banner 728x90

Jokowi Minta Rupiah Diukur Juga Pakai Yuan

Presiden Jokowi ketika membuka Munas REI 29 November lalu. foto: Biro Pers Setpres
banner 468x60
FacebookTwitterWhatsAppLine

JAKARTA, LASPELA- Presiden Joko Widodo mengatakan, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat saat ini tidak bisa lagi dijadikan patokan untuk mengukur ekonomi Indonesia.

Jokowi seperti dikutip Kompas.com meminta masyarakat juga mengukur nilai tukar rupiah dengan mata uang negara lain, seperti yuan renminbi (China).

banner 325x300

Hal tersebut disampaikan Jokowi saat menjadi pembicara kunci dalam Sarasehan 100 Ekonom yang digelar Indef, di Jakarta, Selasa (6/12/2016) kemarin.

Jokowi mengatakan, pasca-terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat, mata uang berbagai negara termasuk Indonesia mengalami pelemahan terhadap dollar AS.

Namun, Jokowi menilai, melemahnya nilai tukar tersebut harusnya tidak menjadi kekhawatiran besar. “Menurut saya, kurs rupiah dan dollar bukan lagi tolok ukur yang tepat,” kata Jokowi.

Sebab, lanjut dia, ekspor Indonesia ke Amerika Serikat saat ini tidak begitu signifikan, hanya 10 persen. Di sisi lain, Trump dengan kebijakan “America first” akan lebih membuat AS berjalan sendiri.

“Artinya, kurs rupiah-dollar semakin tidak mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia, tetapi semakin mencerminkan kebijakan ekonomi AS yang saya sampaikan jalan sendiri tadi,” ucap Jokowi.

Harusnya, lanjut Jokowi, masyarakat dan dunia usaha mulai mengukur Indonesia dengan mitra dagang terbesarnya.

Saat ini, lanjut Jokowi, China adalah mitra dagang terbesar bagi Indonesia, dengan total ekspor mencapai 15 persen. Sementara itu, Eropa 11,4 persen dan Jepang 10,7 persen. “Kalau Tiongkok (China) terbesar ya harusnya rupiah-renminbi yang relevan,” ucap Jokowi.

Direktur Eksekutif Kebijakan Ekonomi dan Moneter Juda Agung mengelaborasi sebab-sebab fluktuasi nilai tukar itu sebagian berasal dari dinamika global.

Sementara Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan meluruskan bahwa maksud Presiden bukanlah mengganti secara radikal patokan mata uang dalam perdagangan internasional, melainkan untuk membuat pandangan lebih komprehensif atas situasi terkini.

“Coba aja lihat, GDP (gross domestic bruto) kita turun waktu mata uang melemah dari 9.000 ke 12.000 (per dolar AS). Kita tidak beranjak dari di bawah US$10.000 miliar, malah turun. Sekarang mau naikin setengah mati hanya karena mata uang. Poinnya itu. Bukan semata-mata pakai yuan,” jelas Anton.

Sumber: Kompas.com

banner 325x300
banner 728x90
Exit mobile version