JAKARTA, LASPELA- Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tjahjo Kumolo tengah berupaya untuk mempercepat pembangunan kawasan perbatasan di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pasalnya, Pengelolaan perbatasan itu tidak hanya menyangkut pemerataan dan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat, namun juga faktor pertahanan keamanan.
Tjahjo mengatakan, alasan kenapa pemerintah mempercepat pembangunan kawasan di perbatasan, salah satunya yaitu meningkatkan wajah perbatasan Indonesia jauh lebih baik dari sebelumnya, mengingat Indonesia saat ini telah berumur 71 tahun.
“Kenapa ini dipercepat ? Karena jujur pembangunan kawasan di perbatasan kita ini sangat terlambat di tengah kita sudah 71 tahun merdeka. Tahun 2017 nanti, wajah perbatasan kita harus 1000 persen jauh lebih baik dari negara tetangga,” kata Tjahjo di Jakarta, Rabu (21/9) lalu.
Sementara, hal tersebut sejalan dengan keinginan masyarakat dari wilayah Outstanding Boundary Problem (OBP) seluas 154 ribu hektar Patok B2700-B3100 Sei Simantipal-Sei Sinapad, kecamatan Lumbis Ogong, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara.
Sebelumnya, perwakilan dari 21 kepala desa dari Kabupaten Nunukan, mengadu ke istana negara dan melakukan audensi mengenai persoalan kedaulatan batas negara di pebatasan darat RI-Sabah Malaysia tersebut.
Hadir bersama sejumlah Anggota DPRD Kabupaten Nunukan dan Anggota DPRD Provinsi Kaltara, tokoh adat dan aktivis perbatasan, rombongan pun diterima oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Wandy N Tuturoong.
Perwakilan Rombongan menyampaikan kepada Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi, bahwa maksud kunjungan mereka ke Istana untuk menegaskan, seberapapun kuatnya intervensi psikis dari negeri tetangga Malaysia, rasa nasionalis warga di sana tak akan tergadai.
Salah satu perwakilan kepala desa, Philipus Aju, menjelaskan kedatangan mereka ke Istana untuk menjelaskan bahwa banyak warga setempat yang terpaksa memiliki kewarganegaraan ganda alias mempunyai KTP Indonesia dan Identity Card (IC) Malaysia. Alasan warga melakukan hal tersebut karena ingin mendapat fasilitas pengobatan.
Secara geografis, wilayah kota-kota di Malaysia seperti Keningau, Nabawan, dan Kinabalu tergolong dekat untuk dijangkau daripada berobat ke rumah sakit di kota Nunukan dan Malinau, harus ditempuh sekitar 5-6 jam perjalanan melalui sungai. Meski begitu, Aju menegaskan, rasa nasionalis warga setempat tak pernah tergadai.
“Yang kami inginkan, pemerintah dapat mendekatkan pelayanan. Baik ekonomi dan pelayanan publik. Sehingga warga kami tidak lagi mengandalkan pengobatan dan pelayanan kesejahteraan lainnya dari Malaysia,” ujar Aju (19/9).
Realisasi DOB
Selain itu, Anggota DPRD Kaltara Hermanus mengungkapkan, wilayah yang menjadi sengketa Indonesia-Malaysia seluas 154.000 Ha. Ini berada di antara Sungai Suamntipal, Sungai Sinapad, Sungai Sasai dan Patok B2700-B3100.
terdapat 21 desa yang secara the facto masuk wilayah Indonesia. “Tetapi pada sisi lain untuk tetap bertahan hidup di perbatasan bergantung sepenuhnya terhadap negara Malaysia, serta memiliki kompleksitas permasalahan sosial ekonomi dan pembangunan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, masyarakat juga menuntut pembentukan Daerah Otonomi Baru (DOB) Kabupaten Bumi Dayak (Kabudaya) agar cepat terealisasi. DOB Kabudaya ini memiliki cakupan Kecamatan Sembakung, Lumbis, Sebuku, Tulin Onsoi, Lumbis Ogong dan Sembakung Atulai.
“Wilayah ini memiliki potensi alam yang cukup dan jika merujuk pada kajian pemerintah daerah Kabuapten Nunukan bekerja sama dengan Universitas Gajah Mada DOB Kabudaya Perbatasan di yakini tidak membebani fiskal negara,” pungkas Hermanus yang juga merupakan sekretaris DOB Kabudaya.
Setkab.go.id