perwujudan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Pariwisata Bangka, kata Arief Yahya, 300 hektare yang dikelola oleh swasta akan mendrive ekonomi pariwisata sekitarnya. Tugas pemerintah adalah menyiapkan infrastruktur seperti bandara Internasional yang langsung bisa diakses oleh wisatawan mancanegara.
Budaya 60 Persen
Wisata berbasis budaya adalah salah satu jenis kegiatan pariwisata yang menggunakan kebudayaan sebagai objeknya. Pariwisata jenis ini memiliki sedikitnya 12 unsur seperti bahasa (language), Masyarakat (traditions), kerajinan (handicraft), makanan dan kebiasaan makan (foods and eating habits), musik dan kesenian (art and music), sejarah suatu tempat (history of the region), cara Kerja dan teknologi (work and technology), dan agama (religion) yang dinyatakan dalam cerita atau sesuatu yang dapat disaksikan.
Kompromi-kompromi sering harus diambil. Di Babel, kita tak hendak menghilangkan keaslian dari suatu budaya, dan tidak akan menghilangkan substansi atau inti dari suatu karya seni. Pariwisata tidak akan merusak kebudayaan namun justru memperkuat dalam sebuah proses involusi kebudayaan (cultural involution).
Menteri Arief Yahya mengatakan, sejatinya 60 persen pariwisata adalah budaya selain keindahan alam. Jadi pelestarian budaya dan tradisi sesungguhnya sejalan dengan logika kepariwisataan.
Kekayaan Heritage
Kepala Disparbudpora Kota Pangkalpinang Akhmad Elvian mengatakan, Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Pangkalpinang memiliki beberapa heritage. “Saya menyebutnya yang pertama itu dengan tradisional indie. Jadi bangunan-bangunan heritage peninggalan pribumi Bangka itu banyak tersisa di Kampung Tua Tunu atau kampung-kampung yang masih ada di berbagai pelosok Pulau Bangka,” kata Akhmad Elvian yang juga sejarawan itu.
Di Pangkalpinang, khususnya di Tuatunu masih banyak itu tradisional indie. Kemudian ada pula masa Tionghoa bangunan-bangunan masa Tionghoa yang cukup banyak sepertii rumah tempat beribadah, pemakaman, dan banyak sekali lainnya.
Rumah saja, kata Akhmad Elvian, bermacam-macam. Ada rumah kongsi, rumah keluarga dan ada pula rumah marga. Demikian pula tempat ibadah juga begitu banyak baik pada masa kolonial, masa Inggris dan lainnya.
“Karena sangat kaya dan beragam sekali heritagenya, sangat wajar kalau Pulau Bangka menjadi salah satu destinasi heritage/sejarah. Bangunan-bangunan heritage ini perkembangan arsitekturnya sangat unik dan menarik karena merupakan perpaduan antara beragam etnik, dan beragam masa seperti Rumah Kapitan Lay Nam Sen.
“Tradisional Indie, arsitektur Tionghoas, arsitektur kolonial heritage menarik sekali mengenai bangunan, belum lagi kalau kita lari ke warisan budaya tak benda, kulltur heritagenya luar biasa sekali. Makanan banyak sekali perpaduan dari 3 etnis, kemudian pakaian, kesenian itu luar biasa sekali. Ini sebenarnya adalah sesuatu yang berpotensi local content yang luar biasa kalau bisa kita gali ya. Kembangkan dan manfaatkan untuk kepentingan pariwisata,” kata Akhmad Elvian.
Pelestarian Budaya
Mengenai pelestarian budaya baik material maupun non material , sebenarnya ada 2 faktor yang menyebabkan budaya itu lestari. “Yang pertama disebut dengan faktor prerogatif, nilai budaya atau budaya itu akan lestari karena dia mampu melestraikan dirinya sendiri ketika dia masih dijadikan sebagai pedoman, panutan kemudian dijadikan nilai dalam kehidupan masyarakat. Misalnya saya beri contoh pakaian, ada pakaian pengantin merah pakaian perempuan selama itu masih dianggap memiliki nilai; artinya dia memiliki daya prerorgatif, melestarikan dirinya sendiri,” kata Akhmad Elvian.
Yang perlu kita gali, kata Akhmad Elvian, adalah nilai makanan itu; nilai-nilai apa yang terkadung dalam makanan itu dan nilai-nilai apa yang terkandung dalam pakaian itu. Nilai apa yang terkandung dalam kesenian itu,maka nilai-nilai itu yang harus kita informasikan ke masyarakat agar mereka paham arti nilai-nilai itu.
“Budaya itu akan lestari bila ada daya progresif. Daya progresif itu mendorong agar budaya itu maju dan berkembang. Disini lah diperlukan faktor-faktor sumber daya manusia; apakah masyarakatnya, pelakunya, apakah pemerintahnya, bagaimana pelaku itu mendorong budaya itu untuk maju. Kalo cuma ditampilkan seperti ini saja sudah umum. Ditampilkan dalam bentuk festival, orang lebih menarik apalagi anak-anak, Kalau kita kan sudah tahu nilai nya anak-anak kan belum tahu, Dan dengan demikian membuat budayanya semakin eksis,” paparnya lagi.
Pelestarian budaya atau tradisi khususnya budaya Tionghoa juga mendapat tanggapan dari Bambang Patijaya yang juga Ketua PHRI Babel. Ia berharp, perayaan Cap Go Meh dilaksanakan tidak secara berlebihan dan selalu memperhatikan situasi dan kondisi setempat.
Disisi lain, usul Bambang, kemasan dalam pelaksanaan perayaan Cap Go Meh dapat dibuat semenarik mungkin sehingga dapat menjadi suatu even pariwisata.
“Selain wisata bahari, wisata budaya adalah suatu potensi yang masih harus dioptimalkan untuk dapat dijual. Saat ini pariwisata sudah menempati urutan keempat sebagai penyumbang devisa dan masih akan terus meningkat lagi,” kata Bambang.
Oleh karena itu, saran Bambang, pelestarian tradisi Imlek dan Cap Go Meh sebaiknya dilakukan dengan melibatkan unsur tokoh masyarakat Tionghoa, perkumpulan-perkumpulan sosial masyarakat Tionghoa, unsur masyarakat lainnya serta pemerintah.
“Dengan demikian pelaksanaan tradisi Imlek Cap Go Meh dapat didukung dan difasilitasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan, tentunya dalam kerangka NKRI dan semangat Kebhinekaan Tunggal Ika. Pelestarian tradisi tersebut adalah bagian dari keragaman kebudayaan di Indonesia,” tutup Bambang.