Cegah Praktek KKN, Pemberlakuan UU Perampasan Aset Mendesak

Indriyanto Seno Adji, mantan Wakil Ketua KPK. (foto/antara)

JAKARTA, LASPELA– Keberadaan Undang-undang tentang Perampasan Aset dinilai sudah menjadi kebutuhan untuk menjerat koruptor yang lolos dari UU Tipikor dan UU Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“Memang sebaiknya pemberantasan korupsi harus diperkuat UU Perampasan Aset karena kerugian negara tidak cukup hanya didukung UU Tipikor ataupun UU TPPU saja,” tegas mantan Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji, di Jakarta, Senin (12/9) kemarin.

Draf Undang-undang Perampasan Aset yang diusulkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah matang sejak 2014 lalu. RUU itu dinilai efektif untuk pemberantasan korupsi, terutama dalam mengembalikan kerugian negara secara cepat dan murah. “Perampasan aset korupsi yang itu tidak bisa terjangkau oleh UU Tipikor maupun UU TPPU,” imbuhnya.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donald Fariz menilai, pemberantasan korupsi akan terus mengalami kesulitan untuk menjerakan pelaku dan menjauhkan penyelenggara negara dari korupsi, sebab instrumen pemberantasan korupsi masih belum lengkap. Selama ini pelaku hanya membayar denda dan kurungan badan. Tidak ada instrumen pemiskin­an serta perampasan aset.

“Kita butuh UU tentang Perampasan Aset. Sepanjang kita tidak punya, sulit memproses kekayaan yang diduga berasal dari korupsi,” ujar Donald.

Menurutnya, UU yang drafnya sudah matang di Kemenkum dan HAM itu harusnya sudah dijadikan landasan dalam pemberantasan korupsi. Itu untuk merampas seluruh aset yang tidak bisa dipertanggungjawabkan penyelenggara negara yang belum tersentuh oleh regulasi yang sudah ada.

“Saat ini, aset korupsi sulit dikembalikan ke negara akibat menunggu proses pembuktian yang memakan waktu dan biaya,” jelasnya.

Wakil Ketua PPATK Agus Santoso mengatakan, pihaknya sudah berupaya supaya aparat penegak hukum bisa optimal dalam memberantas korupsi dengan merumuskan RUU Perampasan Aset. RUU itu sudah diusulkan ke DPR, tetapi sayangnya belum dimasukkan Prolegnas. “Iya, kami sudah ajukan tapi belum masuk Prolegnas,” ucapnya.

Sokongan pemerintah
Sementara Wakil Ketua KPK Laode M Syarif mengungkapkan, pemberantasan korupsi memang harus mendapat dukungan masyarakat, tetapi lebih penting dan berarti sokongan dari pemerintah dan legislator. Hal itu supaya segala bentuk pemberantasan korupsi bisa optimal, termasuk pencegahan, dengan mewujudkan sistem transparansi di pemerintahan.

Ia menegaskan, KPK sudah banyak melakukan penindak­an dan pencegahan tindak pidana korupsi. Akan tetapi, hal itu belum berdampak besar bagi terciptanya tradisi transparan, bersih, dan tidak korupsi di lingkungan penyelenggara negara. KPK masih butuh dukungan lebih riil dari pembuat kebijakan.

“Contoh kasus Nur Alam (Gubernur Sulawesi Tenggara), kami berharap pada semua, mulai gubernur, bupati, hingga pihak yang berwenang menerbitkan izin untuk tidak berlaku korup. Kami sangat berharap dukungan kontiniu, baik dari presiden, menteri, maupun parlemen. Tanpa dukungan itu, KPK tidak ada artinya apa-apa” tutupnya.

Media Indonesia